Selama ini saya lebih suka menulis hal-hal yang terjadi di luar negeri daripada di dalam negeri. Bukan karena saya tidak peduli dengan bangsa ini. Selain menganggap dinamika sosial politik ekonomi yang terjadi di Indonesia hanya resultan dari dinamika internasional, saya merasa semakin mencurahkan perhatian pada perkembangan tanah air, semakin membuat dada saya sesak.
Dengan menulis tulisan fiksi berseri "Sang Terpilih" saya sebenarnya berharap beban pikiran yang menyesakkan dada saya akan berkurang. Namun saya keliru karena kondisi sosial politik dan terutama ekonomi tanah air, tidak semakin membaik.
Seperti berita baru-baru ini tentang kasus pemborosan PLN di bawah kepemimpinan Dahlan Iskan hingga mencapai angka yang fantastis, Rp 37 triliun. Yang membuat saya sesak dada adalah yang bersangkutan tidak pernah merasa menyesal telah membangkrutkan negeri ini, bahkan dengan santai mengatakan, "Mestinya pemborosannya Rp 100 triliun, bukan Rp 37 triliun," ketika dimintai komentarnya oleh wartawan tentang masalah itu.
Ia berbicara seolah uang sebesar itu hanya angka-angka tak bernilai. Padahal dengan dana sebesar itu banyak hal berguna bisa dilakukan, terutama untuk meningkatkan harkat martabat manusia-manusia Indonesia yang selama ini terpinggirkan. Mungkin karena yang bersangkutan merasa, toh dengan semua yang dilakukannya (memboroskan uang negara besar-besaran) ia masih bisa melenggang ke kursi menteri dan orang-orang masih mengelu-elukannya bak pahlawan. Bila tidak ada aral melintang ia bahkan mungkin bakal melenggang ke kursi presiden dua tahun lagi.
Saya pernah menulis di blog ini bahwa untuk memperbaiki kinerja PLN yang pertama kali harus dilakukan adalah melakukan audit keuangan dan manajemen. Dengan audit itu bisa diketahui kebocoran-kebocoran sistematis yang membuat kinerja PLN tidak sesuai dengan yang semestinya. Namun alih-alih Dahlan Iskan hanya menebar wacana "listrik gratis" dan membuat program-program heboh namun "hangat-hangat tahi ayam" seperti program "sejuta sambungan listrik".
Saya pernah beberapa kali terlibat urusan bisnis dengan PLN, tahu persis bagaimana praktik-praktik korup terjadi di PLN yang membuat terjadinya inefisiensi.
Padahal PLN masih menanggung kewajiban yang masih jauh dari harapan untuk diselesaikan: hampir 30% rakyat Indonesia belum bisa menikmati listrik. Sampai kapan masalah ini terselesaikan jika inefisiensi masih terus terjadi?
Bertepatan dengan Hari Listrik Nasional baru-baru ini saya melihat hal-hal yang tidak mengenakkan tentang PLN. Pertama adalah berita tentang rencana kenaikan TDL. Yang kedua, akhir-akhir ini kembali terjadi pemadaman-pemadaman listrik di daerah tempat tinggal saya meski pejabat PLN setempat telah berulangkali bersumpah bahwa tidak akan terjadi lagi pemadaman. Dan yang ketiga adalah munculnya preman-preman penagih tagihan listrik yang dahulu tidak pernah terjadi. Mereka membawa surat pemberitahuan pemadaman listrik yang dikeluarkan kantor PLN setempat kepada para pelanggan yang menunggak tagihan listrik. Layaknya "debt collector" mereka yang tidak memiliki identitas jelas sebagai pegawai PLN itu mengancam para pelanggan yang menunggak untuk memutuskan alisran listrik. Para pelanggan yang umumnya kurang sadar hukum lebih suka melunasi tagihan, atau dengan memberi uang rokok kepada mereka agar sambungan listriknya tidak diputuskan.
Namun masalah PLN itu hanya beberapa hal terbaru yang membuat dada saya sesak. Ada menteri keuangan yang bangga bahwa defisit APBN hanya sebesar 1,9% dari total anggaran. Bagi saya itu seperti seorang pejabat korup yang berkata: "Lihat saya hanya korupsi puluhan juta, meski sebagai pejabat tinggi mestinya saya bisa korupsi puluhan miliar." Dalam konsep pengelolaan keuangan negara, bagi saya defisit anggaran merupakan kejahatan, karena melanggar prinsip efisiensi dan efektivitas. Jika dilakukan secara sistematis, defisit anggaran bahkan akan membuat negara terjerat dalam timbunan hutang yang membangkrutkan.
Kemudian ada kasus Bank Century dan Hambalang yang tidak jelas penyelesaiannya meski Indonesia sudah membentuk lembaga "superbody" yang menguras keuangan negara bernama KPK.
Lalu ada menteri-menteri dan pejabat-pejabat publik yang lebih suka menggunakan barang luar negeri daripada menggunakan produk-produk dalam negeri. Padahal impor adalah pemborosan dan pembocoran keuangan negara, menghambat penyerapan tenaga kerja dan menggembosi pertumbuhan ekonomi. Puncaknya tentu saja presiden kita yang memilih membeli pesawat kepresidenan buatan luar negeri mencapai Rp 1 triliun, padahal presiden Korea pun memilih pesawat buatan putra-putri Indonesia sebagai pesawat kepresidenan.
Namun yang paling menyesakkan dada adalah adanya upaya-upaya sistematis yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat publik dan tokoh masyarakat untuk menjalinkan hubungan formal Indonesia dengan Israel. Upaya-upaya itu di antaranya misi pengiriman tokoh-tokoh masyarakat dan politisi-politisi Indonesia ke Israel serta upaya pembelian perlengkapan-perlengkapan militer (oleh Menhan Purnomo Yusgiantoro, menteri yang tidak pernah membuat prestasi monumental namun secara ajaib selalu duduk dalam kabinet beberapa presiden terakhir) dan teknologi komunikasi buatan Israel.
Bagi saya hal terakhir ini seperti para pejabat Israel sendiri yang menindas rakyat Palestina, atau seperti penguasa wahabi Saudi yang memerintahkan penghancuran tempat-tempat suci dan bersejarah Islam.
Secara pribadi saya tidak membenci Dahlan Iskan, sebagaimana juga Sri Mulyani dan Boediono. Pak Boediono adalah dosen saya dan putri beliau teman kuliah satu angkatan saya (meski sebentar sebelum yang bersangkutan pindah kuliah ke Australia). Adapun Sri Mulyani adalah kakak ipar seorang sahabat saya di Medan yang saya hormati. Adapun Pak Dahlan adalah "guru" jurnalisme saya dan bekas bos saya di media massa. Selain karya-karya jurnalismenya serta kemampuan manajemennya, saya sangat mengagumi etos kerjanya.
Beberapa tahun lalu, karena suatu urusan saya pernah bertemu dengannya di Graha Pena Surabaya jam 02.00 dinihari untuk berjanji bertemu kembali jam 07.30 paginya. Saya datang beberapa menit sebelum waktu perjanjian dan yakin bahwa Pak Dahlan belum sampai kantor. Namun saya sungguh terkejut karena ternyata beliau sudah berada di meja kerjanya tengah menyelesaikan tugas.
Namun secara politik Pak Dahlan, sebagaimana juga Sri Mulyani, Boediono, Menkeu Agus Marto dan Menhan Purnomo, adalah "musuh-musuh" saya. Di mata saya mereka adalah para fundamentalis neoliberalisme yang telah menyengsarakan rakyat dan membuat bangsa ini terus terpuruk akibat kebijakan-kebijakan mereka.
1 comment:
Wah! Btw, Apakah yang dimaksud teman kuliah seangkatan itu Mbak Ratri - Fakultas Ekonomi UGM angk. 1989. Mungkin kita pernah bertemu di kampus semasa kuliah. http://yusufzulkarnain.blogspot.com/2011/02/kota-yogyakarta-tahun-1970-dalam-memory.html
Post a Comment