Saturday, 21 July 2012

ANGGOTA LEGISLATIF IRAN KECAM KEBISUAN PBB ATAS PEMBANTAIAN MUSLIM MYANMAR

Ketika masa semua orang di seluruh dunia, termasuk umat Muslim, tertuju ke Syria, diam-diam di Myanmar terjadi pembantaian terhadap umat Muslim setempat yang disebut sebagai orang-orang Rohingya. Namun meski pembantaian itu telah berlangsung massif dan intensif, dunia diam membisu. Bahkan Aung San Su Kyi yang dielu-elukan sebagai "pejuang suci demokrasi Myanmar" dan peraih penghargaan nobel perdamaian, diam membisu atas tragedi tersebut. Saat ditanya wartawan tentang tragedi tersebut Su Kyi menolak berkomentar dengan dalih "tidak mengetahui apakah orang-orang Rohingya adalah penduduk Myanmar".

Bahkan jika mereka bukan penduduk Myanmar, pembantaian terhadap mereka tetap tidak bisa dibiarkan oleh seorang "pejuang demokrasi". Apalagi mereka adalah penduduk Myanmar yang telah tinggal ratusan tahun.

Membisunya dunia atas tragedi tersebut membuat seorang anggota legislatif Iran marah terhadap PBB. "Organisasi yang mengklaim diri sebagai pembela hak-hak manusia di seluruh dunia, ternyata berdiri berdasarkan kepentingan tertentu," kritik Mohammad Ismaili, anggota legislatif Iran, Jum'at (20/7).

Menuduh PBB telah kehilangan "efisiensinya", Ismaili selanjutnya mengecam sebagai pembela kepentingan barat, terutama Israel dan Amerika, dan telah berfungsi sebagai alat kepentingan mereka.

Ismaili selanjutnya mengatakan bahwa diamnya PBB atas isu-isu yang bertentangan dengan kepentingan barat adalah bukan yang pertama kalinya. PBB, katanya, juga membisu dalam masalah-masalah yang terjadi di Gaza, Afghanistan dan Irak.

Menurut berbagai laporan, kaum muslim Rohingya kini tengah mengalami tragedi kemanusiaan yang menyedihkan. Sebanyak 650 orang tewas dalam kerusuhan tgl 28 Juni yang terjadi di Rakhine, barat Myanmar. Selain itu sebanyak 1.200 orang lainnya hingga kini masih menghilang dan sebanyak 80.000 orang terusir dari tempat tinggalnya.

PBB sendiri telah mengakui bahwa muslim Rohingya adalah kaum minoritas paling tertindas di dunia, namun belum ada aksi apapun dilakukan terhadap mereka. Di bawah pemerintahan Myanmar mereka kehilangan hak-hak dasar mereka seperti pendidikan dan lapangan kerja. Sebaliknya mereka menjadi korban eksploitasi praktik-praktik kerja paksa.

Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warganegara dan memilih mengusir mereka dari Myanmar.


No comments: