Oleh: KH Luthfi Bashori
Indonesian Free Press -- Pengantar: Sudah membaca novel 'Arus Balik' karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh sastrawan simpatisan komunisme?
Ini adalah novel sejarah yang sangat sangat bagus yang menggambarkan masa peralihan kekuasaan kerajaan Hindu Majapahit dengan kerajaan Islam Demak. Namun ada satu hal yang menarik dalam novel ini. Seperti karya-karya Pramodedya yang lainnya, terlihat kebencian yang sangat mendalam penulis novel dengan segala hal yang berbau Arab-Islam.
Bambang Tri, teman dunia maya yang penulis buku kontroversi 'Jokowi Undercover' dan mengaku dekat dengan keluarga Pramoedya di Blora, mengatakan kepada blogger bahwa penyebab kebencian Pramoedya pada segala hal yang berbau Arab adalah karena istrinya pernah digoda oleh seorang perwira tentara berdarah Arab saat beliau menjalani penahanan regim Orde Baru. Namun, tentu saja blogger tidak percaya begitu saja. Kebencian kepada seseorang dari kelompok tertentu tidak akan membuatnya membenci seluruh anggota kelompok itu, kecuali ada faktor lain yang lebih mendasar. Dan inilah, yang menurut blogger sebagai dasarnya.
Ketika Islam datang ke INdonesia, saat para wanita INdonesia bertelanjang dada dan raja-raja Hindu bertelanjang kaki, struktur sosial masyarakat dikuasai oleh kelompok bangsawan (ksatria) dan tokoh agama (bhrahmana). Setelah Islam diterima oleh masyarakat, struktur sosial secara umum tidak berubah, hanya terjadi perubahan kulit. Para bangsawan dan tokoh agama masih tetap berkuasa, namun namanya sudah berubah. Raja menjadi Sultan, dan para brahmana menjadi ulama.
Namun ada 'sedikit' perubahan dalam struktur sosial masyarakat dengan kehadiran orang-orang berdarah Arab, baik yang asli maupun keturunan yang berasimilasi dengan warga lokal. Mereka banyak mengisi posisi-posisi yang sebelumnya ditempati para ksatria dan brahmana. Ada raja-raja Samudra Pasai yang asli berdarah Arab, raja-raja Demak yang berdarah campuran Arab, maupun penguasa kesultanan Cirebon (Fathahillah) yang berdarah Arab asli. Dan di antara para ulama, mereka yang berdarah Arab bahkan dianggap lebih mulia karena kedekatan mereka secara nasab dengan Nabi Muhammad.
Hal ini tentu saja menimbulkan ekses di antara bekas ksatria dan bhrahmana. Sebagian dari mereka tidak bisa menerima sepenuhnya dominasi orang-orang keturunan Arab itu. Pramoedya Ananta Toer adalah salah satunya. Yang lainnya adalah Yahya C Tsaquf, pengurus organisasi Nahdatul Ulama yang merilis treat kontroversial tentang Habib Umar bin Hafidz, ulama asal Timur Tengah yang tengah berkunjung ke Indonesia.
Ulah Yahya C Tsaquf ini pun mengundang kecaman dari sejumlah kalangan, karena dianggap telah bertindak 'kurang ajar' kepada zuriat Nabi Muhammad. Salah satu kecaman ini datang dari KH Luthfi Bashori yang menulis treat berikut di media sosial:
----------------
Tertera dalam kamus wikipedia bahasa Indonesia, istilah HABIB di kalangan Arab-Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad (Bani Hasyim) dan secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur St. Fatimah az-Zahra (yang berputra Hasan dan Husain) dengan Sy. Ali bin Abi Thalib.
Habib yang datang ke Indonesia, mayoritas adalah keturunan Sy. Husain putra dari Sy. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib dengan St. Fatimah binti Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.
Dengan mengetahui masalah ini, maka sejatinya pemanggilan nama Habib itu termasuk bukan urusan main-main dalam kaca mata Islam.
Kalau ada orang yang sengaja mempermainkan panggilan Habib untuk bahan ejekan, maka sama saja dengan menghina marwah Islam, hingga ucapannya itu perlu untuk ‘diperangi’.
Orang yang sengaja memanggil HABIB terhadap orang kafir, dengan tujuan main-main, apalagi kalau niatnya untuk merendahkan keturunan Rasulullah SAW, maka ia telah melecehkan Islam.
Contoh jika ada orang yang sengaja memanggil HABIB AHSIN WIRATU (si Pendeta Budha penjahat Myanmar) dengan tujuan main-main atau dengan sangat serius berniat menjatuhkan marwah Habib secara istilah, sebagaimana yang dipergunakan oleh umat Islam. Maka ucapan orang se macam ini perlu untuk ‘diperangi’ dan ia tidak patut untuk dihormati oleh umat Islam, karena telah menghinakan diri sendiri.
Adapun LARANGAN memanggil orang kafir dengan panggilan kehormatan milik umat Islam seperti Habib (yang tercinta), atau Sayyid (tuan), atau Syaikh (guru mulia) dan panggilan kehormatan lainnya, yang sekira sudah identik dengan marwah Islam, telah disebutkan dalam hadits shahih.
Dari Sy. Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, beliau berkata, bahwa ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian memanggil ‘tuan’ kepada kaum munafiq, karena jika ia menjadi ‘tuan’ kalian, sungguh telah membuat murka Tuhan kalian Azza wa Jalla.”
Menurut kitab Hawasyi Tuhfatil Muhtaj bi Syarhil Minhaj, karya Assyaikh Abdul Hamid Assyarwani dan Assyaikh Ahmad bin Qasim Al’abadi, pada halaman 212 disebutkan, “Barang siapa yang memanggil seorang kafir dzimmi dengan sebutan: HAI HAJI…! maka ia harus DIHUKUM TA’ZIR.”
No comments:
Post a Comment