Indonesian Free Press -- Para pemimpin Palestina menolak mentah-mentah tawaran Amerika perihal perdamaian dua negara Palestina-Israel dan menyebut tawaran tersebut sebagai 'penyuapan'.
Seperti dilaporkan Sputnik News, Senin (27 Jan), Perdana Menteri Otoritas Palestina Mohammad Shtayyeh menyebut tawaran Amerika tersebut hanya sebagai upaya untuk menyelamatkan Presiden Amerika Donald Trump dari pemakzulan. Tawaran itu juga menjadi upaya PM Israhell Benyamin Netanyahu untuk menghindar dari tuntutan hukum dugaan korupsi.
“Rencana ini (tawaran Amerika) tidak mempunyai dasar bagi penyelesaian sebuah konflik dan dikeluarkan oleh pihak yang sudah kehilangan kredibilitas dan integritas. Ini adalah rencana untuk melindungi Trump dari 'impeachment' dan [Benjamin] Netanyahu dari penjara. Ini bukanlah rencana perdamaian Timur Tengah,” kata Shtayyeh dalam rapat kabinet Otoritas Palestina di Ramallah, Senin (27 Jan).
Shtayyeh menyebut rencana ini hanya menguntungkan Israel di atas kerugian Palestina.
"Rencana ini hanya memberikan kedaulatan Israel di atas wilayah Palestina,” tambahnya.
Lebih jauh mengatakan bahwa Palestina berhak untuk menarik diri dari semua perjanjian yang sudah dibuat dengan Israel seperti Oslo Accords (Perjanjian Oslo) dan mendesak masyarakat internasional untuk menolak usulan perdamaian yang diajukan AS itu.
“Kami mendesak masyarakat internasional untuk menjauhkan diri dari rencana ini karena bertentangan dengan hukum internasional law. Hak-hak rakyat Palestina tidak untuk diperjual-belikan,” kata Shtayyeh.
Penolakan keras juga disampaikan Perdana Menteri Palestina dari Hamas yang berkantor di Gaza, Ismail Haniyeh, yang menyebut rencana 'deal of the century' itu tidak mungkin terwujud karena merugikan Palestina. Ia bahkan menyebut Palestina akan memasuki 'fase perjuangan baru' untuk melawan Israel.
Sementara itu Sekjend Palestinian National Initiative (PNI), Mustafa Barghouti, mengecam tindakan Donald Trump yang menerima Netanyahu dan lawan politiknya di Israel Benny Gantz di Gedung Putih pada hari Selasa lalu (28 Jan) sebagai bukti bahwa rencana Amerika tersebut sebagai 'proyek rasisme Israel dengan perlindungan Amerika' .
“Ini bertentangan dengan keputusan Dewan Keamanan PBB dan bahkan dengan posisi Amerika pada pemerintahan-pemerintahan terdahulu. Tampaknya presiden AS berusaha untuk membentuk pemerintahan koalisi di Israel demi memuluskan rencananya dengan menghancurkan hak-hak Palestina,” kata Barghouti dalam pernyataannya hari Senin.
“Apa yang kita saksikan adalah proses negosiasi dengan perantaraan Amerika telah berakhir dan pembicaraan tentang hak-hak dan masa depan negara Palestina telah berakhir,” katanya menekankan.
Pada hari Selasa (28 Jan) Presiden Trump mengumumkan rencana perdamaian Palestina-Israel yang merupakan penguatan dari rencana yang digulirkan sejak tahun lalu yang diklaimnya sebagai 'kesepakatan abad ini'. Dalam rencana ini Amerika menjanjikan 'bantuan' ekonomi senilai $50 miliar kepada Palestina dengan imbalan pengakuan Palestina atas pendudukan Israel atas wilayah-wilayah Palestina termasuk Jerussalem dan sebagian Tepi Barat. Dalam rencana ini hak-hak pengungsi Palestina untuk kembali ke kampung halamannya yang sudah diduduki Israel tidak diakui lagi.
Bahkan warga Israel menyebut rencana ini tidak fair.
"Perdamaian tidak ada dalam rencana ini," tulis jurnalis media besar Israel 'Haaretz', Amir Tibon dalam kicauannya, Rabu.
Sebuah televisi Israel 'Israel TV' melaporkan dalam rencana itu Israel akan tetap menguasai dan mengontrol seluruh wilayah Tepi Barat bahkan setelah negara Palestina terbentuk. Sedangkan media 'Times of Israel' menyebut rencana itu mengabaikan sama sekali harapan Palestina untuk mendapatkan kembali wilayah-wilayah yang diduduki Israel dan bahkan mendorong Israel untuk menguasai lebih banyak wilayah Palestina.(ca)
No comments:
Post a Comment