Thursday 20 July 2017

Alhamdulillah, Saya Tidak Bersama Mereka Lagi

Indonesian Free Press -- Beberapa waktu yang lalu saya menerima e-mail dari seorang pemimpin media online yang juga seorang jokower. Begini sebagian bunyinya:

"Tapi, memang benar bahwa kondisi ekonomi saya bisa disebut lebih baik dari yang lain. Bagaimanapun juga, saya adalah dosen tetap kopertais penerima sertifikasi. Lalu, saya juga punya proyek penerjemahan film dan penulisan buku2. Selain itu, saya juga menjadi narsum dalam acara2 kajian Islam di Hadi TV. Inilah (dan beberapa pekerjaan saya/istri saya yang lain seperti menjadi narsum seminar/worshop/pengajian/FGD, dll) yang menopang kehidupan ekonomi kami. Artinya juga, keliru kalau ada yang menduga bahwa saya menjadikan LI sebagai penopang ekonomi keluarga."

E-mail itu adalah responsnya kepada saya setelah berbulan-bulan menelantarkan tanggungjawabnya sebagai pemimpin sebuah media online dimana saya saat itu bekerja. Sudah lebih dari 10 bulan tanpa gaji dan hanya mendapatkan janji-janji yang semuanya palsu, tentu saja wajar kalau saya menanyakan kelanjutan media tersebut. Namun, bukannya memberikan penjelasan yang sopan dan permintaan ma'af, ia justru menyombongkan diri dengan proyek-proyek dan pekerjaannya.

Pamungkasnya adalah ketika ia mengatakan tidak akan pernah lagi berkomunikasi dengan saya, meski dalam tiap komunikasi saya selalu menjaga etika dan berpesan untuk tidak memutuskan silaturrahim.

Salah satu janjinya yang palsu itu adalah pernyataannya bahwa dana pengembangan dari Iran sudah cair dan hanya menunggu pengiriman. Tapi setelah batas waktu yang dijanjikan tiba-tiba dinyatakan batal karena pejabat yang bertanggungjawab atas proyek meninggal dalam Tragedi Mina 2016. Proposal harus diulang lagi. Proposal pun diajukan lagi dan dinyatakan lolos, dan dananya akan diturunkan setelah tahun anggaran baru. Namun, sampai waktu yang dijanjikan pun ternyata tetap tidak ada kejelasan.

Mungkinkah, sebuah proyek yang telah melalui kajian mendalam dan telah dicairkan dananya dan tinggal menunggu petugas pengirim uang, tiba-tiba dibatalkan karena ada seorang pejabat yang meninggal? Kecuali Iran adalah negara yang sangat terbelakang, saya sangat tidak percaya dengan pernyataan itu.

Begitulah kharakter para jokower pada umumnya: selain pembohong, bila tidak bodoh, ya munafik dan sombong. Saya bisa menganalisa kelompok-kelompok jokower berdasarkan status sosial dan pendidikannya. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok pendidikan, mayoritas berpendidikan rendah (SMA ke bawah) dan sebagian kecil berpendidikan tinggi (sarjana hingga doktor). Sebagian besar dari kelompok jokower yang berpendidikan tinggi itu umumnya bodoh, terbukti begitu mudahnya mereka terpedaya oleh tipuan pencitraan media massa. Sisanya, sebagian kecil dari mereka yang berpendidikan tinggi itu adalah orang-orang munafik. Mereka mengetahui kebohongan Jokowi, namun karena ketergantungan ekonomi, mereka pun menjadi jokower 'die harder'.

Saya masih belum tahu pasti, apakah jokower pengirim e-mail itu, sebut saja namanya Eman, bodoh atau munafik. Namun, untuk sementara saya menilainya sebagai bodoh. Alasan saya, ya karena isi e-mail itu.

