Indonesian Free Press -- Kembali ke soal pembentukan tinju lapis baja , yang menurut Reznikov dibentuk oleh para pemimpin AD. Siapa sebenarnya yang akan menjadi sasaran dari pasukan tersebut? Menurut Reznikov, sasaran utamanya adalah PKI, tapi Bung Karno juga.
Alasan Reznikov, tindakan-tindakan yang diambil oleh para pemimpin AD itu akan secara drastis mengubah seluruh keseimbangan kekuatan politik demi keuntungan tentara.
Kesan seperti itu diperkuat oleh munculnya tanda-tanda saling pengertian antara Ahmad Yani dan Nasution, dua tokoh militer yang paling terkemuka tapi tak selalu bersahabat. Selama ini persaingan antara keduanya telah dibesar-besarkan oleh Kepala Negara dalam semangat devide et impera .
Pada 1962, Soekarno yang tak percaya sepenuhnya kepada Menteri Pertahanan-nya mengubah struktur pimpinan TNI dengan maksud mengurangi kemampuan operasional Nasution. Khusus bagi orang kuat di TNI ini diciptakan posisi Kasab (atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata). Formalnya posisi itu tinggi, tapi dalam praktek kurang berbobot.
Pada saat yang sama, anak emas Bung Karno , yakni Achmad Yani, diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat. Namun sejak permulaan tahun 1965, dua jenderal anti-komunis itu tampak semakin siap untuk melawan PKI bersama-sama.
Perkembangan ini dicatat oleh Reznikov, sebagaimana juga oleh Harold Crouch dan Ulf Sundhaussen, dua pakar politik militer Indonesia.
Guna menguasai keadaan, Soekarno merasa diri perlu bertindak secepatnya. Pertanyaannya, untuk itu apa yang harus diperbuat? Apa pun jawabannya, yang jelas jangan sampai menggoyang sistem Demokrasi Terpimpin, agar jangan sampai kekuasaan tertinggi jatuh bagai buah yang sudah matang ke tangan kelompok yang siap menampungnya, yakni kelompok militer berhaluan kanan.
Karena itu, yang perlu ia lakukan adalah langkah sebaliknya, yakni meniadakan ancaman tergoyangnya sistem politik yang ada karena rusaknya keseimbangan dalam segitiga kekuasaan tentara-Soekarno-PKI . Pokoknya sistem perlu dikembalikan ke dalam situasi yang relatif seimbang.
Untuk itu kiranya cukup --setidaknya sebagai langkah pertama-- suatu pembersihan personal di lingkungan para jenderal. Misi inilah, sebagaimana bisa disimpulkan dari buku Reznikov, yang dipercayakan oleh Presiden kepada Gerakan 30 September dan yang sebelumnya telah ditutup-tutupi dengan seruan-seruan mengenai perlunya transisi ke tahap sosialis Revolusi Indonesia.
Apakah untuk itu Bung Karno memerlukan suatu langkah pembersihan yang berdarah? Sama sekali tidak.
Mengapa? Karena kemungkinan terjadinya destabilisasi akibat suatu pembersihan berdarah akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan suatu pembersihan yang sifatnya personal dan tak berdarah. Kalau begini, perlu ditegaskan bahwa Kepala Negara memang tidak merencanakan kudeta terhadap dirinya sendiri . Bung Karno hanya ingin memulihkan status quo.
***
Kegagalan G30S Karena Pengkhianatan Dua Jenderal
Rupanya dalam proses pelaksanaan rencananya itu Soekarno berusaha memastikan siapa-siapa saja yang nanti akan menggantikan para pemimpin militer yang mau dipecatnya. Lebih dari itu, dalam rangka persiapan peluncuran Gerakan 30 September itu, ia merasa perlu berembug dan menjalin kesepakatan dengan para calon pengisi jabatan yang akan lowong itu.
