Indonesian Free Press -- KARENA keganasannya binatang pemangsa manusia ini dijuluki oleh pemburu terkenal Kenneth Anderson sebagai iblis (devil), sementara warga lokal menyebutnya sebagai shaitan atau setan.
Seperti sudah
disebutkan tentang macan tutul pemangsa manusia, binatang
ini dalam hal keganasan adalah melampaui harimau dan binatang-binatang
pemangsa manusia lainnya. Hampir tidak ada harimau ataupun singa pemangsa
manusia yang mendobrak pintu dan melompati jendela dan membunuh mangsanya di
dalam rumahnya seperti macan tutul.
Dalam satu peristiwa,
macan tutul ini bahkan melakukan hal yang tampak mustahil. Suatu hari, gagal
mendobrak pintu, jendela dan dinding gubuk calon mangsanya, macan tutul ini meloncat
ke atap rumah dan mendobrak atap yang rapuh dengan berat badannya. Setelah
berada di dalam rumah, ia menyerang dan membunuh salah satu di antara
penghuninya yang terdiri dari sepasang suami istri dan 2 orang anaknya. Namun
karena gagal membawa pergi mangsanya karena tertutupnya dinding dan pintu oleh
batu besar dan balok-balok kayu, ia kemudian membunuh seluruh penghuni gubuk
itu.
Macan
tutul ini tercatat telah membunuh 42 orang warga Gumalapuram dan menciptakan
terror di wilayah kekuasaannya yang mencapai 250 mil persegi. Sebelum senja,
warga buru-buru masuk ke rumahnya masing-masing dan menutup pintu dan jendela
rapat-rapat. Sebagian warga yang rumahnya hanya berupa gubuk-gubuk sederhana
bahkan memperkuatnya dengan batu-batu besar dan balok-balok kayu. Tidak ada
kegiatan di luar rumah sama sekali karena adanya macan tutul ini, bahkan untuk
keperluan buang hajat. Hal ini mengakibatkan kondisi sanitasi sangat buruk dan
wabah penyakit pun mengancam seluruh wilayah kekuasaan binatang pemangsa ini.
Hanya di pagi dan siang hari kondisi menjadi relatif normal, meski untuk
bepergian ke luar dusun, warga akan berjalan beramai-ramai.
Kenneth Anderson
memutuskan untuk memburu binatang ini setelah mendapat undangan dari Jepson,
pejabat District Magistrate setempat,
untuk memburu binatang ini. Lokasi pilihan pertama perburuan adalah Gumalapuram atau
Gummalapur yang menjadi basis wilayah kekuasaan binatang ini dan tempat
terjadinya serangan paling memilukan terhadap empat anggota keluarga sekaligus.
Ini
adalah sebuah dusun di Desa Thally Taluk, Distrik (Kecamatan) Krishnagiri,
negara bagian Tamil Nadu, India. Dusun ini terletak 72 km di sebelah barat kota
Krishnagiri dan 334 km dari ibukota negara bagian Chennai (Madras). Meski
termasuk dalam wilayah Tamil Nadu, dusun ini sebenarnya lebih dekat dengan
ibukota Negara Bagian Kartanaka, Bangalore yang terletak di sebelah utaranya.
Dalam bukunya yang
diterbitkan tahun 1954, “Nine Maneaters
and One Rogue”, Kenneth Anderson tidak menyebutkan waktu ketika ia
melakukan perburuan. Namun diperkirakan perburuan ini terjadi sekitar tahun
1950 atau beberapa tahun setelah Perang Dunia II dan sebelum kemerdekaan India
tahun 1947. Perburuan ini merupakan salah satu dari perburuan Anderson yang
menarik. Namun sayangnya Anderson tidak memberikan keterangan secara lebih
detil tentang macan tutul ini, tentang kondisi geografis sekitar tempat
perburuan macan tutul ini, serta suasana kronoligis perburuan. untuk dirangkai
menjadi sebuah kisah perburuan yang jauh lebih menarik.
Awalnya
Anderson kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang macan tutul itu dan kerjasama warga
yang dibutuhkannya dalam memburu binatang pemangsa ini. Warga yang menganggap
binatang ini adalah penjelmaan setan, ketakutan untuk membantu Anderson
karena percaya binatang itu akan mengetahui tindakan mereka dan melakukan tindakan
balas dendam kepada mereka. Kalau pun mereka akhirnya memberikan informasi yang
dibutuhkan, mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan dengan cara
berbisik.
Tanpa dukungan warga,
malam hari pertama di dusun itu dihabiskan Anderson dengan menunggu binatang
pemangsa itu di luar satu-satunya rumah di dusun itu yang memiliki tinggi dinding
mencapai 12 kaki (4 meter). Itu dilakukannya sebagai perlindungan untuk mengantisipasi
serangan dari belakang. Sedangkan untuk mengantisipasi serangan dari atas,
atap rumah itu ditutupi dengan semak-semak berduri. Meski tidak ada bulan malam
itu, Anderson masih bisa mendapatkan bantuan cahaya dari jutaan bintang di
langit yang memberikan cahaya remang-remang. Pada pukul 18.00 seluruh warga
telah berada di balik pintu yang terkunci rapat, sementara Anderson duduk di
atas kursi dengan hanya ditemani senjata yang terkokang di tangan, termos
berisi teh panas, selimut, satu botol air minum, beberapa potong biskuit, dan
lampu senter. Satu-satunya hiburan adalah pipa tembakau yang selalu setia
menyertainya dalam setiap perburuan. Macan tutul, sebagaimana harimau dan
binatang-binatang kucing besar lainnya, tidak memiliki penciuman yang baik
sehingga asap tembakau tidak akan mengganggu perburuan.
Selama penantian,
perhatian Anderson lebih banyak ditujukan ke arah barat-daya, dimana dua bukit
yang diselimuti hutan lebat menjulang beberapa kilometer dari dusun itu. Di
sini, ia tidak bisa mengandalkan bantuan binatang-binatang penghuni hutan yang
mendeteksi kedatangan binatang pemangsa dan mengeluarkan peringatan. Setelah
cahaya bintang sudah mulai memberikan efek cahaya yang cukup baik, pada pukul
7.15, kepercayaan diri Anderson muncul dan mulai berfikir untuk memancing
macan tutul. Ia pun sengaja batuk-batuk dan bercakap-cakap sendiri dengan
suara keras, berharap macan tutul itu mendengarnya dan mendatangi. Selama
beberapa waktu Anderson melakukan aksi tersebut sambil melangkah dan mengamati
sudut-sudut dusun. Namun segera menyadari bahwa ia mengundang bahaya, karena
macan tutul itu bisa menyerangnya dari berbagai sudut. Menyadari hal itu,
dengan terburu-buru ia berjalan kembali ke kursi duduknya. Di sini ia merasa
lebih aman.
Lewat tengah malam,
dipengaruhi oleh fakta bahwa ia belum beristirahat sejak ia meninggalkan
rumahnya di Bengalore, Anderson merasa mengantuk. Teh hangat dan pipa tembakau
tidak bisa membantunya mencegah kantuk. Anderson pun membasuh mukanya dengan
air dingin di dalam botol, kemudian melakukan melakukan senam kecil untuk
melancarkan kembali peredaran darahnya. Selanjutnya ia kembali berbicara
sendiri dengan keras. Kali ini lebih untuk menjaganya tetap terbangun.
Pada pukul 3.30
dinihari muncul hal yang ditakutnya Anderson, ketika awan tebal menyelimuti
langit dan menutupi bintang-bintang yang menjadi satu-satunya sumber
pencahayaan yang diandalkan Anderson. Maka untuk mencegahnya menjadi serangan
maut yang tidak bisa diantisipasi, Anderson menyalakan lampu senternya tiap
setengah menit dan menyorotkannya ke berbagai sudut tempat. Namun hingga
fajar menyingsing macan tutul itu tidak menunjukkan tanda-tanda kedatangannya.
Setelah warga satu demi satu keluar dari rumahnya, Anderson pun tertidur,
menebus rasa kantuk yang tidak terlampiaskan semalaman.
Bagun dari tidur
setelah tertidur beberapa jam, Anderson mendapatkan warga telah jauh lebih
kooperatif. Keberhasilannya bertahan di luar semalaman, serta tindakannya
berbicara sendiri di malam hari yang sunyi membuat warga menganggap Anderson
sebagai seorang sadhu atau orang
suci, atau seorang dukun pintar yang bisa berbicara dengan roh halus. Mereka
pun tanpa ragu lagi memberikan berbagai informasi tentang binatang pemangsa
ini. Menurut warga, macan tutul itu selalu berpindah tempat operasi dan tidak
pernah melakukan serangan berurutan di satu tempat. Dan karena telah hampir
sebulan tidak ada lagi korban serangan, Anderson memperkirakan serangan berikutnya
bakal terjadi di Gumalapuram. Maka ia memutuskan untuk menunggunya di sini.
Terlebih lagi, karena macan tutul bersembunyi di siang hari dan hanya
beroperasi di malam hari, maka kecil kemungkinannya untuk mencarinya di siang
hari. Selain itu ia juga mendapat informasi bahwa macan tutul itu mengalami
cidera di kaki kanan depannya, yang bisa diketahui dari jejak kakinya yang
lebih banyak menumpukan berat badannya ke bagian kaki kirinya.
Selama makan siang,
Anderson memikirkan cara yang paling efektif untuk memancing kedatangan macan
tutul, tanpa harus mengorbankan keselamatan dan kenyamanannya seperti malam
sebelumnya. Dan kemudian ia mendapatkan ide yang menurutnya tepat.
Rencana itu adalah
memasang boneka manusia di dalam rumah yang pintunya sengaja dibuka untuk
menarik kedatangan macan tutul pemangsa. Sementara itu Anderson akan
bersembunyi di sudut rumah di balik tumpukan kotak kayu. Rencana ini pun
mendapat dukungan penuh warga dan dengan segera menetapkan rumah yang akan
digunakan untuk menjebak macan tutul pemangsa. Rumah itu bersebelahan dengan
rumah yang pernah dimasuki macan tutul pemangsa dan membunuh ke-empat
penghuninya. Kemudian sebuah boneka manusia
pun dibuat dari jerami yang diikat bersama bantal bekas dan ditutupi dengan sari dan jaket. Boneka ini
diletakkan di atas kursi yang berhadapan langsung dengan pintu yang terbuka.
Kemudian, setelah
merasa mendapatkan dukungan penuh dari warga yang merasa lebih percaya diri
dengan keberadaan seorang sadhu di
dekat mereka, Anderson meminta penghuni dua rumah yang paling dekat dengan
rumah jebakan itu untuk begadang dan saling berbicara demi menarik perhatian
macan tutul. Permintaan ini awalnya ditolak keras oleh mereka, namun dengan
jaminan penuh Anderson untuk datang menolong jika macan tutul itu menyerang,
mereka pun akhirnya menyetujui.
Pada
pukul 18.00 semuanya sudah berada di tempat masing-masing sesuai rencana,
termasuk suara-suara percakapan dari kedua rumah. Namun hingga dinihari dan
percakapan-percakapan
itu berhenti, tidak ada tanda-tanda kehadiran macan tutul pemangsa.
Malam berikutnya
rencana itu kembali diulang, dengan pertimbangan bahwa cepat atau lambat macan
tutul itu akan datang. Pada pukul 18.00 hingga tengah malam situasinya adalah
pengulangan malam sebelumnya. Kemudian pada pukul 01.00 dinihari, angin keras
tiba-tiba muncul menerjang dan setelah itu suara tiupan angin menerjang
pepohonan dan atap-atap rumah terdengar
semakin kuat. Kemudian, cahaya bintang yang menerobos pintu yang terbuka pun
menghilang seiring langit yang tertutup awan, disusul kemudian dengan suara
rintik hujan. Pada saat itu suara-suara percakapan orang di kedua rumah yang
berdekatan itu telah berhenti.
Macan
tutul adalah binatang yang tidak menyukai air dan hal itu mendorong Anderson
berfikir bahwa binatang itu tidak akan datang seperti malam sebelumnya
sehingga ia pun mengendorkan kewaspadaannya dan mulai tertidur.
