Saturday, 27 October 2012

KUDETA GAGAL OPOSISI LEBANON

Sulit untuk tidak mengatakan apa yang terjadi hari Minggu lalu (21/10) di Lebanon sebagai suatu upaya kudeta, meski media-media massa terafiliasi zionis berupaya menutup-nutupinya dengan menyebutnya sebagai kerusuhan-kerusuhan biasa, menyusul tewasnya kepala inteligen Lebanon (Internal Security Force Informatioan Branch) akibat serangan bom tgl 19 Oktober lalu.

Diawali dengan pidato berapi-api tokoh oposisi mengutuk regim Syria dan menuntut perdana menteri Lebanon Najib Miqati mengundurkan diri, termasuk pidato mantan perdana menteri Fuad Siniora, massa pendukung oposisi (blok politik pro-Amerika/Israel/Saudi) yang mengikuti pemakaman Wissam al-Hasan hari Minggu (21/10) yang sebagian di antaranya bersenjata api dan sebagian lainnya melambai-lambaikan bendera pemberontak Syria, menyerang kantor perdana menteri di Istana Grand Serail dan berusaha mendudukinya. Hanya karena kegigihan para pengawal istana serta bantuan militer yang kemudian datang, upaya pendudukan itu berhasil digagalkan.

Serentak dengan upaya merebut kantor perdana menteri, di berbagai tempat di ibukota Beirut, kota terbesar kedua Tripoli, dan berbagai kota lain, milisi bersenjata oposisi menutup jalan-jalan, mendirikan pos-pos pemeriksaan, menyerang penduduk sipil dan aparat keamanan hingga merebut fasilitas-fasilitas negara termasuk fasilitas militer. 

Namun petualangan berbahaya itu hanya berlangsung singkat. Sikap tegas militer, dukungan masyarakat internasional terhadap pemerintah, hingga kecaman keras Grand Mufti Lebanon (di luar kesiapan pendukung-pendukung pemerintah mempertahankan pemerintahan), dan terlebih lagi, kurangnya dukungan publik terhadap aksi kudeta tersebut, merontokkan plot jahat itu. Dan kini para pelaku kudeta itu hanya bisa berharap-harap cemas, aparat keamanan tidak akan mencokoknya dan menjebloskannya ke penjara.

Namun lebih dari itu, kudeta gagal itu telah menghancurkan kredibilitas organisasi dan kelompok-kelompok pendukung oposisi dan para pemimpinnya. Fuad Siniora dan Saad Hariri misalnya, telah membuktikan dirinya sebagai manusia-manusia munafik sejati. Ketika masih menjabat perdana menteri dan oposisi melakukan aksi duduk di depan istana (tidak melakukan serangan), Siniora berkata, "Jika ada perbedaan pendapat, mari kita berbicara di atas meja. Perubahan tidak bisa dilakukan melalui aksi jalanan." Namun kemudian ketika tidak lagi menjadi perdana menteri dan berubah menjadi oposisi, ia berkata

Bisa dikatakan kudeta tersebut sebagai upaya "bunuh diri" mengingat secara matematika pun kudeta itu sudah bisa diperkirakan gagal. Selain tentara yang masih setia kepada konstitusi, pemerintah juga memiliki pendukung yang lebih kuat dari oposisi, yaitu Hizbollah dan kelompok "Perlawanan" anti-Israel. Namun setidaknya dengan kudeta itu oposisi berharap bisa meneruskan momentum pemberontakan Syria yang tengah mandek untuk bergerak kembali. Apalagi kalau bisa menggantikan pemerintahan yang relatif anti-Amerika menjadi pemerintahan baru yang lebih mengakomodasi kepentingan Amerika.



ANTITESA KUDETA 2008

Bisa dikatakan kudeta hari Minggu lalu sebagai antitesanya kudeta tahun 2008 yang dilakukan blok "Perlawanan" anti-Israel yang dipimpin Hizbollah terhadap pemerintah yang kala itu dipegang oleh PM Fuad Siniora, baik dari pelaku kudeta dan yang dikudeta yang berkebalikan dengan kudeta hari Minggu lalu, juga hasil yang didapatkan dari kudeta itu.

Kudeta tahun 2008 dilatar belakangi oleh perseteruan politik antara kubu pemerintahan PM Fuad Siniora melawan oposisi yang dipimpin Hizbollah terkait beberapa isu sentitif, yang mengalami kebuntuan. Pada bulan Oktober 2006 PBB mengirim surat tentang pembentukan pengadilan internasional untuk kasus pembunuhan mantan perdana menteri Rafiq Hariri ke pemerintah Lebanon untuk disetujui.

Merasa pengadilan tersebut sebagai suatu plot zionisme internasional untuk menghancurkan blok "Perlawanan" anti-Israel, Hizbollah mengancam akan melakukan aksi-aksi demonstrasi besar-besaran jika pemerintah tidak mengakomodasi tuntutan oposisi bagi terbentuknya "pemerintahan kesatuan nasional" dimana oposisi mendapatkan 1/3 kursi kabinet yang secara efektif konstitusional menjadikan oposisi memiliki hak veto atas semua keputusan pemerintah. Dengan hak itu oposisi bisa memaksa pemerintah menolak pembentukan pengadilan internasional.

Karena tuntutan itu diabaikan pemerintah, maka pada bulan November 6 orang menteri yang berasal dari kelompok Shiah mengundurkan diri dari kabinet, menjadikan pemerintahan secara konstitusi menjadi ilegal karena tidak diwakili oleh salah satu sekte besar di Lebanon, yaitu Shiah. Namun Fuad Siniora dan kabinetnya yang tersisa tidak bergeming untuk menyetujui pembentukan pengadilan internasional, bahkan setelah Presiden Emile Lahoud (dari kelompok Kristen) dan parlemen yang diketuai Nabih Berry (dari kelompok Shiah) menolaknya.

Karena tuntutannya tidak dipenuhi, maka mulai tgl 1 Desember 2006
Hizbollah dan pendukung-pendukungnya (kelompok Amal-Shiah, Free Patriotic Movement-Kristen, Marada-Kristen, Syrian Socialist Party-sekuler, dan partai-partai kecil lain) menggelar aksi demonstrasi besar-besaran yang diikuti dengan aksi duduk di depan kantor perdana menteri. Aksi duduk ini berlangsung selama 17 bulan.

Menurut pengamat politik internasional Seymour Hersh semua ketegangan tersebut disebabkan oleh kebijakan Amerika yang ingin melemahkan Hizbollah dan blok "Perlawanan" dengan bantuan Saudi yang ingin memperkuat kelompok Sunni sebagai pengimbang kemajuan kelompok Shiah. Borzou Daragahi, kepala biro Los Angeles Times di Beirut, menulis bahwa pemerintah Saudi pernah mendesak kelompok Suni Lebanon membentuk milisi bersenjata dengan kedok "penjaga keamanan" yang diberi nama "Secure Plus". As'ad AbuKhalil, profesor politik di California State University at Stansilaus, menyatakan bahwa Amerika ingin mempersenjatai milisi Sunni untuk memicu pertikaian Syiah-Sunni. Adapun Pepe Escobar kontributor Asia Times menulis bahwa Amerika telah menggelontorkan dana senilai $60 juta kepada Internal Security Forces, semacam kepolisian federal yang menjadi alat kepentingan kelompok Sunni.

Namun meski pemerintahan menjadi tidak efektif karena baik perdana menteri maupun menteri-menterinya terkurung dalam Grand Serail, Siniora tidak bergeming. Ia bahkan melakukan serangan balik: menuduh Hizbollah hendak melakukan serangan teroris, memecat kepala keamanan bandara internasional Beirut yang dianggap pro-Hizbollah dan terakhir bermaksud mengambil alih jaringan telekomunikasi milik Hizbollah yang telah berjasa mengantar Hizbollah mengalahkan Israel.

Sehari setelah pemerintah berusaha mengambil alih jaringan telekomunikasi Hizbollah dan setelah Hizbollah menyatakan tindakan pemerintan sebagai aksi perang, pada tgl 7 Mei 2008 Hizbollah bertindak cepat: dibantu milisi-milisi sekutunya menyerang posisi strategis kubu pemerintah termasuk menduduki kantor-kantor media massa pendukung pemerintah, serta mengepung Grand Serail dan rumah pribadi dua tokoh pendukung pemerintah, Walid Jumblat (pimpinan kelompok Druze) dan Saad Hariri (pemimpin kelompok Sunni). Ribuan milisi pendukung pemerintah yang telah dipersiapkan untuk perang ternyata tidak berdaya menghadapi Hizbollah. Dalam hitungan jam, posisi-posisi strategis kubu pendukung pemerintah jatuh dan ratusan milisi pro pemerintah ditawan.

Yang menarik adalah sikap militer (secara tradisi memiliki kedekatan dengan Syria dan dipimpin oleh panglima dari kelompok Kristen) yang mengambil posisi netral meski Siniora telah memerintahkan militer untuk mengeksekusi keputusan-keputusan pemerintah dan melucuti senjata Hizbollah.

Akhirnya setelah menyadari telah kalah, Siniora pun membatalkan keputusan-keputusannya. Tidak hanya itu, melalui Perjanjian Doha yang difasilitasi Liga Arab, Siniora setuju membentuk kabinet persatuan Lebanon dengan memberikan 1/3 kursinya kepada Hizbollah dan sekutu-sekutunya. Aksi demonstrasi dan duduk di depan Grand Serail pun dihentikan. Kudeta 2008 berakhir dengan kemenangan gemilang Hizbollah dan sekali lagi memberi pukulan telak bagi proyek zionisme di Timur Tengah.



Sumber: wikipedia dan almanar.com.lb

No comments: