Wednesday, 31 January 2018

Panglima Budhi Tikal dan Tommy Winata

Pengantar: Linda Liau atau lebih dikenal sebagai Linda Christanty adalah seorang sastrawan muda yang sudah dikenal di dunia Internasional. Saat ini sedang memperjuangkan keadilan bagi adiknya, Tubagus Budhi Firbany atau yang lebih dikenal Budhi Tikal atau Panglima yang saat ini sedang menjalani pengadilan. Panglima adalah seorang aktivis lingkungan hidup yang membela nelayan di Pulau Bangka (Redaksi)

Gambar: Tubagus Budhi Firbany dalam penjara.


Oleh: Linda Liau

UNTUK mendukung perjuangan adik saya Panglima Budhi Tikal dan menelusuri kebenaran dalam perkaranya, saya menemui beberapa teman dia yang sama sekali bukan dalam lingkaran pertemanan saya dan tidak bakal ada dalam lingkaran pertemanan saya. Mereka tidak bekerja di penerbitan buku. Mereka juga bukan penulis. Tanpa perkara Panglima, saya tidak akan pernah terhubung dengan orang-orang ini. Orang ke-5 yang saya temui adalah orang yang terdiam lama waktu kami bertemu sebelum berkata, “Panglima tidak pernah cerita apa-apa ya? Berarti sebagai kakak tidak tahu tentang adiknya sendiri?”


Dia menyebut nama orang yang bermasalah dengan Panglima sejak lama: Tomy Winata alias TW. Saya tertegun, tidak percaya. TW juga tidak ada dalam lingkaran pertemanan saya.

Orang ini berkata lagi, “Panglima menggagalkan monopoli timahnya di Pulau Bangka beberapa tahun lalu, yang hendak dilakukan TW waktu gubernur Bangka Belitung masih dijabat Eko. Eko siapa namanya itu? Saya lupa. Tidak penting. TW kerja sama dengan Si Eko ini. Panglima ini anak muda yang melawan orang yang merasa Indonesia ini seluruhnya dia yang punya. Tersinggunglah orang ini.” Seingat saya, salah seorang oknum polisi yang saya temui justru mengatakan ada oknum kepala polisi yang tersinggung dengan tindakan Panglima, bukan TW, dan oknum ini mati-matian ingin Panglima ditangkap. Oknum kepala polisi itu terlibat penambangan timah ilegal di Pulau Bangka yang merusak lingkungan dan mengancam mata pencarian nelayan di laut yang sudah tercemar, berseberangan dengan Panglima. Teman adik saya menukas, “Tersinggung berjamaah mereka itu.” TW, katanya, sangat kuat dalam kepolisian.

Dia mengisahkan dulu Panglima hampir dieksekusi di Kepulauan Seribu oleh sepasukan oknum polisi yang diinstruksikan TW. Saya tidak percaya TW bisa memerintah aparat negara. Saya juga tidak percaya dia bisa menginstruksikan eksekusi orang tanpa proses hukum. Dia bukan Kapolri. Dia bukan hakim. Setahu saya, dia orang yang berbisnis rupa-rupa.

Orang ke-5 ini, begitu saja saya menyebutnya, melanjutkan cerita, “Semua bandara dan pelabuhan di Indonesia dijaga ketat oleh oknum-oknum polisi bayaran. Jangan sampai Panglima lolos dari pengejaran. Perintahnya, tembak Panglima di tempat. Seluruhnya 16 Polda yang bergerak waktu itu untuk menangkap Panglima.”

Kalau mengenai Panglima dicari oknum polisi, saya sudah mendengar. Saya malah diberitahu oleh temannya yang lain. Seluruhnya 30 Polda. Dari 16 Polda berkembang menjadi 30 Polda. Ini mungkin yang sering disebut adik saya secara tersamar, tentang keberadaan sebuah negara bayangan. “Tapi dalam keadaan seperti ini tetap ada polisi-polisi yang hanya setia kepada negara resmi kita Indonesia. Mereka itu ikut menyelamatkan Panglima,” katanya. Seperti film-film, pikir saya.

Dia berkata lagi, “Kamu tahu Sembilan Naga?” Saya hanya pernah makan di Bakmi Naga. Saya tidak pernah berurusan dengan Sembilan Naga.

Dia melanjutkan, “Dari Sembilan itu, dua yang bermasalah dengan Panglima. Pertama, TW. Kedua, Sinar Mas. Dia tidak bermasalah dengan sisanya.”

Saya jadi teringat plang nama grup usaha yang disebutkan terakhir ini terpasang di bekas gusuran Kalijodo. Grup usaha ini, kata salah seorang teman, telah menguasai banyak tanah di Indonesia.

Panglima berhadapan dengan apa yang dulu dilawan teman-teman separtai saya di masa kami masih muda: kapitalis, konglomerat, atau cukong (dalam salah satu sajak Wiji Thukul, kata “cukong” digunakan untuk menyebut pengusaha jenis itu) yang tentunya berkerja sama dengan pemerintah Orde Baru, Depnaker, DPR RI, dan aparat. Mereka ini tentu menguasai aset-aset negara Indonesia dan hajat hidup orang banyak.

Seberapa tersinggungnya TW dengan Panglima? Jawabannya dilontarkan orang ke-6. Dia juga sangat jauh dari lingkar pertemanan saya.

Dia berkata, “Suatu hari Budhi (dia tidak menyebut “Panglima”) berkata di depan TW agar jangan coba-coba merugikan negara Indonesia dan membuat onar di negara ini. Pergi saja kamu ke negara lain, ke Taiwan sana, kata Budhi kepada TW. Kamu bayangkan tidak ada yang berani berbuat seperti itu kepada dia. Presiden juga mungkin tidak berani. Budhi melakukannya.”

Kata orang ini, di masa pemerintah sekarang, pengusaha-pengusaha hitam bisa leluasa masuk istana. Saya menukas, “Bukannya dari dulu juga begitu?”

Dia menjawab, “Sekarang lebih parah dan tambah parah. Negara kita ini hampir kolaps. Rakyat itu tinggal mengais-ngais saja, seperti ayam. Mana teman-teman kamu yang dulu PRD itu? (dia menyindir, karena tahu saya dulu di PRD). Tidak ada bunyinya lagi ya mereka. Sudah masuk dalam pasir rupanya suaranya. Sudah hilang sama sekali penyeimbang yang baik dalam politik kita. Saya tidak setuju dengan semua tuntutan PRD, tapi yang berani seperti PRD dulu harus ada.”

Terbayang wajah sebagian teman saya. Ada yang tampak lelah, ada yang sumringah. Selain tambah tua, mereka juga tidak punya kader. Padahal perjuangan melawan kesewenang-wenangan yang menggurita ini adalah perjuangan yang panjang dan harus diwariskan, seperti cerita-cerita rakyat dituturkan dan tidak pernah hilang.

Dia melanjutkan, “Kamu pernah dengar urusan TW dengan bos Tempo itu dulu? Kamu tahu kasus itu ‘kan? Memang Tempo juga ada salahnya, wartawannya tidak benar-benar punya data yang akurat untuk menulis berita Tanah Abang itu. Tapi di situlah letak masalahnya. Sulit dapat data yang akurat kalau semua orang takut bicara. Tempo rupanya nekat. Lolos juga beritanya. Wartawan itu mungkin punya hati nurani, meski dia kurang bukti. Mungkin lebih berani dia dibanding bosnya. Diserbu itu majalah. Sampai bos Tempo itu mengerahkan semua orang untuk bantu-bantu dia, menyeret orang-orang ikut perang dia. Akhirnya dia dan TW berdamai juga ‘kan. Wartawannya sendiri nggak pernah damai dengan TW. Adik kamu lebih berani dibanding bos Tempo itu.” Saya teringat Ahmad Taufik, yang sudah meninggal dunia, wartawan Tempo yang menurut teman Panglima: berani.

Dia khawatir Panglima pada akhirnya dibunuh. “Kamu pernah dengar kasus Dedy Hamdun dan sopirnya? Dedy itu bermasalah dengan TW dan mereka dihabisi. Eksekutornya oknum aparat.”

Saya menjawab, “Jadi menurut Bapak, TW akan membunuh adik saya sesudah memenjarakannya?” Dia terdiam sebentar, lalu berkata, “Kalau itu terjadi, semua orang akan tahu siapa pelakunya.”

Semua manusia pada akhirnya akan mati dan menjadi debu. Manusia yang paling lama hidup pun tidak akan seawet tas-tas kulit.

Saya sendiri masih sangsi TW terlibat dalam perkara Panglima. Kalau benar dia terlibat seperti kata orang ke-6, saya prihatin. Saya dengar dia dulu pernah berjualan bakso dan artinya, hidup dalam kemiskinan.

Pada satu titik, hidup Panglima dan TW merupakan ironi. Satu-satunya sahabat akrab Panglima adalah temannya sejak remaja. Sementara itu, ayah temannya adalah salah seorang yang berjasa mengangkat TW dari jurang kemiskinan dan penghinaan.

Kata orang-orang, TW menderita sejak kecil. Kehidupannya jauh berbeda dengan adik saya Panglima. Sejak lahir Panglima dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, yaitu orang tua kami, kakek-nenek, saudara-saudara, para pengasuh dan keluarga besar kami. Panglima kemudian membela orang-orang tertindas dan teraniaya, agar mereka bisa merasakan kehidupan yang baik, seperti dia dan risikonya, kehidupannya sendiri dalam bahaya.

TW juga menyumbang beberapa pesantren dan menyekolahkan calon-calon aparat dari keluarga miskin, tapi lebih banyak lagi yang saya dengar adalah kejahatan-kejahatannya. Mereka berdua, Panglima dan TW, berada pada dua sisi yang berbeda dan tidak dalam satu koin mata uang.

Hanya ada sedikit persamaan di antara keduanya. Saya dengar TW berdarah Hakka. Kami mewarisi marga Liau, marga Hakka, dari salah seorang kakek buyut kami, dari sebelah ayah. Artinya, ini bukan persoalan suku dan ras, bukan soal SARA atau diskriminasi terhadap etnis Hakka atau sentimen anti Cina atau etnis Tionghoa (Hokkian). Kejahatan dan kebaikan tidak ditentukan darah, tidak dibedakan berdasarkan agama. Kebenaran dan keadilan dari langit harus dikembalikan ke bumi ini.***



Keterangan: dicopas dari Bergelora.com, 29 Januari 2018.

1 comment:

Kasamago said...

Smg Panglima selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT.

Smg Mbak Linda bisa menerbitkan novel tentang lingkaran mafia di Indonesia.

Amin.