Seberapa
lama Anderson tertidur, ia tidak mengetahui dengan pasti ketika tiba-tiba saja
‘indera keenam’-nya membangunkannya, mengabarkan bahwa bahaya tengah
mendatangi. Ia langsung mengalihkan perhatiannya pada pintu dan cahaya bintang
remang-remang yang masuk melalui pintu tersebut. Kemudian, ketika ia mengkonsentrasikan
pandangan dan pendengarannya, ia melihat boneka manusia yang menjadi umpan, bergerak-gerak. Selanjutnya, tiba-tiba saja boneka
itu menghilang dari pandangan disertai dengan suara eraman macan tutul. Anderson
mengetahui erangan itu adalah bentuk kemarahan macan tutul setelah mangsa yang
diserangnya ternyata adalah boneka jerami.
Menyalakan lampu
senter yang terikat dengan senjata, seketika Anderson melompat dan
menyingkirkan tumpukan kotak kayu. Saat melompat itu, ia nyaris menabrak boneka
yang menghalangi, menghalangi pergerakannya dan memberi kesempatan macan tutul
untuk menyelinap keluar.
Anderson mengejar
macan itu hingga keluar rumah, namun tidak ditemukannya binatang pemangsa itu
meski ia telah menyorotkan lampu senter ke seluruh sudut , termasuk ke
atap-atap rumah. Berjalan keluar dengan disertai perasaan tegang, Anderson
kemudian menyisir lorong-lorong jalan dusun dengan lampu sorotnya. Namun,
meski seluruh sudut dusun telah dijelajahinya binatang itu menghilang seperti
hantu.
Jengkel dengan
kelalaiannya sendiri yang mengakibatkannya gagal menembak binatang pemangsa itu
meski telah berada hanya beberapa meter darinya, Anderson justru semakin teguh
tekadnya untuk mengakhiri teror
binatang ini.
Pagi harinya Anderson
melacak jejak kaki macan tutul pemangsa dari titik dimana ia memasuki dusun
hingga ia meninggalkannya. Dari jejak kaki itu dipastikan kebenaran informasi
tentang kondisi fisik macan tutul yang mengalami cacat di bagian depan kakinya.
Hal inilah yang diduga kuat menjadi penyebab macan tutul menjadi binatang
pemangsa setelah kesulitan memburu binatang-binatang buruan seperti biasanya.
Namun kemudian Anderson mendapatkan informasi lebih penting lagi tentang
penyebab macan tutul itu menjadi pemangsa manusia setelah mengetahui bahwa
setahun berselang terjadi wabah kolera yang memakan banyak korban. Menganggap
wabah itu sebagai bentuk kutukan, warga
hanya membuang mayat-mayat korban wabah itu ke hutan dan tanpa menguburnya atau
mengkremasinya. Banyaknya mayat itu menjadi sumber makanan tambahan cuma-cuma
bagi macan tutul dan dari sinilah ia mengenal rasa daging manusia. Kemudian
setelah kakinya terluka dan membuatnya kesulitan menangkap binatang buruan,
ia pun mengalihkan sepenuhnya mangsanya kepada manusia.
Selanjutnya, setelah menimbang
bahwa macan tutul tersebut tidak akan
melakukan aksinya berturut-turut di satu tempat, terlebih dengan pengalamannya
bertemu dengan Anderson, ia memutuskan untuk berpindah perburuan ke
Devarabetta, sebuah dusun berjarak 18 mil di sebelah barat-daya Gumalapuram, melintasi dua buah
bukit yang diliputi hutan
lebat dimana macan tutul tersebut sebelumnya telah memangsa lima orang dan belum
didatangani lagi olehnya selama
sebulan terakhir. Setelah makan siang, Anderson pun berjalan menuju
Devarabetta, melintasi jalan yang membelah kedua bukit yang di tengah-tengahnya mengalir sungai
kecil. Di sini Anderson melihat jejak kaki harimau jantan besar yang beberapa
waktu sebelumnya telah menyeberangi sungai. Pada pukul 17.00 Anderson tiba di
Devarabetta, pada saat seluruh warga bersiap-siap untuk mengurung diri di dalam rumahnya.
Sebagaimana awalnya di
Gumalapuram, Anderson pun mengalami kesulitan untuk mengorek informasi tentang
macan tutul pemangsa. Namun dari sebuah perbincangan singkat, warga
memperkirakan macan tutul akan datang tidak lama lagi setelah kedatangan
terakhir sebulan berselang. Kemudian, seperti malam pertama di Gumalapuram, Anderson memutuskan
untuk menunggu di luar rumah yang paling tinggi dindingnya di dusun, dengan
punggung membelakangi dinding untuk menghindari serangan dari belakang. Dan untuk melindungi diri
dari serangan dari atas, atap rumah itu dilapisi dengan semak-semak berduri
yang didapatkan dengan susah payah. Hanya dengan perlindungan senjata saja
warga mau berjalan ke sudut dusun untuk memotong semak-semak berduri.
Devarabetta
adalah dusun yang lebih kecil dibandingkan Gumalapuram, namun letaknya yang
sangat dekat dengan hutan memberikan keuntungan bagi Anderson untuk
mengetahui kedatangan macan tutul pemangsa dari suara-suara binatang hutan yang
mendeteksi kedatangan binatang pemangsa.
Malam turun dengan
cepat dengan bulan baru yang masih terlalu kecil untuk memberikan sinarnya.
Binatang-binatang malam, baik dari jenis burung-burung maupun serangga,
menggantikan suara saudara-saudara mereka di siang hari. Pada pukul 8.30
teriakan rusa sambar yang mendeteksi kedatangan binatang pemangsa terdengar
dari tengah hutan. Anderson pun meningkatkan kewaspadaan. Beberapa menit kemudian
terdengar auman harimau yang ia yakin adalah harimau yang jejaknya ia lihat
saat berjalan melintasi hutan.
Waktu berlalu dan
kemudian di tengah-tengah jalan yang melintas tepat di tengah dusun Anderson melihat
sesuatu bergerak. Cahaya remang-remang dari jutaan bintang dan bulan sabit muda
tidak bisa memberikan penerangan yang jelas untuk mengetahui apakah benda itu.
Apakah itu adalah macan tutul pemangsa? Tapi mengapa ia berjalan tepat di
tengah-tengah jalan? Tidak seperti saudara tuanya harimau yang lebih percaya
diri, bukankah ia terkenal dengan sifatnya yang pemalu dan tidak suka menampakkan
diri saat mengintai mangsanya? Kalaupun harus berjalan di jalan ia lebih suka
berjalan di pinggiran, sejauh mungkin menyembunyikan diri dari penglihatan manusia.
Tiga puluh meter darinya, binatang itu masih berjalan di tengah jalan tanpa
berusaha menyembunyikan diri. Namun masih belum jelas juga apakah binatang
itu. Baru setelah jaraknya dari Anderson hanya sekitar 20 meter, benda itu
mulai menampakkan wujud sebenarnya. Ia adalah seekor anjing pariah, atau
anjing jenis piaraan yang hidupnya menggelandang sendirian karena tidak ada
tuan yang mau memeliharanya.
Merasa iba dengan
anjing yang tampak kurus dan kelaparan, Anderson memanggilnya dan memberikan
sepotong biskuit dan sandwitch.
Mungkin karena kelelahan setelah berhari-hari berjalan mencari makan, anjing
itu tertidur di bawah kaki Anderson. Anderson pun membiarkannya dan
melanjutkan pengintaian.
Lewat tengah malam
suara burung malam kembali terdengar. Detik demi detik, menit demi menit dan
jam demi jam berlalu tanpa sedikit pun Anderson mengendorkan perhatiannya.
Tiba-tiba terdengar suara kawanan burung plover
dari pinggir dusun. Pada saat bersamaan, anjing pariah di bawah kaki Anderson
terbangun, menegakkan kepala namun kemudian kembali tertidur seperti tidak ada
apapun yang perlu dikhawatirkan.
Namun beberapa menit
kemudian anjing ini tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Telinganya bergerak-gerak
dan mengeram-eram dengan matanya tertuju pada jalan yang membelah dusun ke arah
suara burung plover tadi.
Anderson pun
memusatkan pandangannya ke arah itu dan ia melihat sesuatu yang bergerak.
Menempatkan jari tangan kirinya di atas tombol lampu senter, Anderson menunggu
benda itu bergerak lebih dekat. Menit demi menit pun berlalu dan pada menit ke
15,
menurut perhitungan Anderson, benda itu kembali bergerak, melompat ke atap sebuah
gubuk sekitar 20 meter dari Anderson. Di sekitar tempat itu semua rumah dan
gubuk berdiri berderetan dan Anderson memperkirakan macan tutul itu tengah
mengintai dirinya daripada mengincar penghuni gubuk.
Menyadari
dirinya tengah terancam, Anderson pun mundur kembali ke dinding rumah yang
memberinya perlindungan dari serangan dari arah belakang. Demikian juga dengan
atap yang sudah dilapisi semak berduri menjadi perlindungan baginya. Dengan
jari tangan kanan siap menarik pelatuk senapan dan jari tangan kiri di atas
tombol lampu senter Anderson pun siap menghadapi segala kemungkinan. Beberapa
detik kemudian terdengar bunyi gemeresek di atas atap, mengindikasikan
macan tutul itu berusaha menerobos semak-semak berduri yang diletakkan di atas
atap. Namun kemudian suara itu menghilang, mengindikasikan macan tutul
membatalkan niatnya menerobos semak-semak itu.
Lima belas menit
berlalu dengan ketegangan menyelimuti diri Anderson. Matanya tidak berhenti
menyisir segala sudut pandangan , berusaha menemukan macan tutul itu berada
saat hendak memulai serangannya sehingga ia memiliki kesempatan untuk
menembaknya sebelum binatang pemangsa itu meraih tubuhnya.
Kemudian dengan tanpa
diduga, anjing pariah yang selama ketegangan itu berlangsung tampak gelisah
dan mengerahkan seluruh panca indranya mengamati segala situasi, berlari ke tengah
jalan dusun dan menyalak ke sudut rumah yang bersebelahan dengan rumah tempat
Anderson berlindung. Tindakan berani anjing itu membuat Anderson mengetahui
bahwa macan tutul itu tengah bersiap untuk menyerangnya dari arah yang ditunjuk
anjing pariah itu. Benar saja, beberapa detik kemudian macan itu melompat,
melewati sudut rumah dan bergerak langsung ke arahnya untuk melakukan terkaman.
Namun, Anderson yang sudah mengantisipasinya menekan tombol lampu senter dan
dalam waktu yang hampir bersamaan mengarahkan senapannya dan manarik pelatuk
Winchester 0.405-nya. Peluru senapan itu menembus dada macan tutul itu, namun
energi kinetik yang dibawa macan itu dengan kecepatan lari dan berat badannya
terlalu kuat untuk dihentikan oleh tembakan peluru. Macan itu tetap mengarah
kepadanya. Secepat kilat Anderson mengelak dari tumbukan badan macan itu, dan
saat macan itu berada di sampingnya, Anderson kembali melontarkan peluru senapannya,
dua kali berturutan.
Macan
tutul itu pun tumbang dan tidak bangun lagi. Ekornya menegang dan rahangnya
terbuka mengeluarkan erangan yang penghabisan saat anjing pariah yang telah
menyelamatkan Anderson itu menancapkan gigi-giginya di tenggorokan binatang
pemangsa manusia itu.
Berakhirlah sudah
teror sang ‘iblis tutul dari Gumalapuram’. Ketika menguliti binatang pemangsa
manusia ini Andeson mendapatkan bahwa cacat di kaki depan binatang ini disebabkan
oleh duri landak yang menancap hingga menembus tulang dan tidak bisa dikeluarkannya.
Meski lebih cerdik dibandingkan harimau saat memangsa landak, yaitu dengan
menyerang sisi bawah binatang berbulu tajam ini yang relatif kurang terlindungi,
tetap saja kecerobohan kecil bisa membuatnya menderita dan bisa mengubahnya
menjadi binatang paling membahayakan bagi manusia.
Anderson membawa
pulang anjing pariah itu dan memberinya nama Nipper. Anderson bersyukur telah menolong binatang ini dengan
beberapa potong makanan, karena binatang ini kemudian membalasnya dengan
balasan yang tidak ternilai, yaitu nyawanya.
***
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari buku yang tengah ditulis blogger Inndonesian Free Press.
1 comment:
si Nipper serasa makhluk yg diturunkan Tuhan bagi Anderson...
ditunggu kisah berikutnya.
kasamago.com | Yakena.com
Post a Comment