Sunday 17 November 2019

Kekuatan Gelap di Balik Kerusuhan Iraq, Juga Lebanon

Indonesian Free Press -- Irak dan Lebanon, dua negara dimana pengaruh Iran semakin kuat, kini tengah dilanda krisis politik yang serius yang diwarnai dengan aksi-aksi demonstrasi dan anarkhisme menentang kekuasaan. Dalam aksi-aksi tersebut sangat tampak ditujukan terhadap Iran meski para demonstran menyembunyikannya sebagai tuntutan demokrasi dan perbaikan ekonomi. 

Di Lebanon aksi demonstrasi relatif mereda setelah pemerintahan Saad Hariri mengundurkan diri dan rakyat sudah relatif sadar dengan adanya persekongkolan zionis untuk menghancurkan negara tersebut. Ingat, Israel menyerbu Lebanon tahun 1982 dan menduduki sebagian wilayah negara ini selama bertahun-tahun kemudian membentuk faksi-faksi yang bertikai dalam perang sipil berdarah-darah. Setelah itu Israel juga berkali-kali melakukan serangan militer ke Lebanon, terakhir tahun 2006. Namun Irak yang tidak pernah merasakan langsung invasi Israel dan sentimen Shiah-Sunni-Kurdi yang masih kuat masih terus dilanda kerusuhan.


Kerusuhan-kerusuhan di Irak dimulai awal Oktober lalu dan dengan cepat melanda kota-kota penting seperti Baghdad dan Basrah. Sebagian aksi tersebut berubah menjadi aksi brutal. Dalam beberapa hari pertama saja lebih dari 8 aparat keamanan dan lebih dari 100 demonstran tewas dan ribuan lainnya terluka.

Demonstran awalnya meneriakkan tuntutan perbaikan ekonomi dan pemberantasan korupsi. Namun seiring berjalnnya waktu tampa agenda tesembunyi di balik aksi-aksi kerusuhan itu, yaitu hengkangnya Iran dari Irak. Aksi paling nyata adalah dirusaknya kantor konsulat Iran dan kantor-kantor milisi pro-Iran yang telah memebebaskan Irak dari ISIS sehingga dengan mudah bisa disimpulkan adanya tangan-tangan zionis di balik aksi-aksi tersebut.

Bukti-bukti lainnya adalah dukungan media-media Barat dan juga dan negara-negara Arab Teluk terhadap aksi tersebut lengkap dengan analisanya yang menyebutkan faktor anti-Iran sebagai pemicunya.


Konteks Sejarah

Barat/zionis telah melancarkan perang berkali-kali terhadap Irak sajak tahun 1914 dengan jumlah korban rakyat Irak mencapai 9 juta. Penulis Abdul-Haq al-Ani dan Tarik al-Ani dalam buku 'Genocide in Iraq' menulis bahwa kehancuran di Irak diakibatkan oleh serangan AS dan sekutu tahun 1991, dilanjutkan dengan sanksi internasional yang mengakibatkan kematian jutaan rakyat Irak yang oleh keduanya disebut sebagai kejahatan kemanusiaan abad 20.

Tujuan serangan-serangan dan sanksi itu untuk mengubah Irak 
dan seluruh kawasan menjadi lebih menguntungkan bagi Israel. 
Namun karena rakyat dan pemerintah Irak menolak tunduk dan memilih berhubungan dengan lawan-lawan AS terutama Iran, maka kahancuran menjadi lebih hebat dan tak terhenti, dari invasi tahun 2003 sampai serbuan ISIS tahun 2015. Dan kini, setelah AS tidak memiliki tempat di hati rakyat Irak, zionis menggunakan tangan-tangan tak terlihat untuk menghancurkan Irak.


Timing Pecahnya Aksi-Aksi Kerusuhan

Kerusuhan dimulai hanya dua hari setelah Perdana Menteri ‘Adil ‘Abd al-Mahdi dengan marah menuduh Israel dan AS telah membom pangkalan-pangkalan Popular Mobilization Forces, kelompok milisi yang didukung Iran dan telah berjasa menyingkirkan ISIS dari Irak.

Dalam kondisi normal serangan terhadap negara berdaulat oleh negara lain akan mendorong PBB bersidang dan mengeluarkan resolusi mengutuk serangan tersebut. Namun PBB diam, menunjukkan lemahnya posisi Irak di mata dunia dan kuatnya pengaruh zionis. Di sisi lain, rakyat Irak diam membisu dengan serangan itu menunjukkan lemahnya mereka di hadapan zionis.

Maka kemarahan al-Mahdi sangat mengganggu zionis. Hal ini ditambah lagi dengan langkah al-Mahdi sebelumnya yang bertindak menjadi sponsor rekonsiliasi Saudi-Iran yang tidak menyenangkan zionis. Maka hanya berselang dua hari setelah kemarahan al-Mahdi aksi-aksi kerusuhan pun pecah di berbagai kota di Irak.

Kemudian, ketika aksi-aksi kerusuhan pecah di Irak, muncul kabar upaya pembunuhan atas komandan pasukan khusus Iran yang memerangi ISIS di Irak dan Suriah, Mayjend Qassem Soleimani. Dalam artikelnya “The US-Iran Silent War Is Transformed into an ‘Iraq Uprising’” Elijah J. Magnier dengan mengutip sumber-sumber inteligen Iraq, mengklaim

'…upaya pembunuhan atas Qassem Soleimani bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan terkaitan dengan situasi di Iraq. Soleimani berada di Iraq selama proses pemilihan pemimpin-pemimpin kunci Irak. Ia punya pengaruh luas, seperti halnya AS yang juga punya orang-orangnya di Irak. Jika Soleimani pergi akan menciptakan kekacauan di Iraq dan Iran, memungkinkan terjadinya kudeta yang didukung asing, Saudi Arabia dan AS.

Untungnya rencana itu gagal. Dalam segala hal, rakyat Irak tidak akan menerima kudeta yang akan membuat Irak riskan terhadap serangan Israel. Kudeta semacam itu dan dengan warna apapun tidak akan diterima rakyat Irak. Namun operasi penggulingan kekuasaan dengan menggunakan proksi-proksi lokal dan para oportunis akan lebih bisa diterima...'

Selain kemarahan PM Abdel Mahdi atas serangan zionis atas kelompok milisi Hashd al-Shaabi dan pembunuhan komandannya yang bertugas di perbatasan Iraq-Syria yang membuatnya dibenci zionis, ia dianggap telah melewati batas ketika membuka pintu perbatasan Iraq-Syria, memutuskan akan membeli rudal S-400 dan persenjataan lainnya dari Rusia. Abdel Mahdi 

juga sudah setuju untuk memberikan kontrak pembangunan infrastruktur dengan imbalan minyak kepada Cina dan Jerman daripada AS.

Selain itu PM Iraq mengabaikan sanksi AS atas Iran dengan membeli listrik dari Iran sehingga memberikan keuntungan yang lumayan banyak bagi Iran. Dan terakhir, Abdel Mahdi menolak proposal “Deal of the Century” yang dibuat AS untuk menyelesaikan masalah Palestina karena merugikan Palestina.(ca)

No comments: