Masih ada orang-orang "waras" di Lebanon yang membuat Lebanon untuk sementara selamat dari rencana jahat untuk menghancur-leburkan negeri itu demi kepentingan zionis internasional. Dan orang-orang waras itu adalah Patriah (pemimpin tertinggi umat Kristen Lebanon) Bechara Boutros al-Rai dan Walid Jumblatt (pemimpin kaum Druze, satu sekte dalam Islam yang mencampurkan ajaran Islam dengan Kristen, banyak terdapat di Lebanon dan Syria serta Israel).
Kedua tokoh tersebut menunjukkan sikap tegas menolak rencana Presiden Lebanon Michel Suleiman untuk membentuk pemerintahan eksklusif yang tidak melibatkan kelompok-kelompok Shiah, Hizbollah dan Gerakan Amal. Akibat penolakan tersebut, keputusan presiden yang bisa memicu perang saudara itu pun batal diumumkan hari ini (7/1).
Mungkin bagi pembaca akan sedikit bingung, mengapa hanya karena tanpa keterlibatan Hizbollah dan Amal, Lebanon bisa terlibat dalam perang saudara? Bukankah sudah sewajarnya di dalam satu negara terdapat satu kelompok yang menguasai pemerintahan dan kelompok lainnya menjadi oposisi?
Lebanon memang istimewa. Rakyatnya terbagi dalam beberapa kelompok agama dan kelompok politik dengan fanatisme kelompok masing-masing yang sangat kuat. Itulah sebabnya di Lebanon sering terjadi perselisihan antar kelompok yang sangat merugikan seluruh rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut maka rakyat Lebanon mengembangkan sistem politik yang berbeda dengan negara-negara lain. Selain berdasarkan wilayah, pemilu di Lebanon juga berdasarkan pada kelompok etnis dengan pembagian kekuasaan yang telah ditetapkan. Misalnya saja jabatan Presiden dan Panglima AB menjadi jatahnya kelompok Kristen, Perdana Menteri dan kepala inteligen jatahnya kelompok Islam Suni, dan Ketua Parlemen jatahnya kelompok Shiah. Selanjutnya untuk masing-masing kelompok agama mendapat jatah kursi parlemen dalam jumlah tertentu. Selain itu, sejak tahun 2008 atau paska terjadinya "kudeta" oleh Hizbollah terhadap perdana menteri Fuad Siniora, semua kelompok sepakat untuk membentuk pemerintahan persatuan yang melibatkan 2 kubu yang berlawanan: kubu "Perlawanan" yang anti-Amerika/Saudi dan kubu anti-"Perlawanan" yang pro-Amerika/Saudi.
Rencana Presiden Suleiman membentuk pemerintahan baru tanpa menyertakan kelompok Shiah, Hizbollah dan Gerakan Amal, merupakan pengkhianatan terhadap konsensus tahun 2008 dan kembali membuka ancaman terjadinya konflik-konflik sektarian yang tidak berujung. Tidak mengherankan jika rencana tersebut menuai kecaman dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk Patriach Al-Rai dan Walid Jumblatt.
Perlu menjadi catatan juga bahwa dalam kubu "Perlawanan" selain terdapat Hizbollah dan Gerakan Amal, juga terdapat kelompok-kelompok Kristen (Gerakan Patriot Bebas dan Gerakan Marada) hingga kelompok sosialis-sekuler Syria Socialist Party.
Mudah saja untuk menebak alasan Suleiman melakukan langkah kontroversial tersebut di atas karena disampaikan tidak lama setelah terjadinya pertemuan segitiga antara Suleiman, Raja Saudi dan Presiden Perancis akhir tahun lalu. Tidak lama setelah pertemuan itu Suleiman mengumumkan rencana bantuan Saudi untuk militer Lebanon senilai $3 miliar, atau 2 kali lipat anggaran pertahanan Lebanon, dengan Perancis sebagai pemasok senjatanya. Media-media massa Lebanon juga menyebutkan, sebagaimana juga telah dituliskan di blog ini, bahwa dalam pertemuan antara Suleiman dan Raja Saudi, pihak yang terakhir sempat mendesak Suleiman untuk menggunakan militer Lebanon sebagai penekan terhadap Hizbollah untuk menghentikan keterlibatannya di Syria.
Memojokkan Hizbollah sebenarnya mengandung risiko sangat serius sebagaimana dialami mantan PM Fuad Siniora tahun 2008. Saat itu, meski telah mendapat dukungan besar-besaran dari Saudi yang menggelontorkan ratusan juta dollar membentuk milisi-milisi bersenjata pendukung Siniora, nasib siniora berakhir sebagai tahanan rumah di kediaman resminya yang terkepung oleh milisi-milisi Hizbollah dan sekutu-sekutunya. Namun saat ini kubu anti-"Perlawanan" merasa di atas angin. Selain keberadaan seorang presiden yang pro mereka (pada tahun 2008 Presiden Emile Lahoud justru pendukung Hizbollah), Hizbollah juga tengah terlibat dalam perang Syria.
"Hizbollah tidak mungkin berani membuka front baru di dalam negeri," kata para politisi anti-Hizbollah. Namun pada saat bersamaan pemimpin Hizbollah Sayyed Nasrallah mengingatkan lawan-lawan politiknya untuk "tidak bermain-main dengan Hizbollah". Nasrallah juga menyatakan keterlibatan Hizbollah di Syria merupakan kewajiban yang tidak bisa ditukar dengan apapun, termasuk kekuasaan.
Sementara itu, di tengah-tengah ketidak pastian sikap Suleiman terhadap rencananya, kelompok-kelompok anti-Hizbollah justru terlibat "saling sikut" sendiri. Lebanon Force dan Phalangis (2 dari beberapa kelompok Kristen) menyatakan mundur dari ide mendukung pemerintahan eksklusif bentukan presiden. Di antara kelompok Gerakan Masa Depan (al Muqtabal, kelompok Suni) juga terjadi perbedaan antara kubu mantan PM Fuad Siniora dengan kubu mantan PM Saad Hariri di mana yang pertama cenderung menginginkan dialog sementara yang kedua ngotot pada pembentukan pemerintahan eksklusif.
Seorang politisi pendukung Fuad Siniora mengatakan, "membentuk pemerintahan eksklusif saat ini adalah mustahil. Presiden harus berhati-hati karena saat ini tidaklah tepat membuat keputusan seperti itu pada saat para korban pemboman belum sembuh dari lukanya."
REF:
"Lebanon: March 14 Upset as Suleiman Backs Down"; Maysam Rizk; Al Akhbar; 4 Januari 2014
No comments:
Post a Comment