Pertanyaannya, siapakah orang-orang yang diajak bersepakat oleh Bung Karno itu? Guna menjawab pertanyaan ini, Reznikov terutama tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik dua orang jenderal, yakni Jenderal Soeharto dan Jenderal Pranoto Reksosamodra.
Bertentangan dengan pendapat umum yang amat tersebar sampai sekarang bahwa Jenderal Soeharto bertindak cepat dalam melawan Letnan Kolonel Untung dan kawan-kawan, sarjana Soviet ini mengatakan sesuatu yang sangat berbeda: pada 1 Oktober 1965 Pangkostrad Soeharto justru bertindak lamban sekali, seakan-akan sedang menantikan sinyal-sinyal tertentu.
Tindakannya baru berubah menjadi cepat ketika Presiden mengumumkan penunjukan Jenderal Pranoto sebagai caretaker sementara Angkatan Darat.
Lebih menarik lagi adalah sejumlah informasi tentang Jenderal Pranoto yang dikumpulkan dan diproses oleh Reznikov. Khususnya, bahwa pada malam 30 September, Pranoto sempat bertemu dengan Aidit dan Syam.
Pagi harinya, waktu berita tentang peristiwa berdarah malam sebelumnya sudah mencapai Markas Besar AD, di sana diselenggarakan rapat yang menghasilkan keputusan bahwa setelah tewasnya Jenderal Ahmad Yani, posisi tertinggi komando AD akan dialihkan ke tangan Jenderal Soeharto.
Pemberitahuan tentang keputusan ini lantas dikirim ke komando-komando daerah militer.
Rapat tersebut, seperti juga penyebaran keputusannya ke daerah-daerah, justru dilaksanakan atas prakarsa Jenderal Pranoto (hal mana pernah diakuinya dalam rangka pemeriksaan atas dirinya). Lalu Pranoto pergi ke Markas Kostrad guna melaporkan semua kegiatan ini kepada Soeharto dan sejak itu berada di sana --artinya mendampingi Soeharto hampir sepanjang hari pada 1 Oktober 1965.
Dapat dimengerti mengapa Soeharto berhasil menghalangi Pranoto yang ingin memenuhi panggilan Pemimpin Besar Revolusi dan berangkat ke Halim.
Pengolahan informasi ini merupakan tour de force Reznikov sebagai sejarawan sekaligus ilmuwan politik. Menurut Reznikov, Pranoto sebagai tokoh yang sangat loyal kepada Bung Karno menunjukkan kemampuan yang mencurigakan untuk berinteraksi baik dengan para pemimpin Gerakan 30 September, maupun dengan Soeharto dan markasnya --sampai Reznikov menduga bahwa pada hakikatnya Pranoto berfungsi sebagai penghubung ganda .
Pada satu sisi dia menghubungi Soekarno dengan G-30-S, sedangkan pada sisi lain dia juga menghubungi Soekarno dan Soeharto.
Ternyata, baik Pranoto maupun Soeharto tidak memenuhi harapan sang Pemimpin Besar. Berdasarkan pikiran-pikiran ini, Reznikov mengakhiri bukunya dengan kesimpulan bahwa di antara penyebab kegagalan Gerakan 30 September adalah adanya pengkhianatan dua jenderal yang mula-mula bersekongkol dengan Presiden tapi kemudian berbalik dan menarik diri dari kubunya .
***
Komandan dan Kepala Staf Terotorium Diponegoro
Mengapa Presiden Soekarno justru memilih kedua tokoh tersebut sebagai pembantu terdekatnya pada saat-saat yang begitu genting? Reznikov tak pernah coba menjawab pertanyaan ini, mungkin karena data yang dimilikinya kurang cukup untuk itu. Untunglah, sekarang halangan macam ini, boleh dikatakan, tidak ada lagi.
Dalam riwayat hidup Soeharto dan Pranoto terdapat cukup banyak kesamaan. Keduanya pernah ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949. Pada akhir tahun 1950-an, keduanya bertugas di Teritorium (kelak Kodam) Diponegoro: Soeharto sebagai komandan, sedangkan Pranoto sebagai kepala staf-nya.
Mereka berpisah pada 1959; karena alasan tertentu Soeharto dipindahkan ke Seskoad Bandung dan kedudukannya sebagai Komandan Divisi diwarisi oleh Pranoto.
Sesudah Soeharto tamat dari Seskoad, kariernya makin menanjak. Bukan saja ia menjadi jenderal pada 1961, pada 1963 ia diangkat sebagai Panglima Kostrad. Antara 1962-1965, dia ditugaskan memimpin pasukan Indonesia yang siap-siaga bertempur melawan Belanda di Irian Barat serta melawan Inggris dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.
Pada periode yang sama, karier Pranoto juga berkembang pesat. Dalam waktu singkat, yakni dalam beberapa tahun saja, pangkatnya melonjak dari letnan kolonel menjadi mayor jenderal.
Pelantikannya sebagai Mayjen TNI dilaksanakan pada 16 Augustus 1965 --menjelang HUT ke-20 Kemerdekaan RI dan hanya satu setengah bulan sebelum pecahnya G-30-S. Pada saat itu dia sudah menduduki posisi Asisten III Panglima AD untuk urusan personel.
Membuat karier-karier yang sebegitu cemerlang di zaman Demokrasi Terpimpin, tanpa restu dan perlindungan Kepala Negara praktis tidak mungkin.
Harus juga dicatat bahwa Bung Karno pasti tahu tentang permusuhan di antara kedua perwira pilihannya. Kisah permusuhannya itu, pada 1959 Soeharto dipecat dari jabatannya sebagai Komandan Divisi Diponegoro karena terlibat operasi-operasi penyelundupan.
Kegiatan ini diketahui, karena ada bawahannya yang melaporkan, dan bawahan itu adalah Pranoto. Berkat laporannya, Soeharto hampir diadili namun akhirnya hanya dihukum dengan kewajiban belajar di Seskoad. Siapakah sebenarnya yang sanggup menyelamatkannya?
Memang ada sejumlah jawaban yang berbeda-beda. Namun, bisa kita andaikan bahwa akhirnya nasib Soeharto berada di tangan Kepala Negara. Mungkin Presiden Soekarno teringat dengan kejadian pada September 1957.
Ketika negara sedang didera oleh banyaknya pemberontakan, Kolonel Soeharto sepenuhnya mendukung pemerintah pusat dalam rangka Musyawarah Nasional dan terang-terangan menentang setiap upaya kompromi dengan kaum pemberontak. Tentu saja, Bung Karno juga percaya bahwa setelah dibelanya perwira ini akan sangat berterima kasih dan setia sampai mati.
Mungkin dalam situasi pertengahan tahun 1965, Soekarno merasa telah mengantongi dua jenderal yang sama-sama berpengalaman, sama-sama loyal kepadanya, tapi sekaligus bersaingan dan bermusuhan satu sama lain. Guna memaksa agar duet yang aneh itu mau bekerja sama, diperlukan suatu anugerah yang cukup menarik. Apa kira-kira anugerah itu?
Mungkinkah bentuknya adalah posisi-posisi Yani dan Nasution yang sudah mau disingkirkan oleh Presiden dari panggung militer dan politik? Dengan jalan memberikan kepada Soeharto salah satu posisi dan kepada Pranoto posisi yang lain, sang Pemimpin Besar berharap bisa menghidupkan kembali dualisme dalam pimpinan Angkatan Darat yang dulu telah dipakainya untuk memelihara statusnya yang istimewa di susunan Demokrasi Terpimpin.
***
Caretaker Panglima Angkatan Darat
Apa yang telah menggagalkan terwujudnya rencana tersebut? Kuncinya adalah penyelamatan diri Jenderal Nasution pada pada 1 Oktober 1965.
