Thursday 3 September 2009

Membela sang Durjana, Menghujat sang Mulia


Sebagai bentuk kecintaanku kepada keluarga Rosulullah sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al Qur'an: "Katakanlah (Muhammad): Aku tidak meminta upah atas seruanku kecuali kasih sayang kepada keluargaku" (QS 42:23), aku memberi nama anak-anakku nama-nama ahlul bait. Anak pertama kuberi nama "Muhammad", anak kedua "Fathimah", dan anak ketiga "Ali".

Sebaliknya aku tidak habis pikir ketika tetanggaku, seorang pengikut jamaah yang menamakan diri "salafi" (aku lebih suka menganggapnya sebagai wahabi, satu sekte yang didirikan oleh orang yahudi untuk menghancurkan Islam secara diam-diam. Mereka telah menghancurkan semua situs sejarah Islam termasuk rumah Rosulullah, dan nyaris saja menghancurkan makam nabi Muhammad kalau tidak diprotes keras oleh umat Islam dari seluruh dunia termasuk dari Indonesia. Sekte ini sekarang memegang kekuasaan di Arab Saudi dan menjadi sekte resminya kerajaan Saudi), menamakan anaknya dengan nama "Jazid". Tidakkah ia tidak tahu bahwa Jazid adalah nama seorang durjana yang telah membunuh Hussein, cucu kesayangan Rosulullah di Karbala? Tidakkah ia juga tidak tahu kalau Jazid pulalah yang bertanggungjawab dalam Tragedi Hurrah, yaitu penyerbuan yang disertai penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan massal terhadap dua kota suci Makkah dan Madinah?

Pernah saya memancing pembicaraan dengannya tentang Jazid bin Muawiyah. Saya utarakan apa yang saya ketahui mengenai sosok Jazid. Dengan gigih ia membela Jazid sebagai sosok yang "alim". Menurutnya Jazid tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan Hussein karena yang membunuh adalah bawahannya tanpa sepengetahuan dirinya. Sedangkan mengenai Tragedi Hurrah ia menolak peristiwa itu pernah terjadi meski peristiwa itu tertulis dalam buku-buku sejarah klasik Islam.

Masya Allah, seorang durjana terbesar dalam sejarah umat Islam masih tetap dibela oleh orang yang mengaku Islam.

Memang sebagai seorang raja, Jazid tidak perlu repot-repot menghunuskan pedang untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Hanya moron (lebih bodoh dari idiot) yang percaya hal seperti itu. Tapi peristiwa pembunuhan Hussein mutlak menjadi tanggungjawab Jazid, hatta jika ia tidak memerintahkan pembunuhan itu. Diamnya dia terhadap pembunuh Hussein telah membuktikan keterlibatannya dalam peristiwa itu. Apalagi jika memang dialah yang menjadi dalang pembunuhan itu sebagaimana banyak ditulis oleh buku-buku sejarah.

Bagaimana kita tidak percaya Jazid melakukan tindakan keji memerintahkan pembunuhan Hussein dengan memenggal kepalanya, mengaraknya kepala jenazah dari Irak ke Damaskus, dan memukuli muka Hussein dengan tongkat di hadapan orang-orang? Neneknya, Hindun, bahkan telah melakukan tindakan yang tidak kalah keji: memakan jantung Hamzah bin Abdul Muthalib yang tidak lain adalah kakek Hussein dan paman Rosulullah.

Semua tindakan keji kepada keluarga Rosulullah itu tidak lain adalah dilandasi oleh dendam keluarga yang telah diwarisi selama puluhan tahun yang menghinggapi keluarga Bani Umayah. Orang akan sulit menerima alasan dendam keluarga bisa membuat seseorang berlaku keji, bahkan kepada keluarga Rosulullah yang disucikan Allah, jika tidak memahami adat dan budaya bangsa Arab di masa lalu.

Bangsa Arab adalah bangsa nomaden, kecuali beberapa kabilah yang tinggal di kota-kota seperti Mekkah, Madinah dan Thaif. Di antara kabilah-kabilah tersebut tidak ada seorang penguasa yang menjadi kepala pemerintahan, sementara bangsa-bangsa beradab lain di sekitar Arab tidak terlalu peduli dengan keberadaan bangsa ini karena kondisi geografis, sosial dan ekonomi bangsa Arab yang tidak menarik untuk dikuasai. Hukum yang berlaku di antara bangsa Arab adalah hukum rimba. Seorang bangsawan sebuah kabilah dalam sekejab bisa menjadi budak setelah kafilahnya dirampok oleh kabilah-kabilah nomad.

Menghadapi kondisi seperti itu, orang-orang Arab secara ilmiah melakukan "pertahanan diri" dengan memupuk rasa persatuan berdasarkan kabilah atau keluarga sehingga jika satu orang anggota kabilah mendapat serangan, seluruh anggota kabilah akan membelanya mati-matian. Hal ini membuat warga dari kabilah lain berfikir dua kali untuk melakukan sebuah tindakan agresif.

Pada masa-masa sebelum kelahiran Rosulullah, kota Mekkah telah diwarnai dengan persaingan diam-diam antara kabilah Bani Muthalib/Hasyim dengan Bani Umayah. Persaingan ini berkaitan dengan jabatan kehormatan yang disandang oleh pemimpin kabilah yang diangkat menjadi penjaga Ka'bah. Selama berpuluh tahun jabatan ini dipegang oleh pemuka kabilah Bani Muthalib/Hasyim yang memang dikenal sebagai keluarga yang jujur, bersahaja namun tegas. Sementara Bani Umayah yang lebih pragmatis menguasai perekonomian melalui beberapa anggota keluarganya yang sukses menjadi pedagang, seperti Abu Sufyan dan Usman bin Affan.

Ada satu kisah menarik mengenai oportunisme dan pragmatisme Abu Sufyan, dan itu mungkin yang mendasari ia dan keluarganya termasuk istrinya, Hindun, putranya, Mu'awiyah dan cucunya, Jazid, masuk Islam setelah tidak ada pilihan lain menyusul jatuhnya kota Mekah ke tangan Islam. Paska perang Hunain di mana pasukan Islam mendapatkan harta rampasan perang yang melimpah, Abu Sufyan mendapat bagian ekor unta. Tanpa malu-malu ia meminta bagian untuk anaknya, Mu'awiyah. Nabi pun menambahnya dengan 100 ekor unta lagi. Namun itu pun masih kurang. Ia meminta tambahan lagi untuk cucunya, Jazid. Permintaan ini pun dikabulkan Rosul.

Persaingan antara keluarga Bani Muthalib/Hasyim dengan Bani Umayyah tersebut semakin keras setelah kedatangan Rosulullah dengan agama barunya, Islam. Keluarga Bani Umayah dikenal sebagai penentang utama Rosulullah sementara keluarga Bani Muthalib/Hasyim menjadi pelindung Rosulullah. Meski terdapat beberapa pengecualian seperti Usman bin Affan yang menjadi pendukung Rosulullah dan Abu Lahab, paman Rosul yang justru memusuhi Rosul, namun secara umum kedua keluarga memiliki sikap yang bertentangan dalam hal penyiaran Islam.

Permusuhan berdasarkan sentimen keluarga tersebut begitu hebatnya mengalahkan ikatan-ikatan lainnya. Perlu diketahui bahwa Rosulullah adalah menantu dari Abu Sufyan. Namun kebencian keluarga membuat ikatan perkawinan seolah menjadi tanpa arti. Abu Sufyan memerintahkan putrinya, Ummu Habibah, untuk bercerai dengan Rosul, namun Ummu Habibah tetap memilih menjadi istri Rosul.

Rosulullah dan Ali bin Abu Thalib sebagaimana kita ketahui adalah anggota kabilah Bani Muthalib/Hasyim, dan Muawiyah serta Jazid adalah anggota kabilah Bani Umayah.

Persaingan tersebut semakin massif setelah umat Islam mengangkat senjata melawan orang-orang khafir Quraisy dari Mekkah. Dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara keduanya, Bani Umayah dengan Abu Sufyan sebagai pemimpinnya, selalu menjadi tulang punggung pasukan orang-orang Quraisy. Sementara Bani Muthalib/Hasyim dengan ikonnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib, tampil sebagai pelindung Rosulullah yang paling tangguh.

Fenomena seperti itu tampak jelas dalam drama Perang Badar. Ketika perang akan dimulai dan pasukan Islam dan kafir Quraisy sudah berhadap-hadapan, tiga orang Quraisy tampail ke muka dan menentang duel. Ketika tiga orang Anshar (penduduk asli Madinah) tampil ke muka untuk melayani tantangan, orang-orang Quraisy, ketiga orang Quraisy tersebut menolak dan meminta Rosulullah mengirimkan tiga orang anggota keluarganya untuk melayani tantangan mereka. Maka Rosulullah memerintahkan tiga kerabatnya, Hamzah, Ali, dan Abu Ubaidah untuk berperang tanding.

Dan Perang Badar menjadi ladang pembantaian pertama Bani Umayah oleh Bani Thalib/Hasyim yang menimbulkan bara api dendam yang hebat. Dan di antara anggota Bani Thalib/Hasyim Ali adalah orang yang paling banyak membunuhi anggota Bani Umayyah.

Ironisnya selain membela sang durjana, Jazid maupun ayahnya Mu'awiyah yang telah memberontak kepada khalifah Ali bin Abi Thalib yang sah dan dikutuk Rosulullah sebagai orang yang tidak pernah bisa kenyang perutnya, sebagian umat Islam dengan gigih mengkafirkan Abu Thalib.

Ia adalah paman Rosul yang telah membela Rosulullah dengan nyawanya sehingga memungkinkan Rosulullah melaksanakan dakwahnya dan Islam berkembang di antara penduduk Mekkah. Tidak ada orang yang lebih berjasa membela Islam selain beliau. Pembelaannya kepada Muhammad sudah menjadi bukti kuat bahwa beliau telah beriman kepada Islam. Bahkan berdasarkan banyak riwayat, Abu Thalib telah beriman kepada kerosulan Muhammad S.A.W saat Rosul belum resmi diangkat menjadi nabi.

Riwayat itu menyebutkan ketika Abu Thalib dan Rosul melakukan perjalanan dagang ke Syria, mereka berjumpa dengan serang pendeta nasrani yang melihat tanda-tanda kenabian Rosulullah berdasarkan kitab suci yang dianutnya. Saat itu sang pendeta memberitahukan tentang kenabian Rosulullah menyarankan kepada Abu Thalib untuk melindunginya terhadap orang-orang musrik dan orang-orang yahudi. Abu Thalib yang telah melihat keistimewaan ahlak Rosul sejak kecil percaya sepenuhnya dengan ramalan pendata nasrani tersebut dan berjanji akan melindungi Rosul dengan nyawanya. Janji itu ditepatinya hingga ia meninggal dunia. Tidak ada alasan lain yang membuat Abu Thalib mengambil keputusan untuk membela Rosulullah dengan taruhan nyawanya kalau bukan karena keimanan yang kuat. Jika tidak, ia akan seperti Abu Lahab yang justru memusuhi Rosulullah, atau Abbas bin Abdul Muthalib yang lepas tangan terhadap nasib Rosulullah.

Apa kita berani mempertaruhkan hak kita atas surga dengan membuat tuduhan kafir terhadap Abu Thalib? Atas dasar apa kita berani mengkhafirkan orang yang paling berjasa terhadap Islam? Berdasar riwayat-riwayat hadits? Atau karena beliau tidak sholat dan tidak berjihad? Dan kalaupun beliau juga berkompromomi dengan orang-orang mushrik Quraisy dalam hal ibadah dan mu'amalah, bukankah hal itu diperbolehkan dalam kondisi umat Islam yang masih lemah? Bahkah bagi orang-orang muslim yang terancam, Allah mengijinkan mereka untuk mengikrarkan kekhafiran selama hati mereka tetap beriman sebagaimana dilakukan Ammar bin Yasir, budak keluarga Abu Sufyan.

Ammar bin Yasir, yang tidak tahan dengan siksaan keluarga Abu Sufyan, akhirnya "pura-pura" keluar dari Islam demi menyelamatkan nyawanya. Ketika ia mengadu kepada Rosulullah, beliau mendoakan Ammar dan kemudian turunlah ayat yang membolehkan orang bersiyasah dengan pura-pura murtad, dan hatinya tetap Islam. Namun tidak demikian nasib kedua orang tua dan saudara Ammar. Mereka meninggal secara mengenaskan karena siksaan keluarga Abu Sufyan.

Mengenai alasan terakhir saya jelaskan bahwa saat Abu Thalib meninggal, belum ada perintah untuk sholat apalagi berjihad. Perintah sholat diberikan setelah nabi menjalani Isra' Mi'raj yang terjadi setelah kematian Abu Thalib. Sedangkan perintah berjihad terjadi jauh setelah kematian Abu Thalib, yaitu setelah ummat Islam berhijrah ke Madinah. Pada saat itu bahkan Rosulullah hanya bisa membujuk pengikutnya yang mendapat siksaan hebat dari orang-orang musrik Quraisy untuk bersabar.

Adapun mengenai hadits perlu diketahui bahwa kumpulan hadits yang dibuat oleh para ulama ahli hadits terjadi tiga abad setelah kematian Rosulullah. Di antara selang waktu itu telah muncul puluhan ribu hadits palsu yang beredar luas di tengah-tengah umat Islam. Para ulama hadits memang telah bekerja keras untuk menyaring hadits-hadits itu, namun bias tetap saja terjadi. Apalagi karena adanya faktor politis dimana penguasa memaksakan hadits-hadits yang ditulis agar sesuai dengan keinginannya.

Dan hadits pengkhafiran Abu Thalib tentu sangat disukai penguasa yang memusuhi ahlul bait, karena dengan demikian mendelegitimasi klaim ahlul bait. Para ahlul bait adalah keturunan Ali bin Abu Thalib dan putri Rosulullah Fathimah az-Zahra. Dengan kafirnya Abu Thalib yang merupakan ayah Ali, maka kedudukan Ali menjadi agak lemah di mata ummat.


Catatan:
Berikut ini adalah contoh kesalahan yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari Muslim, kita yang oleh umat Islam Sunni legitimasinya dianggap hanya kalah oleh Al Qur'an.


Kitab-kitab Hadis Standar Sunni Dalam Bahaya!
Posted on Juni 20, 2009 blog inilah jalanku

by Ibnu Jakfari

Tidak syak lagi bahwa ajaran Islam dibangun di atas dua pilar utama; Al Qur’an dan Sunnah! Al Qur’an adalah qath’iul wurûd (sudah pasti dan terbukti datangnya dari sisi Allah SWT), kendati dalam dalâlah/petunjuknya bersifat dzanni (masih terbukanya beberapa penafsiran tentangnya). Sedangkan Sunnah Nabiwiyah kita terima dalam kualitas dzanniyah, yang rawan pemalsuan, kekeliruan dan penyelewengan. Sebagaimana dari sisi dalâlah-nya juga banyak yang bersifat dzanniyah.[1]

Berangkat dari kenyataan ini, adalah keharusan atas para ulama untuk menyeleksi dengan teliti semua riwayat yang memuat klaim Sunnah agar kita dapat menemukan Sunnah yang shahihah dari tumpukan riwayat-riwayat yang mengklaim memuat Sunnah!


Dan karena produk-produk palsu atas nama Sunnah Nabi saw. telah membanjiri ‘Pasar Hadis’ maka tidaklah heran jika banyak ‘Ahli Hadis’ yang tertipu dan kemudian menganggapnya sebagai Sunnah yang sedang mereka cari![2] Mereka mengoleksinya dalam kitab-kitab kebanggaan mereka dan generasi berikutnya menganggap produk palsu itu sebagai Sunnah Nabi Muhammad saw.; sumber kedua ajaran Islam yang murni! Kitab-kitab hadis yang diyakini penulisnya sebagai hanya memuat hadis-hadis shahih sekali pun ternyata tidak selamat dari rembesan hadis-hadis palsu atau hadis-hadis bermasalah!

Namun demikian sebagian pihak mengklaim dengan nada menantang bahwa apa yang dilakukan para Muhaddis Sunni telah mencapai puncak ketelitian dalam menyeleksi hadis-hadis, dan puncak dari usaha itu adalah dibukukannya enam kitab hadis Shahih, khususnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim!

Dalam kesempatan ini saya tidak sedang meragukan “kerja ngotot” mereka dalam menyaring hadis, akan tetapi sekedar mempertanyakan sejauh mana kesuksesan usaha tersebut! Sebab pada kenyataannya masih terlalu banyak hadis bermasalah yang lolos seleksi dan masuk dalam kategori hadis sehat, sementara ia mengandung penyakit!

Mungkin hal itu diakibatkan oleh dahsyatnya produk-produk palsu yang diikemas dengan kemasan menarik dan menipu sehingga bukan hal mudah membedakannya dari Sunnah yang Shahihah! Atau diakibatkan ketidak akuratan alat seleksi yang mereka pergunakan! Atau karena sebab lain! Wallahu A’lam.

Hadis-hadis bermasalah itu menyebar hamper dalam semua bab dan tema agama, dari tema akidah, syari’at (fikih), akhlak, sejarah para nabi as., sejarah Nabi Muhammad saw. dll.

Di bawah ini saya berharap ada jawaban memuaskan dari mereka yang membanggakan hasil usaha slektif para Ahli Hadis Sunni, yang dianggapnya telah mencapai puncaknya! Berbeda dengan dunia hadis Syi’ah yang masih amboradul, serba tidak matang, tak mengenal liku-liku sanad riwayat dan rentang kepalsuan! Saya berharap teman-teman tersebut mmeberikan jawaban ilmiah tentang hadis-hadis bermasalah riwayat Bukhari dean Muslim atau salah satu dari keduanya di bawah ini. Dan sengaja saya batasi telaah saya pada dua kitab tershahih setelah Al Qur’an itu mengingat:

A) Kedua kitab tersebut adalah telah mendapat kepercayaan luas di kalangan tokoh-tokoh Ahlusunnah sebagai Ashahhu kutubi ba’da itabillah/kitab tershahih setelah Kitabullah!

B) Dengan melibatkan kitab-kitab hadis level dua dikhawatirkan akan makin mempermarah keadaan. Sebab dalam kitab-kitab tersebut terdapat banyak hadis yang mengerikan untuk diungkap, walaupun dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga banyak hadis yang tidak kalah bermasalahnya!

Postur Nabi Adam as. Sama dengan Postur Allah SWT!
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda:

“Allah menciptakan Adam atas bentuk/shûrah-Nya, panjangnya enam puluh hasta. Dan ketika Dia menciptakannya, Dia berfiman, ‘Pergilah dan ucapkan salam kepada para malaikat yang sedang duduk itu dan dengarkan jawaban mereka, karena ia adalah ucapan salammu dan salam keturunmu. Maka Adam mengucapkan: “Salam atas kalian.” Lalu mereka menjwab: “Salam dan rahmat Allah atasmu.” Para malaikat itu menambah kata rahmat Allah. Maka setiap orang yang masuk surga akan berpostur seperti Adam. Dan setelahnya ciptaan berkurang (mengecil) ukurannya sehingga seperti sekarang ini.”

(HR. Shahih Bukhari, Kitab al Isti’dân, Bab Bad’u as Salâm dan Shahih Muslim, Kitab al Jannah wa Shifatu Na’îmiha, Bab Yadkhulul Jannah Aqwâmun…)

Hadis di atas dengan redaksi lain, dari Abu Hurairah dari Nabi saw. :

“Jika seorang dari kalian memukul saudaranya hendaknya ia menghindari memukul wajah, sebab sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas bentuk/shûrah-Nya.”

(HR Shahih Muslim, Bab an Nahyu ‘An Dharbil Wajhi/larangan memukul wajah)

Ibnu Jakfari Berkata:

Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya!

Ada kekhawatiran bahwa Abu Hurairah menimba ucapan itu dari Guru Besar yang bernama Ka’ab al Ahbâr; seorang pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan kemudian menyebarkan ajaran yahudiyah di tengah-tengah kaum Muslimin dan sempat memikat kekaguman sebagian sahabat, seperti Abu Hurairah yang kemudian menjadi murid setia yang rajin menjajahkan kepalsuan bualannya!

Sebab bulalan palsu seperti itu termuat dengan kentalnya dalam Al Kitab; Penjanjian Lama, Kitab Kejadian:1:27:

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarann-Nya, menurut gambaran Allah diciptakan-Nya dia.”[4]

Dan pada Kitab Kejadian 5:1:

“Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah.”

Para penafsir Al Kitab kebingungan dalam mengahadapi ayat-ayat di atas, dan akhirnya mereka terpaksa mempelesetkan maknanya agar tidak memberi makna materistis bagi Dzat Allah. Mereka mengartikan bahwa yang dimaksud dengannya adalah bahwa Allah menciptakan manusia menyerupai Allah dalam kesucian/kekudusannya.[5]

Sepereti Anda ketahui bahwa tasfir yang dipilih dalam kamus tersebut adalah demi menghindar dari tajsîs/meyakini Allah berpostur seperti makhluk-Nya. Tetapi anehnya mereka yang mengadopsi tekas Al Kitab dan kemudian menamakannya sebagai sabda Nabi sauci Muhammad saw. letah melangkah lebih jauh dengan menutup semua pintu usaha untuk menakwilkannya dengan selain makna posturisasi Allah. Maha suci Allah dari pensifatan mereka, seperti yang dapat Anda saksikan dalam riwayat kedua yang saya sebutkan dari riwayat Imam Muslim!


Jika Tinggi Ada 60 Hasta, Berapa Lebar Badannya?

Saranya sah-saha saja jika ada yang usil dan ingin tahu berapa sebenarnya lebar badan Nabi Adam as. sebab beliau addalah ayah kita semua. Di sini al ‘Aini –pensyarah Shahih Bukhari- memberikan jawaban pasti bahwa lebar badan Adam; ayah umat manusia adalah tujuh hasta! Hanya tujuh hasta! Tidak lebih dan tidak kurang![6]

Edialkah prawakan seperti itu? Panjang 60 hasta, lebar 7 hasta!

Jika panjang/tinggi Adam itun 60 hasta itu mkeniscayakan tulang tengkoraknya sepanjang 2 hasta. Tapi anehnya sepanjang penemuan vosil dan kerangka manusia pra sejarah sekalipunn tidak pernah ditemukan tengkorak manusia seperti itu! Apa yang ditemukan para iilmuan tidak jauh beda besarnya dengan tengkorak manusia sekarang/modern. Tidak pula ternah ditemukan ada kerangka manusia setinggi 60 hasta!

Selain itu, jika benar apa yang dikatakan Abu Hurairah bahwa tinggi Adam as. adalah 60 hasta maka sermestinya tebal badannya mencapai 17,7 hasta. Sebab manusia normal, lebar badan mestinya adalah 2/7 dari tinggi badannya!

Jika benar bahwa lebar badan Adam as. itu 7 hasta maka semestinya tingginya adalah 24,5 hasta bukan 69 hasta!

Jadi di hadapan ucapan Abu Hurairah itu hanya ada dua plihan;

A) Abu Hurairah salah dalam memberikan gambaran postur Nabi Adam as.!

B) Adam as. memang diciptakan tidak Fi Ahsani taqwîm/sebaik-baik bentuk penciptaan. Postus Adam as. terlalu ramping, tidak serasi antara tinggi dan lebar!


Allah SWT Memamerkan Betis Indah-Nya
Di antara hadis-hadis Shahih Bukhari dan Muslim terkait dengan masalah tauhid dan sifat Allah SWT yang perlu mendapat sorotan adalah hadis yang mengatakan bahwa: “Kelak di hari kiamat ketika para pengyembah selain Allah telah dipertemukan dengan sesembahan mereka…. Sehingga setelah selesai dan tidak tersisa melainkan mereka yang menyembah Allah; baik yang shaleh maupun yang durja. Datanglah Allah Rabbul ‘Alâmin daalam tampilan lain yang lebih rendah dari tampilan yang pernah mereka kenal di dunia dahulu, lalu Allah berfirman kepada mereka, “Apa yang kalian nanti? Semua telah mengikuti sesembahan yang dahulu mereka sembah.” Maka mereka menjawab, “Orang-orang telah meninggalkan kami di dunia di saat kami sangat membutuhkan mereka, kami tidak menemani mereka. Kami sedang menanti Tuhan yang dahulu kami sembah.” Lalu Allah berfirman, “Aku-lah Tuhan kalian.” Maka mereka berkata, ‘Kami tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Dua atau tiga kali mereka ucapkan.

Dalam riwayat lain: “Maka datanglah Dzat Yang Maha Perkasa dalam bentuk selain bentuk yang dahulu mereka saksikan pertama kali, lalu Dia berkata, “Aku-lah Tuhan kalian.” Maka mereka berkata, “Engkau Tuhan kami?”…

Dalam riwayat lain, mereka berkata menolak, “Kami berlindung darimu!.”

Maka Allah berfiman, “Adakah tanda antara kalian dan Dia dengannya kalian mengenal-Nya?” Mereka berkata, “Ya, ada. Betis.” Maka Allah menyingkap betis-Nya. Maka bersujudlah semua orang Mukmin, adapun orang yang dahulu menyembah-Nya karena riya’ dan mencari pamor tidak bias bersujud, setiap kali mereka hendak bersujud punggung mereka menajdi seperti papan dan mereka tertelungkup… “

(Shahih Bukhari, Kitab at Tauhid, Bab Qaulullah –Ta’ala- Wujûhun Yaumaidzin Nâdzirah, hadsi no.7439 dan beberapa tempat lainnya di antaranya: Kitab at Tafsîr, Bab Qaulihi Innallaha Lâ Yadzlimu Mitsqâla Dzarratin, hadis no.4581 dan baca juga Shahih Muslim Bab Ma’rifah Tharîq ar Ru’yah).

Dalam riwayat-riwayat tersebut dikatakan bahwa (1) Umat manusia kelak di hari kiamat akan melihat Allah dengan mata telanjang! Sebagiamana sebelumnya mereka juga pernah melihat-Nya hanya saja dalam tampilan dan bentuk lain yang berbeda dengan bentuk di hari kiamat. Dan hal itu tentunya meniscayakan adanya cahaya yang menyambung antara mata dan Dzat Allah! (2) Memandang Allah SWT drngan mata telanjang ternyata tidak terbatas hanya bagi kaum Mukminin saja, akan tetapi Allah juga akan dilihat oleh kaum munafikin! (3) Allah memiliki bentuk yang terdiri dari bagian-bagian dan berlaku padanya apa yang berlaku atas meteri seperti berpindah tempat, bergerak dan menempati ruang, serta akan tampil untuk di permukaan dan diliaht mata telanjang! (4) Allah tampil daalam rupa dan bentuk yang bermacam-macam. (5) Dan ketika Allah tampil di hari kiamat dalam bentuk dan rupa lain yang tidak mereka kelal sebelumnya, maka mereka meminta agar Allah menampakkan tanda pengenal yaitu betis! Akhirnya Allah menyingkap betis-Nya dan mereka pun mengenali-Nya lalu merreka bersujud!

Itu artinya, andai Allah tidak memperkenalkan jati diri-Nya dengan menyingkap betis-Nya pastilah kaum Mukminin di hari kiamat itu tidak akan mengenal-Nya. Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya!


Betis Allah!

Masalah penetapan adanya betis Allah SWT. yang Allah singkap itu terkait dengan ayat 42 surah Nûn, karena itu, Bukhari menyebutkan hadis ini pada tafsir surah Nûn Bab Yauma Yuksyafu ‘An Sâqin, sebagai tafsir dari ayat tersebut! Oleh sebab itu kami akan menelaah maksud ayat tersebut walau secara ringkas.

“Pada hari betis disngkapkan…. “

Ayat tersebut dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang kedahsyatan kejadian di hari kiamat. Kaum kafir diminta untuk mendatangkan sesembahan mereka untuk menolong dan menyelamatkan mereka! Kapan? “Pada hari betis disngkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa.” Yang dimaksud dengan betis disingkapkan adalah menggambarkan keadaan yang sedang ketakutan dan kedahsyatan yang sangat!

Tafsir ini telah dinukil dari para pembesa Salaf, seperti Ibnu Abbas, hasan al Basrhi, Mujahid, Qatadah dan Sa’id ibn Jubair. Baca ketarangan mereka dalam: Fathu al Bâri,18/307.

Akan tetapi, Bukhari memaknai kata sâqin dengan arti betis dan dikaitan dengan Dzat Allah SWT.; betis Allah!!

Dan akibat menerima tanpa seleksi hadis Bukhari di atas, sebagian orang berkeyakinan bahwa Allah SWT punya betis yang kelak pada hari kiamat akan disingkap sebagai tanda pengenal kepada kaum Mukminin!!

Mengepa terjadi penyelewengan dalam memahami makna ayat di atas? Jawabnya jelas! Karena Bukhari; Imam Ahli Hadis telah meriwayatkannya demikian!

Sementara salah satu pangkal kesalahan itu terletak pada adanya kesalahan pada penukilan teks sebenarnya! Imam Bukhari meriwayatkannya dengan redaksi demikian:

“Tuhan kami menyingkap betis-Nya, maka bersujudlah semua orang mukmin dan mukminah….” (HR. Bukari, Kitab at Tafsîr, Bab Yauma Yuksyafu ‘An Sâqin, hadis no.4919)

Sepertinya terjadi kesalahan dalam redaksi itu yang kemudian menyebabkan kekacauan akidah tentang sifat Allah SWT.

Coba Anda perhatikan redaksi dalam ayat Al Qur’an di atas! Ia hanya menyebutkan kata: ????dan dalam bentuk nakirah. Ia berkata, “Pada hari betis disngkapkan.” Tidak ada sebutan bahwa Allah menyingkap betis-Nya, sehingga ia sama sekali tidak terkait dengan sifat Allah! Akan tetapi, ketika kita memerhatikan riwayat Bukhari kita temukan bahwa Allah yang menyingkap betis-Nya! Betis Allah!!

Karenanya salah seorang tokoh agung Ahli Hadis Sunni bernama Isma’ili menegaskan bahwa pada redaksi riwayat Bukhari di atas terjadi kesalahan! Yang shahih adalah tanpa kata ganti orang ketiga: ?? pada kata: ??????, sebab redaksi terakhir ini sesuai dengan redaksi Al Qur’an. Dan tidak lah terbayangtkan bahwa Allah punya organ badan sebab yang demikian itu menyerupkan-Nya dengan makhluk-Nya, sementara Allah tidak menyerupai makhlu-Nya! Demikian ditegaskan al Isma’ili.[7]

Jadi dalam hemat al Isma’ili, Bukhari salah dalam menukil atau meriwayatkan redaksi hadis yang salah!

