Wednesday, 23 March 2016

Bahaya Invasi Sinetron India

Indonesian Free Press -- Setelah 'tanah haram', India adalah negeri yang paling ingin saya kunjungi, saat ini.

Jika ada kesempatan, saya akan terbang ke New Delhi. Dari sini saya akan menempuh perjalanan darat ke utara menuju Rishikesh, kota peristirahatan di kaki pegunungan Himalaya. Di sinilah, selama ratusan atau bahkan ribuan tahun raja-raja India beristirahat setelah setahun penuh memikirkan negaranya. Di sini juga John Lennon dan kawan-kawan dari kelompok band legendaris The Beatles beristirahat setelah berbulan-bulan dikejar-kejar penggemarnya. Di antara kegiatan yoga yang dilakoni mereka, album 'Yellow Submarine' pun lahir di kota ini.

Kemudian, dengan menyusuri Sungai Alakananda yang melewati Rishikesh, saya akan menuju Rudraprayag. Tidak terlalu jauh dari Risikhesh dan melintasi Sungai Alakhananda, terdapat jembatan, yang pada masa lalu 'dikuasai' oleh kawanan monyet besar, yang baru akan mengijinkan orang-orang lewat setelah memberikan sejumlah makanan kepada mereka. Demikian seperti ditulis Jim Corbett dalam bukunya 'Man-eater of Rudraprayag'.

Rudraprayag sendiri adalah tempat yang tidak kalah menakjubkan dibandingkan Rishikesh. Di kota kecil inilah Sungai Alakananda bertemu dengan anaknya, Sungai Mandalini. Di titik pertemuan kedua sungai terdapat kuil suci. Konon di kuil inilah Bathara Narada, orang suci dan saksi dalam mitologi India, mendapat pelajaran tentang musik dari para dewa. Dari Rudraprayag Sungai Mandalini menghulu ke utara sejauh 83 km di sebuah kuil suci Kedarnath. Sementara Sungai Alakananda menghulu sejauh 120 km ke arah timur laut menuju kuil suci Badrinath.

Menurut mitologi Baratayudha, kuil Kedarnath dan Badrinath menjadi persinggahan terakhir para ksatria Pandawa, sebelum mereka 'moksa' ke nirwana di puncak Himalaya.

Pada tahun 1920-an kota Rudraprayag menjadi perhatian dunia karena keberadaan seekor macan tutul pemangsa manusia yang memangsa 125 orang, kebanyakan para peziarah kuil Badrinath dan Kedarnath. Petualangan macan tutul ini baru terhenti setelah ditembak mati oleh pemburu legendaris Jim Corbett pada tahun 1926.

Selanjutnya, dari Rudraprayag saya akan menapak-tilasi perjalanan Jim Corbett ke kota asalnya, Nainital. Ini adalah kota peristirahatan para pejabat kolonialis Inggris di India, yang baru dibangun pada abad 19. Berada di lereng Himalaya dan melingkupi sebuah danau indah, tempat ini menjadi tempat wisata terkenal di India dan menjadi lokasi 'shooting' beberapa film populer Bollywood.

Saya mencintai India, juga karena lagu-lagunya yang terkenal indah melodinya hingga menarik para pemusik top dunia tahun 1970-an berlomba-lomba belajar memainkan alat musik sitar dan tabla agar mereka mendapat julukan sebagai pionir musik kontemporer. Lebih dari itu, karena India adalah asal dari sebagian besar kebudayaan Indonesia terbentuk. Jika diuji DNA, sebagian besar warga Indonesia bahkan juga memiliki darah India.

Kebudayaan India termasuk kebudayaan yang tertua di dunia. Sayangnya, bangsa India tidak mampu mengembangkan diri sehingga akhirnya tertinggal dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Secara umum masyarakat India masih terikat kuat dengan kebudayaan yang memandang keutamaan seorang manusia tidak ditentukan oleh kualitasnya, melainkan oleh status sosial, kekayaan, dan gender. Selain itu masyarakat India juga masih terkungkung oleh takhayul sehingga banyak melakukan hal-hal yang tidak rasional. Hanya karena sandal putus dan dianggap sebagai pertanda buruk, sebuah pekerjaan yang hampir selesai, ditelantarkan begitu saja. Kemudian seluruh energi, tenaga, pikiran dan waktu dicurahkan untuk melakukan upacara mengusir kesialan. Kemudian, baru pekerjaan itu dilanjutkan kembali dari awal.

Saya ingin menulis sedikit tentang film 'Uttaran', film opera sabun yang sangat populer di India sekitar tahun 2008-2015, yang kini diputar secara intensif, hingga tiga jam sehari, di stasiun ANTV. Sinetron ini menceritakan tentang hubungan persahabatan antara Icha, putri seorang pembantu sebuah keluarga kaya, dengan Tapasya, putri tuan rumah.

Memiliki kecerdasan tinggi di bawah bimbingan ibu kandungnya yang jujur dan penyayang serta ayah angkatnya yang juga penyayang dan bijaksana, tentu membuat kita berharap Icha akan tumbuh menjadi wanita yang tangguh, percaya diri dan mapan. Namun ternyata, Icha yang menjadi tokoh sentral dalam sinetron ini dan seharusnya menjadi inspirasi utama film ini, hanya menjadi seorang wanita India 'biasa' sesuai dengan budayanya, yang lemah, tidak percaya diri, dan terus tergantung pada orang lain.

Sebagai gambaran terbelakangnya budaya India adalah pandangan masyarakatnya terhadap seorang janda. Di negara itu, seorang janda hanya boleh hidup 'mengabdi', tidak boleh mengejar kesenangan dan ambisi pribadi. Bahkan sekedar berpakaian menyolok dan memakai perhiasan saja mereka dilarang. Mereka diharamkan kawin lagi dan harus hidup sebagai pembantu. Di masa lalu, seorang janda bahkan diharuskan untuk bunuh diri dengan menerjunkan diri ke dalam kobaran api yang membakar jenasah suaminya.

Sebelumnya saya menyangka Medan adalah kota yang paling buruk di dunia dalam budaya berlalu-lintas warganya. Namun saya keliru besar. Kota-kota besar India adalah yang terburuk.

Setiap episode Uttaran menampilkan kebodohan baru. Dalam satu episode Icha dan ibunya yang tengah dalam perjalanan ke suatu tempat, mengikuti permintaan seorang laki-laki tidak dikenal untuk tinggal di rumahnya. Di episode lainnya, Icha menyusui bayi orang lain tanpa ijin, dan ketika ibu bayi itu marah, suaminya justru membela Icha hingga suami istri itu bertengkar hebat. Namun yang paling bodoh adalah ketika Tapasya memaksa Icha untuk menggantikannya menjadi mempelai wanita dalam pernikahan dengan kekasih Icha, dan Icha setuju.

Saya heran saja, mengapa para sineas India membangga-banggakan budaya bangsanya yang ketinggalan jaman itu, dengan mengeskposnya di karya-karyanya tanpa bertujuan mengikis habis budaya tersebut, bahkan mengekspornya ke negara-negara lain. Apalagi, sinetron seperti itu justru 'laris manis' di India.

Maka ketika tv-tv swasta kita ramai-ramai menayangkan sinetron India yang menjual 'kebudayaan' yang ketinggalan jaman itu, saya merasa sangat terganggu. Sangat disayangkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak, kementrian pemberdayaan perempuan dan DPR-RI diam seribu bahasa atas invasi sinetron India yang 'merusak' mental anak bangsa ini.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Begitulah, smg lekas di screening. Ibu saya pun ketagihan.. tiap sore nontonya uttaran. serasa jaman sinetron tersanjung dlu