Sunday 30 April 2017

Kesadaran Pribumi Kalahkan Rencana Jahat Bandar Ahok

Indonesian Free Press -- Seperti telah ditulis di blog ini, ada faktor penting yang menggagalkan rencana jahat proksi aseng-asing untuk meng'goal'kan Ahok menjadi Gubernur DKI.

Seperti kabar yang sudah beredar luas di masyarakat, setelah berhasil menjadi Gubernur DKI selanjutnya Ahok akan diduetkan dengan Jokowi sebagai Wakil Presiden dalam Pilpres 2019. Tidak berhenti sampai di sini, selanjutnya Ahok pun akan diplot menjadi Presiden Indonesia sepeninggal Jokowi.

Manusia-manusia yang dikendalikan iblis tidak akan pernah puas. Setelah menguasai ekonomi, mereka kini berusaha untuk menguasai politik dan kekuasaan di Indonesia.


Rencana itu sangat berbahaya karena melukai mayoritas masyarakat Pribumi dan ummat Islam Indonesia sehingga dikhawatirkan Indonesia akan semakin lemah karena tersandera dengan masalah-masalah primordial dan sara. Bukan masalah 'move on' dan 'tidak move on', isyu-isyu primordial dan sara adalah masalah yang melekat di semua masyarakat di dunia dan tidak bisa dinafikan begitu saja, melainkan harus didekati dengan cara-cara yang cerdas, bukan dengan pemaksaan kehendak melalui berbagai bentuk rekayasa. Apalagi bagi ummat Islam, kepemimpinan di tangan pemimpin Muslim adalah keyakinan yang tidak bisa dinafikan.

Kepemimpinan Ahok dan juga orang-orang dari kelompok minoritas Cina juga semakin melebarkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang selama ini lebih menguntungkan kelompok minoritas Cina. Hal ini tentu akan ditolak dengan keras oleh warga Pribumi dan otomatis memicu ketegangan sosial di masyarakat.

Dalam Pilkada DKI tanggal 19 April lalu, rencananya para cukong dan bandar di belakang Ahok beserta para penggembira Ahok (Ahoker) akan melakukan rekayasa penghitungan cepat di lembaga-lembaga survei yang sebelumnya telah mereka bayar untuk memenangkan Ahok. Ini diikuti dengan pawai kemenangan Ahok yang berpusat di Bundaran Hotel Indonesia dengan pengawalan polisi. Penumpukan massa untuk menggelar pawai juga telah dilakukan dengan mendatangkan ribuan massa Ansor dari luar Jakarta. Media-media massa yang mayoritas pendukung

Ahok juga akan melakukan 'brainwash' terhadap publik tentang kemenangan Ahok. Hal itu dimaksudkan untuk 'memberi jalan' bagi KPU DKI untuk membuat keputusan yang kontroversial, yaitu memenangkan Ahok. Itu semua dilakukan setelah para pendukung Ahok, dengan dukungan polisi dan KPU serta Panwaslu, melakukan rekayasa besar-besaran di TPS-TPS untuk memenangkan Ahok. Dan di belakang itu semua, Presiden Jokowi adalah pendukung terbesar dan pelindung Ahok.

Namun semua itu berjalan anti-klimaks. Setelah pencobosan yang berjalan tenang, lembaga-lembaga survei juga seragam memberitakan kemenangan pasangan Anies-Sandi. Begitu pun media-media massa pro-Ahok seperti Metro TV, tidak sedikitpun melakukan perlawanan terhadap Anies-Sandi. Puncaknya adalah penghitungan final KPU DKI yang menetapkan kemenangan Anies-Sandi dengan suara 57,9%.

Blog ini telah memperkirakan bahwa 'faktor x' yang membuat para cukong dan bandar di belakang Ahok mundur dari rencana mereka memenangkan Ahok adalah Panglima TNI yang berikrar 'siap masuk penjara' untuk menjaga keutuhan negara dan melindungi rakyat Indonesia. Kemudian hal ini diimplementasikan oleh Panglima TNI dengan mengerahkan ribuan prajuritnya, di samping menjaga keamanan juga untuk mengawasi jalannnya pemungutan suara di TPS-TPS, sekaligus menggagalkan rencana rekayasa.

Konsultan Media dan Politik Hersubeno Arief dalam tulisannya yang beredar luas di dunia maya menyebutkan bahwa faktor kekalahan Ahok dan para bandarnya adalah kesadaran para pengusaha dan politisi Pribumi seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Sutrisno Bachier. Jadi, ditambah dengan faktor Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo yang tidak lain adalah seorang Pribumi-Muslim, bisa dituliskan bahwa faktor tersebut adalah faktor kesadaran Pribumi.

Menurut Arief pada hari-hari terakhir menjelang Pilkada DKI 19 April lalu, terjadi konsolidasi para pengusaha dan politisi Pribumi untuk memenangkan pasangan Anies-Sandi. Khusus untuk Jusuf Kalla, disebutkan Arief sebagai orang yang bertanggungjawab dengan terbentuknya kandidat pasangan Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno.

