Indonesian Free Press -- Sampai menjelang terjadinya Perang Pasifik yang dimulai dengan serangan Jepang terhadap pangkalan laut Amerika di Pearl Harbour, Hawaii, 7 Desember 1941, para ahli militer laut masih menganggap keunggulan laut ditentukan oleh jumlah kapal tempur utama (battleship dan battlecruisher) dan kaliber meriam yang dimilikinya.
Sebagai gambaran, saat itu Inggris memiliki 15 kapal tempur utama dan dan hanya 7 kapal induk pengangkut pesawat. Pada saat yang sama Jerman memiliki 7 kapal tempur utama dan tidak satupun kapal induk. Sementara itu Jepang memiliki 10 kapal tempur utama dan 10 kapal induk, dan Amerika memiliki kekuatan yang hampir sama dengan Jepang namun dengan jumlah kapal induk lebih sedikit, yaitu 7 buah.
Pada saat ini hanya Jepang yang menganggap kapal induk sama penting dengan kapal tempur utama, namun belum berfikir bahwa kapal induk lebih penting dari kapal tempur utama. Untuk menjadi penguasa lautan Jepang bahkan membangun 2 battleship kembar terbesar di dunia, Yamato dan Musashi yang masing-masing berbobot hingga 70.000 ton dan memiliki 9 pucuk meriam berkaliber 46 cm yang merupakan meriam terbesar di dunia.
Karena doktrin yang dipegang itulah Jepang sukses menghancurkan pangkalan laut terbesar di dunia di Pearl Harbour, Hawaii, setelah mengerahkan sejumlah kapal induk pengangkut pesawat-pesawat pembom dan tempur. Sehari kemudian pesawat-pesawat pembom Jepang yang dikirim dari kapal induk juga berhasil menenggelamkan dua kapal tempur utama Inggris, HMS Repulse dan HMS Prince of Wales di Laut Cina.
Sejak itulah doktrin laut berubah, kapal induk pengangkut pesawat-pesawat pembom menjadi kekuatan utama angkatan laut, dan bukan lagi kapal tempur. Sebaliknya, kapal tempur utama hanya dianggap sebagai pemborosan karena mudah ditenggelamkan oleh pesawat-pesawat pembom yang dikirimkan oleh kapal induk.
Mengikuti doktrin ini, sejak berakhirnya Perang Dunia II Amerika mengandalkan kapal-kapal induknya sebagai tulang punggung kekuatan militer Amerika di luar negeri. Hingga saat ini Amerika masih memegang doktrin ini hingga setidaknya 10 kapal induk dioperasikan Amerika setiap saat untuk menjaga hegemoni Amerika di seluruh penjuru dunia.
Dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya, satu group tempur laut yang dipimpin oleh sebuah kapal induk (Carrier Strike Group/CSG) menjadi kekuatan laut yang tidak tertandingi. Satu unit CSG memiliki sejumlah rudal nuklir yang biasanya diluncurkan dari kapal-kapal selam dan kapal perang yang berada di bawah komandonya, sejumlah besar rudal jelajah yang diluncurkan dari pesawat-pesawat pembom yang dibawa kapal induk atau yang diluncurkan dari kapal-kapal pengawal dan kapal-kapal selam. Dalam hal pertahanan, satu unit CSG dilindungi oleh sistem pertahanan terintegrasi Aegis.
Sejak Perang Dunia II belum pernah ada satu senjata pun yang bisa menembus sistem pertahanan sebuah CSG dan selama itu pulalah kapal induk-kapal induk Amerika merajalela di seluruh dunia. Namun apa yang terjadi pada tanggal 7 Oktober lalu menjadi pengubah doktrin laut dunia. Empat kapal kecil Rusia yang beroperasi di Laut (lebih tepatnya danau) Kaspia melakukan hal yang dianggap tidak mungkin dilakukan kapal-kapal perang pada umumnya, yaitu melancarkan serangan rudal jelajah (cruiser) ke Suriah yang berjarak lebih dari 1.500 km.
Aksi tersebut sontak mengejutkan para pengamat militer laut, karena kecilnya kapal-kapal tersebut dan kemampuan yang dilakukannya.
"Satu dari kejutan terbesar yang dilakukan Rusia adalah kecilnya kapal-kapal yang meluncurkan rudal-rudal itu, yaitu kapal berukuran 1.000 ton," kata Eric Wertheim, penulis buku 'Combat Fleets of the World'.
“Itu kapal yang sangatlah kecil," tambahnya.
Menurut Kementrian Pertahanan Rusia keempat kapal perang yang terlibat dalam aksi tersebut adalah 'Dagestan', 'Grad Sviyazhsk', 'Veliky Ustyug' dan 'Uglich'. Ketiga kapal terakhir adalah kapal yang hanya berbobot 950 ton. Sedangkan 'Dagestan' hanya berbobot 1.900 ton. Keempatnya baru beberapa tahun saja beroperasi.
Sebagai perbandingan kapal perang terkecil Amerika yang dilengkapi dengan rudal jelajah adalah destroyer kelas Arleigh Burke yang berbobot 9.000 ton. Sementara kapal-kapal frigat Amerika yang berbobot 3.000 ton hanya dilengkapi rudal-rudal kecil jarak pendek.
Entah karena kebetulan atau karena 'ketakutan' dengan kemampuan kapal-kapal kecil Rusia itu sehingga 5 hari kemudian Amerika menarik satu-satunya kapal induk yang berada di kawasan Teluk Parsia, USS Theodore Roosevelt, sehingga untuk pertama kalinya Amerika tidak memiliki satu CSG pun di Teluk Parsia. Padahal selama ini Amerika selalu menempatkan satu hingga 2 CSG sekaligus di Teluk Parsia untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terjadi konflik dengan Iran yang mengancam jalur laut di wilayah itu.
Kemampuan kapal-kapal perang di Danau Kaspia itu menunjukkan bahwa kemampuan Anti-Acces Anti-Denial (A2/AD, atau istilah untuk pertahanan laut, udara dan darat) Rusia jauh lebih tinggi dari perkiraan. Tidak heran jika kapal induk Amerika pun segera disingkirkan dari Teluk Parsi.
Kehilangan sebuah kapal induk merupakan sebuah pukulan yang tidak bisa dibayangkan oleh Amerika. Selain kerugian material, termasuk ribuan nyawa awak kapal di dalamnya, hal ini menjadi pukulan psikologis yang sangat berat bagi Amerika yang selama ini membanggakan kekuatannya pada keberadaan kapal-kapal induknya di berbagai penjuru dunia.
Dengan kemampuan rudal-rudal jelajah dan terlebih lagi rudal-rudal ballistik anti-kapal yang ada saat ini (Dong Feng 21 milik Cina dan Khalij Fars milik Iran), kapal-kapal induk Amerika kini menjadi semacam 'bebek lumpuh' yang menjadi sasaran empuk.(ca)
No comments:
Post a Comment