Karena Nasution berhasil menyelamatkan diri, maka hanya tersedia satu lowongan posisi di pucuk pimpinan Angkatan Darat.
Ada indikasi bahwa semula jabatan Panglima Angkatan Darat dijanjikan kepada Soeharto, sedangkan jabatan Menteri Pertahanan akan diserahkan kepada Pranoto. Akan tetapi, tampaknya realitas yang terjadi setelah operasi Gerakan 30 September (terutama berkaitan dengan selamatnya Nasution) memaksa Presiden untuk mengubah niat semula.
Bung Karno terpaksa memperhitungkan siapa di antara dua orang ini yang nanti akan dia jadikan sebagai pengimbang bagi Nasution yang selamat itu, dan akhirnya memilih Jenderal Pranoto.
Menarik bahwa Pranoto tidak diangkat sebagai Panglima yang berkuasa penuh, melainkan hanya sebagai caretaker, yakni pengurus urusan sehari-hari AD, dan itu pun hanya untuk sementara.
Presiden seakan-akan ingin menunjukkan kepada pihak yang berkepentingan bahwa sebenarnya keputusan ini bersifat darurat dan bukan merupakan cerminan dari niat dia yang sesungguhnya.
Dalam pandangan Soeharto, janji yang menurut dugaan telah diberikan kepadanya sudah dikhianati. Dengan demikian, Presiden telah menyakiti hati seorang jenderal yang kebetulan mengetahui rahasia-rahasia yang amat sensitif. Bung Karno belum sadar bahwa jenderal yang telah tersakiti hatinya ini adalah seorang pemain politik yang amat lihai dan ahli dalam strategi.
Pada saat yang sama, Soeharto tidak bisa sepenuhnya menggunakan rahasia-rahasia sensitif yang ia ketahui itu. Alasannya jelas: kalau sampai dia mengungkapnya, akan ketahuan bahwa sebenarnya dia terlibat dalam Gerakan 30 September itu, berikut pembunuhan terhadap para sesama perwira Angkatan Darat. Karena itu, ia memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan dengan amat hati-hati dan sikapnya terhadap Presiden Soekarno sering mendua.
Lalu apa yang terjadi dengan Jenderal Pranoto? Yang jelas, dalam peristiwa ini dia sulit untuk dipandang sebagai pengkhianat . Jelas juga bahwa dalam situasi permulaan Oktober 1965 dia tidak dapat diselamatkan oleh Presiden sebagai caretaker, terutama sesudah pasukan yang menangkap Kolonel Latief merampas juga suratnya dengan permintaan perlindungan yang dialamatkan kepada Pranoto.
Pada 1966, Pranoto sendiri ditangkap atas tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September . Pertama, ia dikenai tahanan rumah, kemudian dipenjarakan. Selama di penjara itu, gajinya sebagai jenderal tidak pernah dibayar.
Tapi ia tidak pernah secara resmi dipecat dari Angkatan Darat dan pangkatnya juga tak pernah dicabut. Hanya beberapa kali saja ia diinterogasi, tapi tidak pernah dibuat laporan tertulis tentang hasil interogasi itu.
Dalam buku yang diterbitkan oleh Kopkamtib pada 1978, nama Pranoto disebut di antara nama-nama mereka yang dituduh terlibat Gerakan 30 September , namun ia tidak pernah diadili secara resmi.
Pada 1981, ia dibebaskan begitu saja. Setelah itu, ia hidup diam-diam dan akhirnya wafat pada 1992, di masa pemerintahan Orde Baru.
Victor Sumsky (Moskwa)
Keterangan: dicopas dari status sahabat Bambang Tri.
1 comment:
Akhir yg tragis bagi para patriot bangsa..
G30S seolah membuyarkan tiang layar yang siap menyambut angin utk berlayar..
Post a Comment