Tuesday 17 December 2013

SOEKARNO DALAM BESUTAN HANUNG BRAMANTYO

Sudah pasti keluarga Proklamator Soekarno berang kepada Hanung Bramantyo. Alih-alih menggambarkan Soekarno sebagai tokoh besar dengan kehidupan yang inspiratif, Hanung Bramantyo, sang sutradara film tentang Soekarno yang kini tengah tayang di bioskop-bioskop tanah air, justru menonjolkan sisi kehidupan beliau yang "ecek-ecek".

Apa istimewanya si Mien Hessels, teman kecil Soekarno warga Belanda yang sempat membuat Soekarno jatuh hati? Mengapa justru hubungan "cinta monyet" Soekarno dengan Mien yang sangat tidak inspiratif itu menjadi tonjolan dalam film besutan Hanung?

Padahal pada saat yang sama dengan periode "cinta monyet" tersebut Soekarno mengalami berbagai kisah hidup yang jauh lebih menarik sebagai inspirasi generasi muda Indonesia. Rasa nasionalismenya yang sudah terpupuk sejak kecil yang ditunjukkannya pada kegemarannya menantang berkelahi anak-anak bule Belanda. Bahkan motif "cinta monyet"-nya terhadap Mien juga didasari pada keinginannya mengalahkan "sinyo-sinyo"  Belada dalam menggaet "noni-noni" cantik. Setelah dewasa dan Soekarno sudah menjadi tokoh penting, beliau sempat bertemu dengan Mien. Ia terkejut sekaligus bersyukur tidak menjadi pasangan hidup Mien, karena yang bersangkutan tampak jauh lebih tua dari dirinya.

Juga masa sekolahnya di Surabaya dimana ia indekos di rumah HOS Cokroaminoto, sang inspirator utama perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah mendorong lahirnya berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan seperti Boedi Utomo hingga Syarikat Islam. Tidak hanya mendapatkan wawasan kebangsaan dan gemblengan mental, di rumah itu pun Soekarno jatuh cinta pada putri sang inspirator perjuangan yang bernama Utari yang berujung pada pernikahan mereka. Inilah pernikahan pertama Soekarno, pada saat beliau masih berusia sangat muda, sehingga menjadi satu episode pendewasaan yang luar biasa.

Selanjutnya dalam periode pembuangan, Hanung cenderung menonjolkan sisi romantisme sempit Soekarno dengan menonjolkan masa pembuangan di Bengkulu, tempat dimana ia bertemu dengan Fatmawati. Padahal di tempat-tempat pembuangan lainnya seperti Ende Nusa Tenggara dan Digul Papua Soekarno justru mendapatkan pembelajaran yang luar biasa berarti dari sekedar percintaan dengan Fatmawati di Bengkulu.

Yang agak aneh lagi Hanung juga menonjolkan periode penjajahan Jepang, dimana kala itu Soekarno "terjebak" dalam situasi yang tidak menguntungkannya. Memilih jalan kompromi dengan berbagai pertimbangannya, dalam perspektif perjuangan kemerdekaan Soekarno lebih tampak sebagai tokoh "pengkhianat" daripada pejuang kemerdekaan.

Lalu mengapa Hanung justru menonjolkan periode ini? Hanya ia, Raam Punjabi, sponsor dan Tuhan yang tahu.

Sebagaimana diketahui, film Soekarno garapan Hanung ini kini menghadapi gugatan keluarga Soekarno. Selain dianggap telah mencuri hak intelektual Rachmawati Soekarnoputri sebagai inisiator pembuatan film, keluarga Soekarno juga menganggap film tersebut telah mereduksi peran Soekarno dalam perjuangan Indonesia.

"Di republik ini ada kelompok yang menginginkan agar faham Soekarnoisme dikubur selama-lamanya. Film Soekarno garapan sutradara Hanung Bramantyo yang dinilai banyak pihak jauh dari fakta sesungguhnya dan terkesan tak menghormati Bung Karno sebagai Bapak Bangsa, membuat senang hati kelompok tersebut," kata Guruh Soekarnoputra kepada wartawan baru-baru ini.

Kekhawatiran saya (blogger) jauh lebih besar dari Guruh dan Rachmawati. Seiring dengan semakin luasnya faham liberalisme, ada upaya sistematis oleh kepentingan asing untuk mendesakralisasi tokoh-tokoh perjuangan Indonesia serta simbol-simbol nasionalisme Indonesia. Tujuannya apa lagi kalau bukan menjadikan seluruh rakyat Indonesia tidak memiliki pegangan, panutan dan inspirasi, dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada tatanan asing.

Bagaimana orang-orang asing itu tidak khawatir dengan nasionalisme bangsa Indonesia? Indonesia adalah inspirator utama perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia melawan kolonialisme. Dan bangsa Indonesia adalah bangsa penakluk kekuatan-kekuatan jahat global: imperalisme Mongolia, kolonialisme Portugis-Inggris-Belanda, fasisme Jepang hingga komunisme internasional.

1 comment:

ZA said...

hanung memang selalu ada kecenderungan a nasionalis.. dia sepertinya murid liberalis yang anti sukarno..dlm hatinya.. Hanung itu gk tahu apa2 tentang sukarno.. kok menggarap film sukarno..ANEH..?? Saya kira ada grand design yg jahat dibalik film2 garapan Hanung..? Kita gk tahu siapa2 yg dijadikan acuan..?? Bagi ahli2 film dan propaganda jahat..maklum bahkan.. holocaust juga bisa dibuat film.. padahal konon kisah2 palsu atau banyak dipalsukan.. " coba kisah dusta 6juta yahudi dibunuh dgn gas..dan ditembaki..?? Apa ini smw.. bagian dari tangan2 jahil yg sedang menggarap NKRI kita..??
Semoga masih ada pemimpin yg waras dan waspada.. Seharusnya film itu segera distop dan ditarik dari predaran.. Karena jelas fake story dan bertujuan jahat..terhadap bangsa dan pribadi Sukarno..??>>