Thursday, 27 October 2011
NEGARA PALESTINA DAN HUKUM INTERNASIONAL
"Kami muak dengan politik double standard Amerika. Mereka mendukung gerakan kebebasan di Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman, namun saat sampai di Palestina, mereka berhenti. Kami bertanya, mengapa?" kata Muhammad Ali in Ramallah, warga Palestina di Ramallah dalam wawancara dengan Washington Post, 23 September 2011
Palestina akhirnya mengajukan permohonan resmi untuk menjadi angota penuh PBB, sebuah langkah yang ditentang habis-habisan oleh Israel dan Amerika. Dengan status anggota penuh, Israel tidak bisa lagi "main-main" dengan Palestina dalam isu perdamaian kedua negara. Dengan keanggoataan penuh Palestina di PBB, Israel tidak akan lagi bisa seenak-nya menindas rakyat Palestina.
"Kini adalah waktunya kebenaran datang dan rakyat Palestina menunggu jawaban dunia. Akankah dunia akan membiarkan Israel melanjutkan pendudukannya, satu-satunya praktik penjajahan di dunia yang masih ada? Akankah dunia membiarkan Israel menjadi negara yang berdiri di atas hukum dan akuntabilitas? Akankah dunia membiarkan Israel menginjak-injak resolusi PBB, Mahkamah Internasional, serta mayoritas negara-negara di dunia?"
"Waktunya telah tiba bagi rakyat Palestina yang gagah berani, setelah berpuluh tahun tersingkir dari tanah airnya, pendudukan kolonialis, serta penderitaan tanpa henti, untuk hidup sebagaimana bangsa-bangsa lainnya di dunia. Merdeka dalam sebuah negara yang berdaulat." demikain pidato Presiden Palestina Mahmoud Abbas di depan sidang umum PBB, 23 September lalu.
Pidato Abbas mendapat sambutan meriah dari delegasi negara-negara PBB yang berdiri sambil bertepuk tangan. Sementara delegasi Amerika duduk dengan muka kecut. Sementara pada saat yang sama penembak-penembak jitu Israel bersiaga di dengan membidikkan senapannya ke arah penduduk Palestina di check point-check point di Tepi Barat.
KEMUNAFIKAN AMERIKA
"Satu tahun yang lalu saya berdiri di podium ini menyerukan pembentukan negara Palestina merdeka. Saat itu dan sekarang saya percaya bahwa rakyat Palestina patut memiliki negara sendiri," pidato Barack Obama di depan majelis yang sama tgl 21 September 2011.
Namun pada saat yang bersamaan, Obama mengkritik permohonan Abbas menjadikan Palestina sebagai anggota penuh PBB merupakan "pengalih perhatian". Sedangkan menlu Amerika Hillary Clinton mengatakan "pemecahan dua negara" dan bentuk akhir perdamaian harus melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel.
Menurut Francis A. Boyle, ahli hukum internasional University of Illinois yang pernah menjadi penasihat hukum organisasi PLO serta penasihat mantan Presiden Palestina Yasser Arafat, perundingan dengan Israel adalah Rencana A. Namun setelah Israel selalu mengabaikan perundingan bahkan menolak melaksanakan hasil perundingan yang telah disepakati, Palestina sudah seharusnya menjalankan Rencana B, yaitu meningkatkan status keanggotaan Palestina di PBB menjadi anggota penuh. Rancana B bukan "pengalih perhatian" sebagaimana dituduhkan Obama. Itu adalah keputusan yang jitu. Dengan keanggotaan penuh PBB, hak-hak Palestina akan lebih dihormati. Dengan status itu Palestina bisa menyeret para pejabat Israel yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan hukum internasional terhadap Palestina. Dan setiap penduduk Palestina di seluruh dunia menjadi warga PBB. Palestina tidak lagi dicap sebagai "bangsa tanpa negara".
Kini rakyat dunia menunggu keputusan DK PBB mengenai permohonan Palestina yang rencananya akan diputuskan bulan depan dengan bayang-bayang ancaman veto dari Amerika.
Namun menurut Boyle, meskipun nantinya Amerika memveto keputusan DK PBB untuk menerima keanggoataan penuh Palestina, Palestina masih bisa mendapatkan status tersebut melalui Sidang Umum PBB yang digelar membahas Resolusi PBB tentang Uniting for Peace Resolution 377 (1950).
Sumber:
"Obama, Palestinian Statehood, and International Law"; Christopher Bollyn; bollyn.com; 14 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment