Saturday, 6 October 2012

KONFLIK TURKI-SYRIA, SEBUAH SKENARIO

"Kami dikelilingi oleh para pembunuh," kata seorang penduduk provinsi Latay, provinsi perbatasan Syria, kepada wartawan yang mewawancarainya. Ia merujuk pada keberadaan tentara-tentara bayaran dan teroris asing yang menyusup ke Syria melalui Turki.

Itulah perasaan sebagian rakyat Turki atas fenomena yang terjadi di Turki seiring terjadinya krisis di Syria. Mereka kecewa atas keterlibatan negerinya dengan krisis yang terjadi di Syria. Perasaan itu pula yang dialami oleh ribuan demonstran anti-perang yang memprotes keputusan parlemen Turki memberikan mandat kepada pemerintah dan tentara Turki untuk melakukan aksi militer di Syria.

Namun tidak bagi awak TVOne dan narasumber-narasumbernya yang setiap tengah malam dinihari menyiarkan berita-berita dan analisis tentang krisis Syria. Demikan halnya dengan siaran TVOne Jum'at dinihari (5/10) dengan topik utama ketegangan Syria-Turki paska insiden penembakan mortir Syria atas kota perbatasan Turki yang menewaskan 5 orang warga sipil Turki.

Dengan penuh semangat para narasumber dan host acara tersebut menyalahkan kesalahan pada Syria yang dianggap melakukan aksi provokasi, lengkap dengan analisis dangkal tentang kekejaman pemerintahan Syria terhadap rakyatnya. Bahkan ketika semua komentator yang "online" dengan bijaksana menyebutkan faktor Amerika dan zionisme internasional sebagai dalang semua keributan di Syria, TVOne tetap kukuh dalam jalurnya, sebagai propagandis zionisme.

Tidak sedikit pun para narasumber acara tersebut menyebut peran kontroversial Turki yang telah membantu para pemberontak bersenjata. Tindakan tersebut sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai sebuah tindakan perang terhadap Syria dan Syria memiliki legitimasi penuh untuk melakukan aksi pembalasan dengan menyerang Turki. Yang lebih mengherankan lagi adalah pembelaan mereka terhadap aksi penembakan sniper pemberontak terhadap wartawan Iran, meski jelas bahwa tindakan itu adalah ilegal dan bertentangan dengan konvensi dunia tentang jurnalisme dan hukum internasional.

Namun setidaknya saya cukup senang bahwa sebagian besar rakyat Indonesia, sebagaimana tercermin dari pandangan para komentator, masih lebih cerdas dibandingkan host TVOne dan para narasumbernya. Dalam hal ini saya lebih menghargai Metro TV yang kini mulai lebih bijak memberitakan tentang krisis Syria dengan tidak menelan mentah-mentah apa yang disiarkan oleh "Al Jazeera", "Al Arabiya" ataupun media-media barat.
Selama 3 hari berturut-turut, Kamis (4/10) hingga Sabtu (6/10), Turki melakukan aksi penyerangan terhadap posisi-posisi militer Syria di perbatasan. Beberapa personil militer Syria tewas akibat aksi tersebut dan beberapa warga sipil mengalami luka-luka. Turki menyatakan aksi tersebut sebagai aksi balasan atas insiden penembakan mortir Syria hari Rabu (3/10).

Media-media massa barat berbeda sudut pandang dalam melaporkan insiden hari Rabu. Media Jerman "Deutsche Welle" menyebut tembakan "berasal dari Syria". "BBC" menyebut bahwa tembakan mortir "tampaknya dilakukan oleh militer pemerintah Syria". "Reuters" menyebut pelaku penembakan tersebut masih "kurang jelas".

Pemerintah Syria segera mengumumkan akan melakukan penyidikan atas insiden tersebut. Pemerintah Syria juga menyatakan penyesalan dan dukacita kepada keluarga korban penembakan dan kepada seluruh rakyat Turki. Namun reaksi keras dan cepat dari Turki, termasuk persetujuan parlemen Turki terhadap operasi militer terhadap Syria, mengindikasikan bahwa ada hal-hal yang lebih besar daripada yang tampak di media massa.

PM Turki Recep Tayyip Erdogan (kini saya selalu tertawa setiap melihat wajahnya mengingat bahwa semua aksi-aksi "hebat"nya selama ini seperti bertengkar dengan presiden Israel dalam acara pertemuan ekonomi di Davos tahun 2009, atau sumpahnya akan menyerang Israel karena insiden kapal Mavi Marmara, adalah sandiwara belaka) mengutuk "serangan brutal yang dilakukan regim Syria atas keamanan nasional Turki".

