Tuesday, 4 July 2017

Old World Order yang Bangkit Menantang New World Order

Indonesian Free Press -- Blogger masih belum bisa memastikan bahwa antara Orde Dunia Baru (New World Order/NWO) dan Orde Dunia Lama (Old World Order/ODO) benar-benar terjadi dikotomi yang nyata atau sekedar kamuflase untuk menyembunyikan kekuasaan sebenarnya para penguasa dunia di balik layar. Namun, faktanya dunia tengah mengalami pergulatan antara kedua orde tersebut secara intensif.

Benua Eropa menjadi ajang pergulatan tersebut, yang berlangsung sangat sengit setelah NWO berusaha melemahkan negara-negara Eropa (untuk membuat mereka tetap sebagai jajahan, setelah mulai munculnya kesadaran publik akibat keberadaan internet) dengan menggelontorkan jutaan imigran dari Afrika dan Timur Tengah, di bagian Eropa timur yang mayoritas warganya adalah etnis Slavia-Rusia yang beragama Kristen Orthodok, terjadi aksi-aksi menentang keberadaan agen utama NWO George Soros dan kebijakan pro-imigrasi yang dikampanyekannya.

Di Macedonia, misalnya, muncul gerakan Stop Operation Soros (SOS). Gerakan ini menyerang lebih dari 70 organisasi bentukan Soros di negara itu. Tidak berhenti di sini, para pemimpin SOS menyerukan masyarakat di seluruh dunia untuk melawan 'melawan monopoli kebenaran di sektor publik yang selama ini dimonopoli oleh George Soros.

Semangat anti Uni Eropa (New World Order) oleh Old World Order juga muncul secara massif di Serbia, Yunani, dan Albania.

Di Hongaria, negara kelahiran George Soros, gerakan anti-Soros dan kebijakan pro-imigrasi yang didorong oleh Uni Eropa bahkan dipimpin langsung oleh Perdana Menteri negara itu, Viktor Orban. Dalam sebuah acara di Budapest akhir bulan Juni lalu, Orban kembali mengecam proyek multikulturalisme Eropa yang digagas George Soros dan didukung Uni Eropa. Ia kembali menyerukan dilakukannya penguatan penjagaan perbatasan dari gelombang imigrasi, penerapan kebijakan 'tidak ada toleransi' pada para imigran ilegal, dan penguatan 'kebudayaan Kristen Eropa'.

Sudah barang tentu ia juga mengecam Uni Eropa dan George Soros atas proyek multikulturalisme Eropa dan menyebutnya sebagai 'kegagalan nyata'.

Dalam referendum yang digelar tahun lalu sebanyak 98% warga Hongaria menolak kebijakan keterbukaan imigrasi yang dikampanyekan Uni Eropa.

"Tidak ada yang boleh memerintah sebuah negara berdaulat tentang siapa yang bisa tinggal di negara tersebut, ini sepenuhnya adalah kebijakan nasional kita," kata Orban, menyindir Uni Eropa yang mendesak Hungaria untuk menerima 'quota' imigrasi yang ditetapkan organisasi negara-negara Eropa itu. 

"Ada konsensus yang nyaris bulat bahwa kemerdekaan ekonomi dan kebijakan imigrasi kita harus dilindungi dari campur tangan Brussels (Uni Eropa),” katanya.

Avi Gleitzer, blogger terkenal asal Israel, baru-baru ini menulis tentang fenomena pergulatan antara NWO dengan OWO ini, setelah melihat konflik di Suriah. "Orang tidak akan bisa mengerti peristiwa-peristiwa geopolitikal saat ini tanpa memahami pandangan-pandangan saya ini," tulis Avi Gleitzer seperti dikutip blog  DR. Henry Makow.

Menurutnya, NWO (New World Order) meliputi Inggris dan negara-negara bekas jajahan Inggris (British Commonwealth, Anglo Saxons termasuk Amerika), Israel dan para bankir yahudi, negara-negara Arab Sunni, dan beberapa negara sekutu Barat seperti Polandia, Jepang, dan Korsel. Sedangkan OWO (Old World Order) mencakup Rusia dan sekutu-sekutunya Cina, Iran, Turki, negara-negara Amerika Latin (Bolivia, Venezuela), komunitas Shiah, gereja Orthodok dan sebagian penganut Katholik.

Kekuatan NWO dibentuk oleh 'kekuatan uang' orang-orang yahudi Jerman dan dilindungi oleh angkatan laut Inggris dan kemudian oleh Amerika. Setelah memicu mendorong gerakan 'Reformasi' yang memicu perpecahan Eropa berdasarkan keyakinan Protestan-Katholik disusul kemudian kemunculan negara-negara Republik menggantikan negara-negara kerajaan, NWO eksis pada pergantian Abad 19 ke 20 dan semakin kuat paska Perang Dunia II.

Napoleon Bonaparte berusaha menggagalkan solidikasi NWO dengan memerangi Inggris dan negara-negara Eropa yang telah terafiliasi NWO, namun gagal.

Menurut Gleitzer, meski sukses menguasai dunia, sejumlah proyek NWO juga mengalami kegagalan. Nazisme-Hitler adalah keberhasilan besar mereka, namun di Rusia mereka gagal mengendalikan komunisme sehingga akhirnya, terutama di bawah Vladimir Putin, Rusia muncul sebagai kekuatan utama OWO yang melawan NWO.

"Rusia menjadi independen, kembali ke Kekristenan (Orthodok) dan meraih kembali kekuatan militernya semasa Uni Sovyet," tulis Gleitzer.

"Sementara itu, sejumlah negara Eropa menolak untuk tergantung kepada Anglo-Saxon NWO dan menggunakan semangat Rusia sebagai dasarnya untuk mulai memisahkan diri dari NWO (Uni Eropa). Itulah yang kita saksikan saat ini. Brexit adalah sebuah upaya Anglo-Saxons untuk meraih kembali kekuasaan. Pemilihan Trump adalah upaya mereka lainnya Anglo-Saxon untuk melawan OWO, namun juga gagal," tambah Gleitzer.

Diperkirakan tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya, konflik antara NWO dan OWO akan semakin intensif, khususnya pada ulang tahun ke-100 Deklarasi Balfour yang menjadi dasar pembentukan negara Israel. Selain itu NMO juga tidak akan bisa membiarkan Rusia dan OWO semakin kuat setelah keberhasilan mereka mengalahkan NWO di Suriah. Demikian analisa Avi Gleitzer.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Sayang baik OWO dan NWO, keduanya tidak ada niat untuk membebaskan Jerussalem dan bekerja sama dg Islam sebagai karunia terbesar dan terakhir dari Sang Pencipta..

Artinya, hanya dgn tegaknya kemuliaan Islam di muka bumi lah yg sanggup mengalahkan kedua Ordo