Thursday 1 June 2017

Kelahiran Pancasila bukan 1 Juni?

Indonesian Free Press -- Saat masih kecil di sekitar dekade 1980-an, saya (blogger) sudah membaca buku 'Sekitar Tanggal dan Penggalinya' terbitan Yayasan Idayu. Buku ini merupakan rangkuman dari polemik seputar lahirnya Pancasila yang dipicu oleh tulisan sejarawan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (selanjutnya menjadi Menteri Pendidikan RI) yang menyebutkan bahwa kelahiran Pancasila bukanlah Ir. Soekarno, melainkan Muhammad Yamin.

Dan kini, polemik tentang kelahiran Pancasila ini kembali muncul ke publik, pada saat regim jokowi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai kelahiran Pancasila, atas dasar pidato Ir. Soekarno di depan sidang BPUPKI tentang dasar negara Pancasila, yang sebenarnya telah didahului oleh Muhammad Yamin beberapa hari sebelumnya.

Para pejuang kemerdekaan Indonesia telah mampu menyusun dan mengesahkan Konstitusi Negara Indonesia yang dikenal dengan UUD 45. Pada bagian ‘Pembukaan’ tercantum dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, yaitu Pancasila.


Beberapa hari ini kita mendengar slogan ‘Saya Indonesia, Saya Pancasila’, slogan yang digunakan Pemerintahan Jokowi dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 – 1 Juni 2017.

Di era generasi milenial yang mana informasi begitu deras dan mudah didapat ini sejarah hari lahir Pancasila masih menjadi perdebatan.

Jasmerah! (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), adalah kalimat bijak untuk bisa memahami sejarah bagaimana tokoh-tokoh bangsa dan umat seperti Muh Yamin, Seopomo, Soekarno dan M. Hatta dalam proses dilahirkannya Dasar Negara Indonesia, Pancasila. Sejarah seputar sidang-sidang BPUPKI dan PPKI patut menjadi pelajaran bagaimana Pancasila dirumuskan dan dilahirkan.

Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan Pancasila lahir tanggal 18 Agustus 1945.

“Bahwa hari lahirnya Pancasila bukanlah tanggal 1 Juni, tetapi tanggal 18 Agustus ketika rumusan final disepakati dan disahkan,” kata Yusril seperti dilansir ANTARA.

Menurut Yusril, pidato Sukarno tanggal 1 Juni baru berupa masukan, seperti masukan dari tokoh-tokoh lain baik dari golongan kebangsaan maupun dari golongan Islam.

“Jika membandingkan usulan Sukarno tanggal 1 Juni 1945 dengan yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, cukup mengandung perbedaan fundamental,” kata Yusril.

Sila Ketuhanan saja, kata Yusril, diletakkan Sukarno sebagai sila terakhir.

“Tetapi rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama. Sukarno mengatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila, dan Trisila dapat diperas lagi menjadi Ekasila yakni gotong-royong. Sementara rumusan final Pancasila, menolak pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila,” kata Yusril.

Menurutnya, sebelum disahkan tanggal 18 Agustus, Sukarno dan Bung Hatta meminta tokoh-tokoh Islam agar menyetujui frasa “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dihapus.

Saat itu Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo (tokoh Muhammadiyah) kecewa namun akhirnya menerima ajakan Sukarno dan Hatta.

Kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Mahaesa”.

Menurut Yusril banyak pelajaran penting yang dapat dipetik dari tejadinya kelahiran Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945. Yaitu para tokoh bangsa dan umat dapat berkompromi yang pada akhirnya menghasilkan rumusan tentang landasan falsafah negara, Pancasila, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Berikut teks Pancasila versi 1 Juni 1945 dengan versi 18 Agustus 1945, menurutmu mana yang digunakan hingga kini ?.

Rumusan Versi 1 Juni 1945

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan

Pancasila 18 Agustus 1945
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.***


Keterangan: sebagian tulisan ini dicopas dari situs Gema Rakyat

No comments: