Tuesday, 18 February 2020

Perkembangan Konflik Suriah dan Kekhawatiran Amerika-Turki

Indonesian Free Press -- Bagi Amerika dan Turki konflik di Suriah memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Bagi Amerika, Suriah yang hancur akan menghancurkan 'poros perlawanan' antai-zionis yang digagas Iran dan didukung Suriah, Lebanon, Irak, Yaman dan Palestina. Adapun untuk Turki, Suriah yang hancur memungkinkan Turki membangun kembali pengaruhnya di Suriah sebagaimana masa khilafah Usmaniyah dahulu sekaligus memenuhi ambisi pribadi Presiden Erdogan untuk menjadi 'khalifah Usmaniyah baru'.

Dan bagi keduanya sekaligus, krisis Suriah memungkinkan mereka untuk 'mencuri' sumber-sumber minyak Suriah yang terutama terletak di Suriah timur-laut.

Untuk yang satu ini Amerika bahkan tidak malu-malu lagi untuk mengakuinya. “Apa yang ingin saya lakukan adalah, mungkin, membuat kesepakatan dengan ExxonMobil atau salah satu perusahaan besar kita untuk pergi ke sana (Suriah) dan melakukan pekerjaan dengan baik," kata Presiden Donald Trump pada Oktober tahun lalu.


Adapun tentang Turki, para diplomat dan pengamat politik internasional mengetahui kroni dan keluarga Erdogan mendapat keuntungan finansial yang sangat besar dari bisnis minyak ilegal ini. Ketika pada tahun 2013 lalu jaksa dan polisi Turki menangkap orang-orang dekat Erdogan, salah satunya menteri senior, Erdogan bereaksi keras dengan memecat para jaksa dan polisi yang terlibat dalam penyelidikan. Tidak hanya itu, Erdogan dan partai pendukungnya mengganti undang-undang kejaksaan yang menempatkan lembaga tersebut berada di bawah kontrol pemerintah dan tidak lagi menjadi lembaga independen.

Menurut laporan keuangan Washington, sejak tahun 2012 AS telah menganggarkan dana $200  setiap tahun yang dialokasikan kepada kelompok binaan Turki Syrian Democratic Forces (SDF), yang mengontrol wilayah kaya minyak di Suriah timur-laut. Para pengamat percaya uang itu untuk mengamankan praktik pencurian minyak Suriah.

Namun kini angin bertiup berbalik arah. Suriah dengan dukungan Rusia dan koalisi Iran dan proksi-proksinya tengah melancarkan offensif besar-besaran ke wilayah yang masih dikuasai pemberontak tersebut. Turki, yang telah mengirimkan ribuan tentara dan ratusan kendaraan militer lapis bajanya untuk mempertahankan status-quo telah merasakan pahitnya tamparan Suriah dengan tewasnya belasan tentaranya akibat konflik bersenjata dengan pasukan Suriah. Pun demikian dengan Amerika yang kini merasakan tekanan untuk mempertahankan posisinya di Suriah.

Pada tanggal 12 Februari lalu tentara Amerika mendapatkan pengalaman baru yang menyakitkan mereka. Warga kota kecil Khirbet Ammu di dekat kota Qamishli di Suriah timur-laut menghadang patroli pasukan Amerika di kota itu. Mereka merebut bendera Amerika dan membakarnya. Tidak hanya itu, mereka dengan bersenjatakan seadanya bahkan berani melucuti tentara Amerika dan membakar beberapa kendaraan militer Amerika. Bila saja tidak ada patroli pasukan Rusia yang datang untuk melerai, mungkin korban jiwa di antara pasukan Amerika sudah berjatuhan.

Keberanian warga Khirbet Ammu menghadapi pasukan Amerika tidak bisa tidak dipengaruhi oleh offensif pasukan Suriah yang kini terus bergerak maju.

Seiring dengan offensif besar-besaran Suriah di wilayah Suriah timur-laut, terutama sekitar Provinsi Idlib dan Aleppo, kehadiran pasukan Suriah dan Rusia di wilayah itu membuat pasukan Amerika dilanda ketegangan. Bahkan telah terjadi pertikaian singkat antara pasukan Rusia dan Amerika ketika pasukan Amerika mencoba memblokade konvoi pasukan Rusia dan Rusia mengirimkan tambahan pasukan berupa helikopter-helikopter serbu yang memaksa pasukan Amerika menyingkir.

"Pasukan Amerika dalam tekanan, pada saat Rusia dan Suriah meningkatkan upaya mereka untuk mengkonter pasukan Amerika," tulis New York Times (NYT) 15 Februari lalu.

NYT menyebut Rusia dan Suriah tengah melakukan kampenye 'tekanan yang intensif' dan 'tantangan-tantangan yang konstan' kepada Amerika. Selain kehadiran pasukan, drone-drone dan pesawat-pesawat tempur Rusia dan Suriah juga telah 'menggerus' keunggulan udara Amerika di kawasan tersebut.

Laporan juga mengutip keterangan Vice Admiral Tim Szymanski, komandan satuan elit Navy SEAL Amerika yang menjadi Wakil Panglima Special Operations Command yang mengungkap bahwa Rusia dan Damaskus secara efektif “menekan” pasukan AS di Suriah timur-laut.

Berbicara kepada reporter pekan lalu, diplomat senior yang mengurusi Suriah, James F. Jeffrey juga mengatakan bahwa 'permainan kucing-kucingan' dan pertemuan antara pasukan Amerika dan Rusia-Suriah tidak terjadi setiap hari, namun semakin meningkat jumlahnya dan menimbulkan persoalan.

Dalam laporan tersebut NYT menyebutkan bahwa para pejabat AS khawatir bahwa bentrokan antara pasukan AS dan Rusia-Suriah menjadi semakin intens dan bisa berbuntut perang terbuka setelah koalisi Suriah berhasil menguasai sepenuhnya wilayah Idlib, wilayah terakhir yang masih dikuasai pemberontak.(ca)

No comments: