Monday 10 February 2020

Bagaimana Iran Putuskan Serang Pangkalan Militer AS

Indonesian Free Press -- Publik dunia telah mengetahui bahwa sebagai respon atas pembunuhan AS atas Jendral Qaseem Soleimani tanggal 3 Januari lalu, Iran melancarkan serangan rudal terhadap dua pangkalan militer AS di Irak yang menghancurkan pangkalan tersebut dan melukai puluhan personil militer AS. Ini adalah serangan telak yang menampar muka AS sebagai negara superpower.

Namun bagaimana keputusan tersebut diambil oleh otoritas tertinggi Iran dan bagaimana pilihan Iran bila Amerika kemudian melancarkan serangan balik, tentu tidak banyak diketahui publik.

Situs Anti-Empire pada 4 Februari lalu memberikan laporan menarik yang ditulis Elijah J. Magnier mengenai detik-detik seputar pembunuhan Jendral Soleimani dan serangan balasan Iran yang bisa diringkas sebagai berikut:


Pada tanggal 3 Januari dinihari Jendral Soleimani ditemani sejumlah petinggi militer Iran, Brigjen Hussein Pour Jaafari, Kolonel Shahroud Muzaffari Nia, Major Hadi Tameri dan Kapten Wahid Zamaniam tiba di bandara internasional Baghdad. Jendal Soleimani berada di Baghdad untuk bertemu Perdana Menteri Irak membawa pesan dari Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Khamenei berkaitan dengan 'rencana perdamaian' dengan Saudi Arabia.

Sejak mendarat, rombongan Soleimani terus menjalin kontak dengan Kedubes Iran di Baghdad. Di bandara Soleimani disambut oleh beberapa pejabat Iran dan Irak, termasuk Abu Mahdi al-Muhandes, wakil panglima milisi PMU yang bertugas mengawal Soleimani selama berada di Baghdad. PMU secara resmi adalah bagian dari angkatan bersenjata Irak dan karenanya pengawalan tersebut adalah tindakan resmi. Namun ketika konvoi mendekati pos penjagaan serangan drone Amerika terjadi dan komunikasi dengan Soleimani pun terputus. Kabar serangan itu pun langsung dikirimkan ke Teheran dan selanjutnya ke kediaman Ayatollah Khamenei.

"Kita semua milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali,” itulah kata pertama yang keluar dari Ayatollah Khamenei, sebagaimana kalimat yang diucapkan kaum Muslim ketika mendengar kabar kematian. Namun ada kesedihan yang mendalam dengan kabar itu karena Soleimani adalah perwira kesayangan Khamenei, yang dijuluki 'syuhada yang hidup' karena ancaman kematian yang dihadapi Soleimani dalam tugas-tugasnya di Suriah dan Irak.

Pada awal tahun baru lalu Soleimani meninggalkan Beirut dan bermalam di Suriah, tidak jauh dari bandara Damaskus. Setiap kunjungannya ke Suriah ia selalu menggelar pertemuan dengan para komandan perangnya setelah sholat subuh dan sebelum terbit fajar, selama tidak lebih dari 2 jam. Hari itu ia mengajak semua komandan untuk sarapan bersama dan meninggalkan pertemuan sebelum fajar. Namun tidak seperti biasa, Soleimani lebih banyak bicara.

Setelah mendengar kabar pembunuhan Soleimani, Sayyed Ali Khamenei segera memanggil para komandan militer tertinggi dan menginstruksikan: “bersiaplah untuk serangan balasan yang kuat. Kita harus mengumumkan tanggungjawab kita langsung sehingga musuh mengetahui bahwa kita menantang mereka dengan berhadapan muka dan tidak dengan cara pengecut seperti cara mereka membunuh Soleimani dan sahabat-sahabatnya. Pukullah tentara Amerika dengan keras untuk mematahkan arogansi mereka, di tempat mereka melakukan pembunuhan keji”.

Sejumlah skenariopun dipaparkan di hadapan Sayyed Khamenei. Pilihan pertama adalah pangkalan Ayn al-Assad, pangkalan udara paling penting di Iraq, dimana Presiden Trump mendarat di Irak di tempat yang menurutnya paling aman. Iran mengetahui secara detil kondisi pangkalan tersebut. Drone-drone dan mata-matanya telah memetakan secara detil kondisi pangkalan.

Rencana 'pukulan kedua'-pun ditetapkan bila Amerika melakukan serangan balasan. Kriterianya, berada di luar Irak dan di sekitar Teluk Parsi serta memiliki nilai strategis lebih besar. Tidak berhenti di sini, 'pukulan ketiga' juga ditetapkan jika Amerika kembali melakukan serangan balasan atas 'pukulan kedua'. Yang terakhir ini ditujukan untuk menimbulkan korban besar bagi Amerika.

"Tiga rencana, tiga skenario, semua direncanakan untuk dijalankan satu demi satu. Sayyed Ali Khamenei menyetujui semuanya sehingga persetujuan berikutnya tidak diperlukan lagi," tulis Magnier.

Dan terakhir, Sayyed Khamenei menginstruksikan para komandan untuk meminta persetujuannya dalam hal semua skenario di atas dibalas oleh Amerika. Khamenei sendiri yang akan mengumumkan mobilisasi umum untuk menghadapi perang habis-habisan. Selanjutnya, Sayyed Khamenei akan memerintahkan peluncuran rudal-rudal Iran ke seluruh pangkalan militer Amerika di kawasan. Seluruh sekutu Iran akan dilibatkan dalam perang ini dan seluruh sekutu Amerika di kawasan akan mendapatkan serangan langsung. 

Untuk seluruh skenario ini Khamenei menekankan bahwa Iran harus menunjukkan kepada dunia tentang keberanian menghadapi Amerika. Untuk itu Iran tidak menyembunyikan rencananya membom pangkalan Ayn al-Assad dan pangkalan lainnya yang lebih kecil di Erbil, Kurdistan Irak. Iran telah mengabarkan rencana itu kepada Amerika melalui Irak dan Swiss sebagai perantara komunikasi Iran-Amerika, dua hari sebelumnya. Iran juga menembakkan rudal-rudalnya dari pangkalan-pangkalan militer terbuka yang diawasi satelit-satelit Amerika, bukan melalui silo-silo bawah tanah.

Sejumlah pemimpin negara dan diplomat asing menghubungi otoritas Iran untuk mencegah Iran melancarkan serangan demi menghindarkan perang terbuka dengan Amerika. Namun hal itu tidak membawa hasil. 

"Iran menghindarkan diri dari mengejutkan AS. Bila mau Iran meluncurkan rudal-rudalnya dari bawah tanah tanpa peringatan. Ini semua untuk menunjukkan tantangan Iran kepada Amerika," tambah Magnier.

Untuk menunjukkan keseriusan, Iran juga mengirimkan drone-dronenya ke pangkalan-pangkalan militer AS di Kuwait, Qatar, Saudi Arabia, Uni Emirat dan negara-negara tetangga lainnya di siang hari.

Presiden Trump dan para pemimpin militer AS pun terkejut dengan reaksi Iran. Mereka tidak pernah membayangkan Iran akan berani melakukan itu semua. Bahkan Rusia-pun, ketika puluhan tentara-nya dibom Amerika di Suriah, menghindarkan diri untuk tidak membalas membom balik pasukan Amerika. Karena itu-lah, Trump, yang sebelumnya sesumbar akan menyerang 52 sasaran di Iran jika Iran berani menyerang Amerika untuk membalas pembunuhan Jendral Soleimani, memilih untuk membiarkan begitu saja dua pangkalannya dirudal Iran.

“Seluruh pangkalana militer AS kini menjadi ancaman bagi negara-negara tuan rumah. Pangkalan-pangkalan itu tidak lagi menjadi pelindung melainkan telah berubah menjadi sasaran empuk rudal-rudal Iran. Tidak ada lagia tempat yang aman bagi pasukan AS di kawasan saat 'garis merah' dilewati AS, seperti pembunuhan Sardar Soleimani,” tulis Magnier di bagian terakhirnya.(ca)

No comments: