Saya adalah salah seorang yang pertama kali bersujud syukur ketika
mendengar kabar bahwa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Kabar itu
saya dengar dari pernyataan Amien Rais di media televisi, dini hari
tanggal tgl 21 Mei 1998.
Saya sudah memimpikan kejatuhan Pak Harto ketika masih duduk di bangku
SMP pada dekade 1980-an. Impian itu berdasar pemikiran polos saya sendiri yang
mulai berfikir kritis melihat berbagai fenomena sosial dan politik di
Indonesia kala itu. Tentang banyaknya korupsi dan sistem kenegaraan yang
otoritarian dengan Pak Harto menjadi sentralnya. Semakin bertambah umur
pikiran itu pun semakin bertambah kuat, dipupuk oleh berita-berita dan
tulisan-tulisan media-media massa yang menyudutkan Pak Harto.
Namun kini pemahaman saya terhadap Pak Harto telah jauh berubah. Jika tgl 21 Mei 1998 saya bersyukur dengan kejatuhan Pak Harto, maka pada hari wafatnya beliau tahun 2008, saya menitikkan air mata. Saya baru saja melihat foto Pak Harto di masa tuanya yang dimuat di buku memoar Probosutedjo berjudul "Saya dan Mas Harto". Betapa sejuk wajahnya. Saya tidak percaya bahwa malaikat akan tega menjebloskannya ke neraka jahanam.
Saya bukan orang yang tidak mengetahui informasi tentang hal-hal yang buruk yang terjadi selama pemerintahan Pak Harto. Tentang pembantaian massal orang-orang PKI akhir dekade 1960-an, tentang kerusuhan Malari tahun 1974, tentang pembunuhan misterius para preman awal dekade 1980-an, pembantaian Tanjungpriok tahun 1984, pembantaian Santa Cruz tahun tahun 1995, dll. Saya juga mengetahui keterlibatan Pak Harto dalam konspirasi asing untuk menjarah sumber daya alam Indonesia paska setelah berhasil "menjatuhkan" Soekarno, terutama melalui penandatanganan UU PMA yang ditandatangani di luar negeri.
Pada tahun 1993 saya bahkan sempat ikut diskusi politik bersama Mohammad Fadjroel, aktifis mahasiswa ITB yang dipenjara regim Orde Baru. Teman satu flat saya adalah salah seorang "dedengkot" SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), organisasi underbow Partai Rakyat Demokrasi (PRD) yang menjadi musuh Pak Harto. Kini teman saya itu bersama satu "dedengkot" SMID lainnya menjadi staff khusus Presiden SBY, sementara sejawatnya mantan ketua PRD menjadi politisi PDI-P setelah sebelumnya mereka mendapat beasiswa S-2 di Inggris.
Selama saya kuliah hingga lulus tahun 1996, hampir tidak ada hari yang saya lalui tanpa satu diskusi tentang keburukan Pak Harto. Pendek kata, sejak dekade 1980-an hingga 1990-an, pikiran saya dipenuhi dengan gambaran hitam tentang Pak Harto. Tidak heran jika saya berteriak-teriak kegirangan ketika mendengar berita tentang kematian Ibu Tien Soeharto tahun 1995.
Tapi sayangnya, atau syukurnya, saya bisa berfikir dalam banyak perspektif sehingga kini saya bisa memahami berbagai hal negatif yang dituduhkan orang kepada Pak Harto tanpa harus menyalahkan beliau, sekaligus mengetahui kelebihan-kelebihan beliau yang tidak dimiliki para pemimpin lain.
Tentang peran beliau menjatuhkan Presiden Soekarno dan mengijinkan penguasaan sumber-sumber daya alam Indonesia oleh asing, saya memahaminya sebagai satu pilihan terbaik dari yang terburuk. Saat itu Indonesia hanya memiliki 2 pilihan buruk: jatuh ke tangan komunisme atau kapitalisme. Jika pilihan pertama yang terjadi, maka Indonesia akan menjadi seperti Rusia, Cina, Kamboja, Vietnam atau negara-negara komunis lainnya dimana terjadi pembantaian massal yang jauh lebih besar daripada pembantaian terhadap para pendukung PKI.
Dipastikan PKI akan membantai habis kaum agamawan (ulama, santri, pendeta, biarawan biarawati), pegawai negeri, perwira polisi dan tentara, para petani independen (yang tidak bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah), kalangan kelas menengah (profesional dan intelektual), dan hanya menyisakan para petani dan buruh yang awam. Belasan atau bahkan puluhan juta rakyat Indonesia akan menjadi korban "pesta persembahan darah" yang digelar orang-orang komunis. Inilah adalah fakta yang terjadi di negara-negara komunis, bukan "teori konspirasi".
Untung ada Pak Harto, seorang jendral dengan jiwa kepemimpinan yang tinggi sekaligus visioner. Bencana kemanusiaan yang sudah di depan mata itu berhasil dicegahnya dengan cara menumpas PKI dan antek-anteknya.
(Bersambung)
2 comments:
kalo enak ngapain juga dilengserin?
yang ngengserin orang-orang yang ketipu sama kapitalis global dan antek-anteknya.
Post a Comment