Para jokower dari kelompok berpendidikan-bodoh ini umumnya secara ekonomi mapan. Seperti sebagian teman SMA saya yang jokower, mereka umumnya pegawai sektor formal, pegawai negeri, pegawai BUMN, dosen, wartawan, penulis, budayawan. Pada saat yang sama, mereka juga tengah mengalami 'power syndrome', karena latar belakang mereka yang marjinal dan kemudian memiliki kedudukan mapan. Sama seperti sindrom 'orang kaya baru', mereka berkharakter sombong. Sosok seperti itulah si Denny Siregar, Abu Janda dan Eman.

Karena pemahaman saya itu, saya enggan untuk menanggapi sikap-sikap sombong para jokower, termasuk mereka yang menjadi pengunjung blog ini dan sering mem-bully blogger karena artikel-artikel yang dianggap mendiskreditkan pujaan mereka, jokowi. Saya keluar dari beberapa group WA yang dihuni para jokower dan memblokir banyak teman Facebook yang jokower 'die harder', karena saya tidak ingin jadi ikut-ikutan bodoh seperti mereka.

Namun kesabaran manusia ada batasnya. Lagipula, membiarkan kesombongan dan kebodohan merajalela, sama juga dengan membiarkan kedzaliman merajalela. Dan itu berarti dosa. Untuk menghentikan kepongahan orang-orang musrik Quraisy dalam Perang Uhud, Sahabat Abu Dujannah mengolok-olok orang-orang Quraisy itu, sedemikian rupa sehingga mereka 'mati kutu'. Dan meski tindakan Abu Dujannah dianggap tidak layak dalam situasi normal, dalam medan peperangan hal itu justru diridhoi Rosulullah.

Okey, jokower, mari bermain-main.

Para jokower, karena merasa sebagai orang-orang 'hebat', sering kali membully lawan-lawan diskusinya: "Memangnya apa yang sudah kamu perbuat untuk negara ini?"

Blogger bertanya balik, "Memangnya apa yang sudah kamu lakukan?"

Maka, biasanya seorang jokower akan membangga-banggakan pekerjaannya sebagaimana ia bangga-banggakan di media-media sosial maupun di group-group chatting. Ia seolah lupa bahwa manusia yang paling baik adalah mereka yang banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia. Sahabat karib SMA saya yang menjadi pengusaha sukses dan mampu menghidupi ribuan pegawai dan keluarganya dan dalam Aksi 212 lalu menjadi salah satu donatur utama aksi termasuk penyumbang konsumsi bagi ribuan santri Ciamis dan Tasikmalaya yang melakukan longmarch ke Jakarta, tentu lebih mulia dibandingkan para jokower yang umumnya hanya pegawai biasa. Bahkan dengan kriteria ini, saya (blogger) yang memiliki usaha sendiri dengan beberapa tukang, yang tidak membebani APBN dan bahkan menjadi pembayar pajak, masih lebih baik ketimbang sebagian besar jokower.

Kemudian, silakan bermain di wilayah yang berbau agak idealis. Saya (blogger) adalah alumni sekolah paling elit di negeri ini, sudah menulis opini di media besar Kompas saat masih mahasiswa, dan memiliki blog pribadi yang dikunjungi ribuan kali setiap harinya. Saya pernah menjadi redaktur eksekutif di salah satu group media terbesar di Indonesia.

Saya pernah mendirikan dua LSM, yang salah satunya beranggotakan empat orang doktor. LSM ini telah mendapat pengakuan dari pemerintah hingga 'nyaris' berhasil mendorong pendirian pusat kajian kelautan satu-satunya di Sumatera, jika saja Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin tidak meninggal kecelakaan tahun 2005 dan penggantinya tidak 'menjegal' rencana itu. Saya pernah menginisiasi dan mengorganisir sejumlah even bergengsi: pertemuan bisnis antara kepala-kepala daerah se-Riau dengan para pengusaha Singapura dan Johor Malaysia, Batam International Jazz Festival (tahun 2001), Syariah Fair (di Medan tahun 2007, yang dibuka oleh Wapres Jusuf Kalla dan dihadiri empat menteri dan pejabat setingkat menteri), jambore lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah se-Sumut, Tiblantas Motor Award, Festival Muharram, Anugerah Pengusaha Muslim Medan, Pameran Ketahanan Pangan Sumut, dan lain-lain.

Mungkin si Eman menyangka lebih hebat secara finansial setelah berinteraksi dengan saya, saat saya dalam situasi kesulitan finansial setelah sejumlah usaha saya mengalami kegagalan. Namun sayangnya, kesombonganlah yang membuatnya tidak berfikir lebih cerdas. Bahwa ada orang-orang tertentu yang berada dalam kondisi fakir, meski secara finansial sebenarnya ia sangat kaya. Seorang pengusaha kaya yang ketiban sial kecopetan di negeri asing, adalah seorang fakir pada saat itu.

Jika ditanyakan seperti apa kekayaan mereka? Bisa diukur, orang-orang seperti Eman, Denny Siregar, Abu Janda, Guntur Romli, Ahmad Sahal, atau bahkan Buayo Sapi Marif hanya berkendaraan mobil standar seperti Avanza, atau maksimal Totota Kijang Innova. Jauh dibanding kendaraan para donatur Aksi Bela Islam. Kawanku yang juga Presiden IIBF itu memiliki sejumlah Alphard dan Mercedez berbagai tipe. Kawanku yang lain, seorang pengusaha tambang dan properti yang berkantor di kawasan Sudirman Jakarta dan memiliki kantor cabang di Singapura, yang pada bulan Oktober tahun lalu bertemu denganku di Bogor, menggunakan Mercedez seri E terbaru. Sejumlah pendukung Aksi Bela Islam lainnya menawarkan kendaraan-kendaraan mewah seperti Alphard, Pajero dan Fortuner untuk hadiah bagi para jokower-ahoker yang bisa membuktikan memiliki bukti chat porno Habib Rizieq.

Bagi saya sendiri, berkendaraan dengan mobil mewah bukanlah suatu kebanggaan yang berlebihan. Saya pernah mengendarai Nissan President, Mercedez seri E, Mitsubishi Evolution IV (yang tengah naik daun setelah digunakan Jacky Chan dalam filmnya yang Box Office), Toyota Celica dan Mazda RX-7. Suatu hari saya menemani ilusianis terkenal Deddy Corbuzier jalan-jalan seharian di kota Batam dengan Mercedez Baby Benz yang dipinjamkan oleh PT Batamindo pengelola kawasan industri terbesar di Batam.

Setahun yang lalu saya baru mengetahui bahwa keluarga istri saya memiliki ratusan hektar tanah di kota Medan dan sekitarnya, yang berhasil diklaim melalui upaya hukum hingga kekuatan fisik setelah bertahun-tahun terlantar. Salah satunya berada di wilayah Johor dengan luas 25 hektar. Dengan NJOP di kawasan itu yang mencapai Rp6 juta per-meter persegi, silakan hitung sendiri nilai total NJOP tanah itu, jokower. Dan itu belum semuanya. Masih ada ratusan hektar lagi di beberapa wilayah di sekitar Medan.

Pada saat ini saya dan keluarga tengah menunggu realisasi penjualan sebidang tanah milik keluarga istri saya yang nilainya ratusan miliar. Saya sudah membayangkan akan mengendarai mobil sport Nissan GTR, atau minimal Toyota Celica GT-4. Yang pasti, bukan mobil standar macam Daihatsu Terios milik si Eman.(ca)

3 comments:

Kasamago said...

Selera mobilnya asoy banget..
saya harap Honda (Acura) NSX 2017 yg terpilih

Miralem said...

Tulisan bung adi ini agaknya benar. Suasana di kampus agaknya sudah bisa mencerminkan keadaan sebenarnya. Mereka yang punya usaha sendiri, walaupun cenderung neolib/ignorant, di sisi lain mereka mencintai agamanya. Mereka rajin mengikuti kegiatan" demi menambah pengalamannya. Beda dengan mereka" yg sibuk bahas filsafat sampai larut malam sambil umbar" idealisme proletar. Udah kuliah pas"an, habis kuliah cuma nongkrong, makan" cuma indomie. Apakah mereka rajin sedekah di masjid, wallahu a'lam.

Unknown said...

Hehehehe.. nice essai