Akankah para ulama Sunni lainnya berbesar hati seperti al Isma’il?

Penutup:

Selain dua contoh kasus di atas, masih banyak lainnya! Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kapada saya untuk membeberkan kasud-kasus lainnya dalam kesempatan mendatang. Amîn.

Dan semoga kenyataan ini menjadi bahan renungan bagi para pecinta Sunnah Nabi saw. dan kami menanti sikap ilmiah (bukan ocehan kosong) dari para pemerhati!

Dan jika kitab tershahih Ahlusunnah sedemikian rentangnya dari kepalsuan, maka apa bayakan kita terhadap kitab-kitab hadis lainnya yang dari sisi kualitas jauh di bawah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim?!

----------------------------------------------------------------------------
[1] Tentunya tidak menutup kenyataan bahwa di antara ayat-ayat Al Qur’an ada yang qathi petunjuknya sebagaimana di antara Sunnah ada yang qathi juga wurûd-nya.
[2] Qadhi Abu Bakar ibn al Arabi meriwayatkan dalam syarahh at Turmudzi dari Ibnu Hubâb bahwa Malik telah meriwayatkan seratus ribu hadis. Ia menghimpunnya dalam Muwaththa’ sebanyaak sepuluh ribu, kemudian ia terus-menerus menyocokkannya dengan Al Qur’an dan Sunnah dan menguji kualitasnya dengan atsâr dan akhbâr, sehingga ia kembali (hanya menerima) lima ratus hadis saja.”


[3] http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&Rec=9299.

[4] Al Kitab,diterbitankan OLEH LEMBAGA AL KITAB INDONESIA – JAKARTA 1985.

[5] Baca Kamus al Kitab al Muqaddas, pada kata Adam.

[6] ‘Umdah al Qâri,22/229.

[7] Baca Fathu al Bâri,18/308.

2 comments:

masocad said...

membaca tulisan ini saya jadi takut , jangan-jangan selama ini saya hanya ngikut saja perkataan orang tanpa didasari pijakan yang benar, hanya saja selama belajar dengan para ustadz, kiyai dan ulama, mereka mengatakan bahwa yang namanya kitab shahih bukhari dan muslim itu sudah final tidak bisa diganggu gugat keshohihannya, dan kalau mau dibuktikan pun bisa (hanya saya karena bukan ahlinya jadi ga bisa membuktikan disini, afw)yang saya jadikan pedoman adalah saya percaya dulu dengan alquran dan hadits apapun yang ada dalam shahih bukhari muslim baru kemudian mengamalkannya, karena sudah sekian abad umat islam ini hidup dalam pemahaman yang berlandaskan paling tidak "sebagian besar" dari alquran dan kedua kitab hadits tersebut.
mengenai apakah Abu Thalib kafir atau tidak, yang pernah saya baca adalah beliau sampai akhir hayatnya tetap berpegang kepada dien nenek moyangnya, dibuktikan dalam tafsir (ali imran 128)jangankan Abu thalib yang begitu bnyak jasanya, bapak dan ibu Rasulullah yang telah mengandung beliau dan melahirkannya pun termasuk daripada ahli neraka (berdasarkan riwayat yang saya baca, wallahualam) maka coba nanti dicek kembali, dan mohon dibaca dan disimpulkan berdassarkan kesimpulan para ulama kita yang kompeten dibibdangnya.
nabi Adam diciptakan dalam bentuk Allah, wah kalau ini barangkali salah dalam memahami dhomir orang ketiga dari hadits tadi, setau saya yang benar adalah Allah menciptakan Adam dengan bentuknya, dhomir kembali kepada Adam bukan kepada Allah, karena sangat rancu sekali kalau dhomir dikembalikan kepada Allah, Allah Maha Suci dari disamakan dengan makhlukNya, nah silakan dicek lagi, wallahualam.
adapun Allah menampakkan betisNya dihari kiamat insyaallah itu benar adanya, hanya saja karena itu adalah perkara yang ghoib maka bagi saya ya beriman saja tanpa harus "ngowah-owah" ayat ataupun hadits shahih berkenaan dengan hal tersebut.
itu dulu deh komentarnya, semoga Allah menjadikan kita termasuk hambaNya yang selalu mendapatkan rahmatNya dan tidak dijadikan sebagai orang yang merugi didunia ini.maaf jika ada beberapa kata yang menyinggung.wassalaam

abu shobron said...

Sabda Rasul saw : "Janganlah kau caci orang yg telah mati, karena mereka telah berlalu kepada Allah". (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)