Serangan artileri Turki merupakan aksi militer langsung Turki terhadap Syria sejak terjadinya krisis di Syria 18 bulan lalu. Sebelumnya Turki telah memobilisasi militernya di sepanjang perbatasan kedua negara sejak insiden penembakan pesawat tempur Turki oleh Syria bulan Juni lalu yang oleh Syria disebut sebagai aksi provokasi Turki.

Pemerintah Syria menuduh Turki terlibat dalam operasi gelap memicu kerusuhan di Syria dengan mengirimkan senjata dan personil militer kepada para pemberontak. Minggu ini menlu Syria Walid Muallem bahkan baru saja menyatakan protesnya di hadapan Sidang Umum PBB di New York atas keterlibatan Turki bersama negara-negara Barat, Saudi dan Qatar, dalam mempersenjatai para pemberontak untuk menghancurkan Syria. Pada hari Rabu (4/10) sebuah serangan bom teroris pemberontak di Aleppo menewaskan 40 rakyat sipil dan militer dan melukai 100 lebih orang lainnya. Ribuan orang telah tewas karena aksi-aksi teroris seperti ini.

Dalam konteks ini kecaman Erdogan dan Hillary Clinton atas insiden mortir Syria tidak sebanding dengan kejahatan Turki dan Amerika. Namun demikian serangan Turki atas Syria menandakan babak baru yang lebih serius atas krisis Syria

Menyusul insiden hari Rabu, Turki mengundang dilakukannya pertemuan darurat NATO pada hari Rabu malam. Pertemuan menghasilkan deklarasi "dukungan terhadap Turki atas pelanggaran yang dilakukan Syria". Menlu Amerika Hillary Clinton mengecam keras aksi Syria. Suara keras terhadap Syria juga diutarakan sekjen PBB Ban Ki Moon, meski masih belum jelas siapa yang bertanggugjawab atas insiden tersebut.

Jika dianalis insiden perbatasan yang terjadi, kecaman-kecaman dan respons keras Turki telah bisa diprediksi, terutama terkait dengan perkembangan krisis Syria.

Selama berbulan-bulan dunia dikejutkan dengan aksi teror dan pembantaian di Syria yang oleh pemerintah barat dan media massanya dituduhkan pada pemerintah Syria. Namun dunia akhirnya mengetahui bahwa sebagian besar aksi-aksi teror dan pembantaian itu ternyata dilakukan oleh para pemberontak yang didukung oleh Turki, negara-negara barat, Saudi dan Qatar.

Dengan aksi-aksi teror tersebut bukanlah hal yang aneh jika aksi pemboman mortir Syria hari Rabu (3/10) sebenarnya dilakukan oleh para pemberontak. Dan sejarah telah banyak memberikan contoh. Tahun 1938, untuk memancing Jerman agar menyerang Polandia demi memberi alasan zionis internasional menghancurkan regim NAZI, teroris zionis Polandia melakukan aksi-aksi provokasi di perbatasan Jerman. Demikian juga pembunuhan seorang pangeran Austria yang memicu terjadinya Perang Dunia I, dilakukan oleh seorang anarkis zionis.

Laporan-laporan menunjukkan bahwa selama berminggu-minggu para pemberontak telah aktif di area yang diduga menjadi sumber konflik. Baberapa laporan juga menyebut para ekstremis dan teroris melakukan tindakan-tindakan kriminal terhadap rakyat Turki dan Syria di sekitar perbatasan, terutama tindakan perampokan dan pemerasan.

Baru-baru ini wakil menlu Rusia Gennady Gatilov bahkan telah memperingatkan bahwa para teroris itu akan mencari dalih bagi dilakukannya aksi militer asing atas Syria dengan berkedok "koridor kemanusiaan" atau "zona penyangga".

Di sisi lain perkembangan militer di lapangan juga tidak menguntungkan para pemberontak dengan ratusan personil mereka tewas atau tertawan dalam minggu-minggu terakhir. Skenario destabilitasi Syria dengan menggunakan aksi perang gerilya tampak tidak membuahkan hasil setelah 18 bulan upaya itu dilakukan dengan menghabiskan sumber daya yang sangat besar. Maka skenario intervensi langsung menjadi pilihan terakhir.

Terpisah dari skenario itu, pemerintahan Erdogan di Turki mempunyai alasan lain untuk melibatkan diri dalam perang di Syria, yaitu mengalihkan perhatian rakyat Turki pada kejahatan pemerintah atas krisis yang terjadi di Syria. Dengan adanya perang, setidaknya tekanan publik kepada Erdogan akan berkurang.

Dalam beberapa waktu terakhir muncul aspirasi publik yang semakin menguat yang menentang kebijakan pemerintah Turki melibatkan diri dalam krisis di Syria. Suara-suara penentangan terhadap pemerintah terutama terjadi di wilayah yang berdekatan dengan perbatasan Syria. Para pemuka masyarakat dan pebisnis di kawasan Turki selatan telah berulangkali menyatakan kejengkelannya terhadap keberadaan para militan dan teroris di perbatasan yang sering melakukan tindakan kriminal terhadap rakyat Turki.

"Kami dikelilingi oleh para pembunuh," kata seorang warga Turki kepada wartawan.

Menyusul insiden berdarah yang terjadi hari Rabu (3/10), masyarakat lokal di kota Akcakale tempat terjadinya insiden curiga dengan lemahnya keamanan di daerahnya. Ini mungkin cara pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis dan menggantinya dengan semangat perang melawan Syria. Namun saat rakyat Turki mulai sadar, akan muncul tekanan publik yang tidak bisa dilawan untuk mengutuk kejahatan pemerintahan Erdogan.



KONFLIK SYRIA-TURKI DAN SKENARIO AMERIKA

Sebuah buku yang dirilis bulan Maret lalu membuka tabir skenario menumbangkan pemerintahan Bashar Al Assad dengan menggunakan Turki sebagai alatnya. Dan ternyata tidak hanya Turki, Israel juga dilibatkan dalam skenario itu sekaligus membuktikan bahwa krisis yang terjadi adalah sebuah skenario zionis internasional.

Sebagaimana kita ketahui, hampir bersamaan dengan aksi serangan Turki terhadap Syria, Israel juga melakukan pergerakan pasukan di dataran Golan. Kedua aksi tersebut merupakan aksi simultan yang telah diskenariokan untuk menumbangkan regim Bashar al Assad.

Adalah paper berjudul "Saving Syria: Assessing Options For Regime Change" yang dirilis bulan Maret 2012 oleh Brookings Institution yang menyebutkan dengan tepat skenario tersebut. Brookings Institution adalah lembaga kajian politik yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan politik pemerintah Amerika.

"Israel dapat menempatkan pasukannya dekat di Dataran Golan agar perhatian pasukan Syria terpecah dari tujuannya menghancurkan kekuatan oposisi. Aksi ini dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat pemerintah Syria akan terjadinya perang multi-front, terlebih jika Turki juga melakukan hal yang sama di perbatasannya. Aksi-aksi itu mungkin akan mendorong militer Syria menumbangkan pemerintahan Bashar al Assad demi menjaga kepentingan diri sendiri. Tekanan-tekanan tambahan seperti ini akan menjungkirbalikkan kekuatan Assad di dalam Syria," tulis paper tersebut.

Tony Cartalucci, seorang analis politik dan jurnalis independen juga memiliki analisis yang sama atas aksi Turki terakhir terhadap Syria.

“Reaksi militer Turki yang demikian cepat dan tanpa diduga, bersama-sama dengan kecaman-kecaman Amerika terhadap Syria (tidak ada kecaman terhadap aksi penyerangan Turki terhadap Syria), semuanya adalah serangkaian peristiwa yang sudah diatur demi kepentingan agenda global barat," tulis Tony Cartalucci.

Syria tentu saja tidak mempunyai agenda menyerang Turki karena hanya akan memberikan alasan serbuan NATO terhadap mereka. Dari alasan itu saja kita bisa memastikan bahwa insiden serangan Syria atas Turki adalah sebuah operasi "false flag" zionis internasional.






Keterangan gambar: upacara pemakaman prajurit Syria yang tewas akibat serangan militer Turki. Tidak ada kecaman atas aksi serangan berlebihan yang dilancarkan Turki atas Syria. Sebaliknya Syria-lah yang selalu disalahkan dalam insiden Syria-Turki.



Ref:
"Turkey and act of war against Syria"; Finian Cunningham; Press TV; 5 Oktober 2012

"Assault On Syria Matches Brookings Institution Regime Change Strategy"; Paul Joseph Watson; Propaganda Matrix; 4 Oktober 2012

No comments: