Indonesian Free Press -- Hanya dengan 40 pesawat tempur Rusia dan 10.000 pasukan Iran, Hizbollah, dan milisi Irak, kondisi pertempuran di Suriah berbalik 180 derajat.
Sampai pertengahan tahun 2015, pemberontak menguasai seluruh medan pertempuran dan sudah berada di ambang kemenangan, setelah berhasil merebut sejumlah posisi strategis terutama sekitar Provinsi Aleppo dan Latakia. Namun kedatangan pasukan Pengawal Revolusi dan penasihat militer Iran, milisi Shiah Irak, milisi Shiah Pakistan dan Afghanistan (Hizbollah sudah lebih dahulu berada di Suriah), serta pesawat-pesawat tempur Rusia di medan tempur, berhasil mendesak pemberontak dari semua wilayah strategis.
Kini situasinya berbalik. Jika tidak ada perubahan, para pemberontak hampir pasti akan terusir keluar Suriah, atau hancur di medan tempur. Itulah sebabnya Turki dan Saudi Arabia, yang telah banyak berkorban waktu dan tenaga untuk menjungkalkan pemerintahan Bashar al Assad, ngotot ingin campur tangan demi melindungi 'anak buahnya' yang terancam.
Sebenarnya jumlah kekuatan militer koalisi Iran dan Rusia dan sekutu-sekutunya di Suriah termasuk kecil dibandingkan jumlah kekuatan pemberontak Suriah. Kelompok ISIS, misalnya, diperkirakan memiliki anggota hingga 100.000 personil, FSA 50.000, Islamic Front 50.000, Al Nusra Front 13.000, Fatah Halab 30.000 personil, dan kelompok-kelompok lain 8.500 personil (sumber wikipedia).
Militer Suriah sendiri memang memiliki sekitar 170.000 pasukan. Namun sebagian besar dari mereka harus bertugas menjaga keamanan, bukan bertempur. Dari jumlah itu, yang memiliki fungsi bertempur hanya 20.000 sampai 30.000 personil.
Adapun jumlah 10.000 pasukan Iran, Hizbollah, dan milisi Irak diungkapkan oleh wartawan senior Inggris, Robert Fisk, dalam laporannya di 'The Independent' bulan lalu berjudul 'Syria civil war: State-of-the-art technology gives President Assad’s army the edge'. Dari jumlah itu, 'hanya' sekitar 5.000 orang adalah personil militer Iran.
Sementara itu dalam perbandingan kekuatan udara, Rusia yang mulai menerjunkan diri dalam konflik Suriah pada bulan September 2015, hanya menempatkan 40 pesawat tempur di Suriah. Bandingkan dengan 180 pesawat koalisi pimpinan Amerika yang sejak pertengahan 2014 melancarkan serangan udara terhadap kelompok ISIS di Suriah dan Irak.
Meski media-media massa barat terus-menerus berusaha membentuk opini publik tentang ketidak-efektifan operasi militer Rusia di Suriah, sebuah laporan NATO menyimpulkan sebaliknya. Laporan itu menyebutkan bahwa operasi militer Rusia jauh lebih unggul daripada operasi militer yang dilancarkan koalisi Amerika dalam hal 'akurasi dan efisiensi'.
Seperti dilaporkan Sputnik News baru-baru ini, mengutip laporan NATO tentang perbandingan operasi militer Rusia dan koalisi NATO di Timur Tengah yang dilansir oleh situs 'Focus Online', dampak serangan udara Rusia lebih hebat dibandingkan serangan udara koalisi Amerika.
"Jumlah pesawat Rusia yang dikerahkan jelas kalah besar dibandingkan pesawat NATO, namun kuantitas serangan yang lebih besar dari pesawat-pesawat udara Rusia membuatnya lebih efektif," demikian laporan itu menyebutkan.
Menurut laporan itu, Rusia mampu menggelar 75 serangan setiap harinya dengan tingkat akurasi dan efisiensi lebih besar. Sedangkan koalisi Amerika-NATO hanya mampu melancarkan 20 serangan setiap harinya.
Selain itu, Rusia juga mengerahkan pesawat-pesawat yang lebih superior dibandingkan koalisi Amerika, seperti pesawat tempur-pembom SU-35. Ditambah lagi, dalam melancarkan serangan udaranya, Rusia menggunakan data inteligen yang disuplai oleh militer Suriah selain suplai data dari peralatan inteligen Rusia sendiri, hingga data itu lebih up-to-date dan nyata.(ca)
1 comment:
Inilah wujud istilah ' kecil namun mematikan '
Russia tlh bljar bnyk dr kgglany di Afganistan era soviet, kini red bear tmpil lbh modern & profesional.. Tk hny segi simetrisny to asimetris ny pun tk klh hebat brsma Iran, Hizbullah, Suriah
www.Kasamago.com
Post a Comment