Indonesian Free Press -- Bulan September lalu dunia menyaksikan ketegangan antara Amerika dan Korut telah berada di titik nadir, dan perang antara keduanya dapat terjadi sewaktu-waktu. Namun, hanya sebagian orang yang percaya bahwa perang antara keduanya akan menyeret konflik yang jauh lebih besar dan tidak bisa dikontrol.
Media Amerika, LA Times, menulis sesuatu yang menarik tentang latihan perang gabungan Rusia-Cina di Laut Jepang dan Laut Okhotsk, 18 September lalu:
"Sementara Rusia dan Cina telah menggelar latihan gabungan ini sejak tahun 2012, 'timing' dari latihan 'Joint-Sea 2017' ini sangat signifikan.”
Sayangnya LA Times tidak menjelaskan apa makna dari 'signifikan' ini, meski sebenarnya hal itu sangat penting. Padahal, maksud dari 'signifikan' itu adalah ancaman Rusia dan Cina kepada Amerika untuk tidak menyerang Korut dengan dalih 'operasi bendera palsu'.
Kevin Barrett dalam tulisannya di Veterans Today, 25 September lalu menyebut bahwa pemilihan waktu penyelenggaraan latihan gabungan Rusia-Cina itu bersamaan dengan peristiwa 'Insiden Mukden', 18 September 1931. Hal ini menunjukkan bahwa Rusia dan Cina telah memperingatkan Amerika untuk tidak melakukan 'operasi bendera palsu' sebagai dalih untuk menyerang Korut.
Insiden Mukden (The Mukden Incident) atau Manchurian Incident adalah sebuah insiden yang dilakukan oleh seorang tentara Jepang yang dijadikan alasan Jepang untuk menyerbu wilayah Manchuria yang merupakan bagian dari Cina.
Pada tanggal 18 September 1931, Letnan Suemori Kawamoto meledakkan dinamit di jalur kereta api milik Jepang (South Manchuria Railway) di dekat kota Mukden (Shenyang). Ledakan dinamit tersebut terlalu lemah untuk menghancurkan jalur kereta api dan kereta api yang melintas di atasnya, beberapa saat kemudian. Namun, betapapun Jepang menuduh Cina sebagai pelaku ledakan dan diikuti dengan penyerbuan Jepang ke Manchuria.
Rekayasa Jepang ini terbongkar oleh Lytton Report tahun 1932 yang membuat Jepang dikucilkan masyarakat internasional dan memaksa Jepang mengundurkan diri dari keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa tahun 1933.
Menurut Barrett Amerika tidak bisa menyerang Korut tanpa alasan kuat, yaitu serangan terlebih dahulu oleh Korut kepada Amerika. Hal ini setelah Cina dengan tegas telah mengancam akan membela Korut jika diserang Amerika. Selain itu publik Amerika dan dunia juga akan marah kepada Presiden Donald Trump jika Amerika menyerang Korut tanpa alasan kuat. Itulah sebabnya terdapat kekhawatiran bahwa Amerika akan melakukan 'operasi bendera palsu', sebagaimana Jepang dalam 'Insiden Mukden' tahun 1931.
Mengantisipasi hal itu, Rusia dan Cina mengingatkan Amerika untuk tidak melakukan hal itu, melalui latihan militer gabungan yang 'timing'-nya bersamaan dengan ulang tahun 'Insiden Mukden' seperti disinggung LA Times.
Kekhawatiran Rusia dan Cina itu sangat beralasan karena Amerika telah berulangkali melakukan rekayasa untuk mencari alasan untuk menyerang negara sasarannya. Selain tragedi Serangan WTC tahun 2001 yang menjadi dalih Amerika menyerbu Timur Tengah, sebagian besar 'operasi bendera palsu' dilakukan dengan melibatkan kapal perang.
Pada tahun 1898, agen-agen inteligen Amerika meledakkan kapal perang USS Maine, menewaskan 268 orang dan mendorong Amerika menyerang Spanyol dan merebut koloni-koloni Spanyol di Amerika Latin. Disusul kemudian pada tahun 1915, Amerika mengirim kapal penumpang Lusitania yang penuh dengan senjata, menembus kepungan Jerman yang tengah terlibat perang melawan Inggris. Bisa diduga, Jerman menenggelamkan kapal itu dan Amerika pun melibatkan diri dalam Perang Dunia I melawan Jerman.
Kemudian pada tahun 1941, Amerika menetapkan kebijakan Eight Point Plan yang mengembargo ekonomi Jepang dan memaksa negara itu menyerang Pearl Harbour dan membiarkan 2.400 prajuritnya tewas, meski Amerika sudah mengetahui rencana serangan itu. Dengan serangan itu, Amerika pun menerjunkan diri dalam Perang Dunia II.
Pada tahun 1962 seluruh anggota Joint Chiefs of Staff menyetujui rencana 'Operation Northwoods' yang akan menenggelamkan kapal perang Amerika dan dijadikan alasan untuk menyerang Kuba. Selanjutnya, pada tahun 1964 Amerika juga merekayasa 'Gulf of Tonkin Incident', dimana sebuah kapal imaginer Amerika diserang oleh Vietnam Utara dan mendorong Amerika terjun dalam Perang Vietnam.
'Operasi bendera palsu' paling tragis yang dilakukan Amerika adalah insiden USS Liberty bulan JUli 1967, dimana Amerika membiarkan kapal inteligen USS Liberty diserang oleh Israel di Laut Mediterania dan menewaskan 34 personil militer Amerika. Tujuan insiden itu adalah untuk melegitimasi Amerika menerjunkan diri dalam Perang Arab-Israel di pihak Israel, setelah menuduh Mesir terlibat dalam insiden serangan USS Liberty. Rencana ini gagal setelah Israel gagal menenggelamkan USS Liberty, meski telah dibom oleh pesawat-pesawat dan kapal perang Israel.
"Jadi hari ini, di akhir 2017, mungkinkah Trump dan 'Kelompok Gila Perang' di belakangnya akan mencoba menuduh Korut dalam sebuah insiden serangan laut?" tulis Barrett.
Menurut Barrett, Amerika memiliki dua pilihan 'operasi bendera palsu' yang melibatkan bom nuklir, yang kemungkinan akan dituduhkan kepada Korut atau Iran. 'Minor nuclear terrorism' akan menggunakan bom nuklir taktis yang dikenal 'dirty bomb' yang akan menimbulkan radiasi dan terror yang meluas meski dengan kehancuran yang relatif kecil. Sedangkan 'major nuclear terrorism' menggunakan bom nuklir strategis yang menimbulkan kehancuran hebat di wilayah Amerika.
"Faksi Bibi Netanyahu di Israel, yang diduga kuat telah menggunakan bom nuklir mini untuk meledakkan World Trade Center tahun 2001, kemungkinan telah meletakkan bom-bom nuklir strategis di wilayah Amerika sebagai bagian dari strategi “Samson Option” yang ditujukan untuk menghancurkan dunia saat Isreal terdesak oleh tuntutan bagi kemerdekaan Palestina," tulis Barrett.(ca)
1 comment:
Dewa nya intrik, tipu daya dan keonaran dunia TK lagi berbuat bebas seperti yg sudah sudah..
Di era keterbukaan, segalanya menjadi mudah di endus dan antisipasi
Post a Comment