Sunday 3 November 2019

Israel-Iran Tidak Punya Pilihan Selain Perang

Indonesian Free Press -- Tidak pernah selama ini Israel berada pada situasi terancam seperti saat ini. Berpuluh-puluh tahun sejak merdeka tahun 1948 Israel merasa jauh lebih superior dibandingkan tetangga-tetangganya di kawasan sehingga dengan percaya diri melancarkan serangan-serangan dan pendudukan-pendudukan ke tetangga-tetangganya itu. Namun, saat ini Israel justru merasa tengah terpojok dan terancam, oleh Iran.

Dalam artikel berjudul 'Iran Prepares For War With Israel' di situs Oil Price.com tanggal 21 Oktober lalu analis politik Yossef Bodansky mengungkapkan kegundahan Israel ini.


Pada 10 Oktober lalu PM Israel Binyamin Netanyahu berpidato dalam acara peringatan korban Perang Yom Kippur tahun 1973. Dalam pidatonya itu Netanyahu secara khusus menekankan tentang 'ancaman Iran'. Ia mengungkapkan tentang kemungkinan Israel harus melakukan serangan pendahuluan (preemptive strike) ke Iran dan implikasi perang regional melawan Iran dan sekutu-sekutunya.

“Fokus agresi saat ini di Timteng adalah rejim Iran di Tehran. Iran terus berupaya mengukuhkan cengkeramannya di Lebanon, Syria, Iraq, Yaman, dan Jalur Gaza. Iran terus memperkuat persenjataan berbahayanya dan menyerang jalur pelayaran internasional. Iran menembak jatuh drone besar AS, melakukan serangan kejam dan tidak pernah terduga ke pangkalan minyak Saudi, dan terus menerus menunjukkan arogansinya. … Iran berulangkali mengancam akan menghapuskan kita dari peta dan secara terang-terangan mengatakan: ‘Israel akan lenyap'. Mereka berulangkali mencoba menyerang kita. Maka kita harus berdiri untuk melindungi diri dari bahaya Iran,” kata Netanyahu.

Bahkan, meski situasi politik domestik Israel tengah memanas, khususnya berkaitan dengan kasus korupsi yang menjerat Nitanyahu dan istrinya dan dua pemilu parlementer yang bermasalah perhatian Israel tidak pernah lepas dari Iran. 'Pengkhianatan' AS dengan meninggalkan Kurdistan-Suriah dan keengganannya untuk berperang melawan Iran telah membuat Israel harus mempersiapkan diri berperang sendirian melawan Iran dan sekutu-sekutunya.

Israel kini percaya bahwa Iran dan sekutunya Hizbollah dan HAMAS mungkin saja melakukan serangan pendahuluan atas Israel. Dan meski Israel telah melakukan berbagai kajian untuk menghadapi serangan tersebut dan mengantisipasinya, Israel tetap harus menerima dampak mengerikan saat harus berperang melawan Iran.

Kalangan inteligen Israel kini juga telah menyimpulkan bahwa Iran, seperti halnya Israel, meyakini bahwa tidak ada jalan lain bagia kedua negara kecuali berperang. 

Bagi Iran, serangan-serangan Israel terhadap mereka di Suriah sangat menyakitkan. Namun hal ini tidak menghentikan Iran untuk terus meneguhkan kekuatan di Suriah seperti mereka menancapkan pengaruhnya di Irak dan Lebanon hingga Palestina. 

Kondisi ini secara praktis menempatkan Iran dan proksi-proksinya mengepung Israel dan membuat Iran memiliki jalur strategis yang menghubungkan Iran dengan Laut Tengah. Iran sekaligus juga telah membangkitkan kekuatan 'bulan sabit Shiah' yang membentang dari Saudi Timur hingga Lebanon-Suriah. Lebih jauh, serangan Turki ke Kurdistan-Suriah justru memberikan Iran kesempatan untuk meneguhkan pengaruhnya di Suriah.

