Sudah lama saya (blogger) curiga dengan sosok Aung San Suu Kyi, "pejuang demokrasi" dan salah satu "ikon pecinta perdamaian" dunia. Suaminya yang orang Inggris dan latar belakang pendidikannya di universitas elit Inggris ditambah namanya yang meroket di dunia internasional-lah penyebab kecurigaan saya. Karena media-media massa barat tidak akan pernah "mengangkat" nama seseorang demikian tinggi kecuali dengan "imbalan" atau "tujuan" tertentu.
Dan kecurigaan saya terbukti sudah dengan sikap bungkamnya atas pembantaian sistematis yang kini dialami kaum muslim Rohingya di Myanmar. Ia mencoba menghindar dari "kewajiban moral" membela orang-orang Rohingya, saat diminta komentarnya oleh media massa tentang nasib orang-orang Rohingya itu, dengan berpura-pura tidak mengetahui status kewarganegaraan orang-orang Rohingya itu. Namun hal ini justru menimbulkan kesan kemunafikannya karena sebagai seorang pejuang HAM mustinya ia tidak melihat status kewarganegaraan seseorang yang tengah mengalami penindasan. Selain itu komentar ketidak tahuan status kewarganegaraan orang-orang Rohingya juga memperlihatkan "kebodohannya". Orang-orang Rohingya, meski berasal dari luar Myanmar, namun sudah ratusan tahun hidup di Myanmar jauh sebelum negara Myanmar terbentuk.
Dan karena sikap munafik dan bodoh itulah Suu Kyi harus memanen kecaman dari berbagai belahan dunia.
"Sangat mengecewakan, ia berada pada posisi sulit, namun orang kecewa dengan sikap diamnya," kata Anna Roberts, pimpinan LSM Burma Campaign yang bermarkas di Inggris.
“Dalam hal ini ia melewatkan kesempatan untuk menyampaikan hal-hal terpuji," kata Brad Adams, direktur Human Rights Watch wilayah Asia.
“Segalanya terasa meledak saat ia berkeliling Eropa namun tidak menyinggung (masalah Rohingya) sama sekali," tambah Brad Adams menyinggung kunjungan Suu Kyi ke beberapa negara Eropa baru-baru ini.
Suu Kyi juga dikritik kalangan aktifis kemanusiaan karena menolak mengkritik Presiden Myanmar Thein Sein, mantan jendral, yang melakukan kebijakan "pembersihan etnis" atas orang-orang Rohingya. Menurut Thein Sein orang-orang Rohingya yang berjumlah sekitar 800.000 orang itu harus direlokasi ke kamp-kamp pengungsi sebelum diusir ke Bangladesh.
Para analis politik percaya sikap diam Suu Kyi adalah karena motifasi politik. Ia yang kini telah menjadi anggota parlemen dan bakal mencalonkan diri menjadi presiden dalam pemilu tahun 2015 mendatang, tidak ingin ditinggalkan orang-orang Buddha yang merupakan warga mayoritas Myanmar dengan membela orang-orang Rohingya.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui kewarganegaraan orang-orang Rohingya dan menyebut mereka sebagai pendatang ilegal, meski bukti-bukti sejarah menunjukkan orang-orang Rohingya telah tinggal di Myanmar sejak abad 8 masehi. Mereka berdarah campuran antara Persia, Turki, Bengali dan Pathan.
Menurut laporan PBB, kebijakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar membuat orang-orang Rohingya terlantar. Pemerintah membatasi mobilitas mereka dan menahan hak kepemilikan tanah bagi mereka sebagaimana juga hak-hak sosial seperti pendidikan dan kesehatan.
Berbagai laporan menyebutkan ribuan orang Rohingya telah menjadi korban pembantaian yang dilakukan orang-orang Buddha Myanmar dengan fasilitas pemerintah. Pada tgl 28 Juni lalu dikabarkan sebanyak 650 orang Rohingya tewas dibantai. Angka itu di luar 1.200 orang Rohingya yang hilang dan 80.000 lainnya yang terusir dari tempat tinggalnya.
Ref:
"Myanmar’s Suu Kyi under fire for silence on Rohingya massacre"; Press TV; 27 Juli 2012
No comments:
Post a Comment