"Disinilah nama Wapres Jusuf Kalla mulai terendus ikut bermain. Melalui adik iparnya Aksa Mahmud, konon kabarnya menjadi mak comblang yang membuat Anies-Sandi bisa menjadi sepasang pengantin.... Peran besar Aksa Mahmud bisa terlihat dari kehadiran anaknya Erwin Aksa yang selalu mendampingi Anies," tulis Arief.

Namun yang lebih menghebohkan adalah dukungan istri Kalla yang terang-terangan memperlihatkan simbol 'Oke Oce' milik Anies-Sandi di hadapan publik beberapa hari menjelang Pilkada.

"Peta menjadi tambah seru dan menarik ketika Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie bergabung dalam kubu ini. Seperti kita ketahui Aburizal bersama Prabowo dan mantan Presiden PKS Anis Matta adalah tulang punggung Koalisi Merah Putih. Namun setelah Golkar pecah atau tepatnya dipecah dan kemudian berhasil diakuisisi oleh Jokowi dengan menempatkan Setya Novanto sebagai ketua umum secara halus Ical, panggilan akrabnya, perlahan-lahan disingkirkan," tulis Arief lagi.

Konon, karena dukungan Ical pada Anies-Sandi membuat proyek migas keluarga Bakrie bernilai miliaran dolar dipangkas pemerintah. Namun yang paling kentara adalah menghilangnya acara talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne. ILC yang diasuh Karni Ilyas adalah acara talkshow yang sangat populer, dengan jumlah penonton terbanyak. ILC selalu merajai rating dan share program sejenis. Dengan durasi terpanjang ILC juga menghasilkan iklan sangat besar," tambah Arief.

Karena TVOne, khususnya ILC, dianggap banyak merugikan Ahok dan pemerintah, regim Jokowi yang mendukung Ahok melalui berbagai jalur melakukan tekanan kepada Aburizal Bakrie. Ical semula menolak berbagai tekanan tersebut. Namun sebagai pengusaha yang harus menyelamatkan nasib puluhan ribu karyawannya, dia memahami situasi yang tengah dihadapi.

Sebagai jalan tengah, acara tersebut sementara ditiadakan, setelah sebelumnya hilang timbul. Demikian tulis Arief. Menurut Arief, bergabungnya Bakrie ke kubu Anies-Sandi selain dikarenakan kesadaran Bakrie tentang ancaman di balik kemenangan Ahok, juga karena faktor mental Bakrie yang pemberani.

"Soal berhadapan dengan rezim penguasa bukan hal yang baru bagi Ical. Semasa Orde Baru dan posisi Presiden Soeharto sangat kuat, dia berani melawan. Pada tahun 1994 Ical terpilih menjadi Ketua Umum Kadin Indonesia. Pada saat itu Presiden Soeharto sebenarnya menginginkan posisi tersebut dijabat oleh adik tirinya Probo Sutedjo. Pada masa itu keinginan Soeharto adalah sebuah titah yang harus terlaksana. Tapi Ical melawan dan posisi Ketua Umum Kadin Indonesia
berhasil direbutnya. Sebagai fighter, Ical memang punya nyali yang luar biasa. Dia bukan figur yang mudah tunduk," tulis Arief.

Dukungan Ical terhadap Anies-Sandi menjadi benderang ketika sebanyak 15 orang mantan ketua umum HIPMI mendeklarasikan dukungan kepada Sandi pada 4 April di Senayan Golf Club, Jakarta. Selain Ical, tercatat ada Abdul Latief, Ketua Umum HIPMI pertama dan Sutrisno Bachir.Nama terakhir Sutrisno Bachir juga cukup menarik. Dia adalah Ketua MPP PAN dan jabatannya di pemerintahan Jokowi sebagai Ketua Komisi Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN). Pada Pilpres lalu Sutrisno berada di kubu yang berseberangan dengan Ical dan Prabowo. Sutrisno menjadi tim sukses Jokowi. Karena Ahok, Sutrisno kemudian juga bersimpang jalan dengan Jokowi.

"Peta perkubuan dalam politik Indonesia memang sangat dinamis. Hari ini menjadi kawan, besok bisa menjadi lawan. Tergantung kepentingan. Namun dari Pilkada DKI 2017 kita bisa mengambil beberapa pelajaran. Pertama, untuk menjadi politisi perlu nyali, perlu keberanian. Kedua, perlu stamina dan kesabaran. Ketiga, tahu momentum dan memanfaatkannya. Kapan harus frontal, kapan menahan dirinya. Keempat, tahu dan mampu untuk menentukan siapa yang harus menjadi kawan dan siapa yang menjadi lawan.

Di luar semua itu, politisi harus tetap menjaga idealisme dan keyakinannya akan suatu kebenaran, sekalipun harga yang dibayar sangat mahal. Satu lagi yang tidak bisa kita kendalikan adalah nasib baik. Faktor ini di luar kendali siapapun, termasuk politisi yang sudah sangat handal dan berpengalaman,” demikian tulis Arief di bagian penutupnya.(ca)

1 comment:

kasamago said...

Manusia yg berencana, Tuhan yg menentukan.. Man of the game dlm pilkada lalu adalah Jendral Gatot dan Wapres..

Bersyukur msh ada patriot di lingkar kekuasaan..