Namun faktor terbesar yang membuat Israel semakin khawatir adalah serangan drone oleh kelompok HOuthi terhadap kilang minyak Aramco di Saudi. Serangan ini tergolong sebuah operasi militer oleh proksi Iran yang gemilang yang tidak pernah dibayangkan oleh Israel dan Amerika sekalipun. Akurasi yang tinggi dan daya hancur yang hebat pada sasaran jarak jauh yang dijaga oleh sistem pertahanan udara canggih menyadarkan Israel dan Amerika bahwa Iran mampu melakukan serangan serupa terhadap Israel dan pangkalan-pangkalan Amerika di kawasan.

"Didorong oleh kesuksesan serangan itu, Iran mungkin tergoda untuk melakukan serangan serupa ke Israel. Maka Jerussalem merasa cemas, lebih dari sebelumnya, bahwa Iran akan melakukan serangan dadakan dan menimbulkan kerusakan pada sasaran-sasaran vital Israel," tulis Bodansky.

Israel juga semakin cemas dengan sikap Rusia yang semakin pro-Iran dan meninggalkan Israel. Kekhawatiran Rusia soal keamanan jalur minyak melalui Turki mengakibatkan Rusia mendukung jalur logistik yang dikontrol Iran, dari Kaukasus sampai Suriah dan Laut Tengah. Rusia kini lebih sering melarang Israel melakukan serangan udara ke Suriah.

"Dan kini, Israel memperingati trauma nasional serangan mendadak Perang Yom Kippur 1973, kini melihat dengan cemas perkembangan di Iran dan juga seluruh kawasan Timteng.

Akankah kombinasi dari peluang terjadinya pergesekan dan kesempatan militer dan strategis yang unik akan menggoda Iran untuk secara berani memulai perang?" tambah Bodansky di akhir tulisannya.

Bagi Iran sendiri situasinya tidak kalah serius. Setelah prospek perdamaian mendekati titik terendah setelah keluarnya AS dari perjanjian nuklir Iran dan pemberian sanksi baru kepada Iran, pada akhir 29 September 2019 lalu para petinggi IRGC (Iranian Revolutionary Guard Corps, tentara elit Iran yang berada di luar struktur tentara reguler dan bertanggung jawab langsung kepada Pemimpin Tertinggi) mengadakan pertemuan untuk mengkaji kesiapan Iran menghadapi konflik terbuka dengan Israel-AS. Mereka menyimpulkan bahwa tujuan utama Amerika adalah melumpuhkan kekuatan Iran di semua sektor sehingga tidak ada peluang sedikitpun bagi perdamaian. Untuk itu Iran harus mempertahankan program persenjataannya dan melanjutkan dukungan terhadap sekutu-sekutu regionalnya: Suriah, Hizbollah, Palestina, Lebanon dan Irak.

Selanjutnya pada 1 Oktober 2019, pertemuan dilanjutkan dengan lebih serius. Semua komandan tertinggi IRGC hadir dan memberikan pandangannya seperti Panglima IRGC Mayjend Hossein Salami yang menekankan pentingnya 'strategi perlawanan aktif' yang digagas oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei pada awal bulan September 2019. Strategi ini dianggap mampu menjaga kekuatan Iran di tengah-tengah sanksi internasional serta meningkatkan 'nilai tawar' Iran di dunia internasional.

Salami juga menjelaskan bahwa sejak 2019 Iran memasuki babak baru Revolusi Iran, yaitu era 'mobilisasi global Islam'.

“Pada hari ini, semua musuh dan teman mengetahui kekuatan Iran tengah mendekati puncaknya," tambahnya.

Lebih jauh Salami menyebut bahwa 'menghancurkan Israel' kini adalah suatu 'tujuan yang lebih mudah'.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Israel membutuhkan lawan Politik dan Militer demi Eksistensi nya..