Gerakan boikot Israel yang diserukan oleh kalangan akademis Amerika baru-baru ini mendapat dukungan penduduk asli Amerika (Indian). Organisasi yang membawahi penduduk Indian Amerika, "The Council of the Native American and Indigenous Studies Association (NAISA)" menyatakan dukungannya atas aksi boikot Israel.
"NAISA memutuskan dengan suara bulat untuk mendorong para anggota NAISA dan semua yang mendukung misi NAISA untuk mengikuti boikot (anti-Israel)," demikian pernyataan Presiden NAISA Chadwick Allen tentang deklarasi dukungan boikot yang dibuat NAISA.
Sebagaimana diketahui baru-baru ini kalangan akademisi dan budayawan Amerika yang tergabung dalam American Studies Association (ASA) mendeklarasikan gerakan boikot anti-Israel "US Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel". Boikot ini dilakukan sebagai protes atas aksi pendudukan Israel di Palestina yang semakin brutal. Setelah bertahun-tahun berhasil memarginalkan kalangan akademisi dan budayawan dari suara-suara kritis terhadap Israel dan dominasi yahudi di Amerika, gerakan ini merupakan pukulan keras bagi kalangan mapan Amerika yang telah terkooptasi oleh kepentingan zionis yahudi.
Bertahun-tahun hidup dalam penindasan Israel membuat rakyat Palestina semakin sulit mendapatkan akses pendidikan. Hal inilah yang mendorong NAISA menyatakan dukungannya terhadap aksi boikot Israel.
Telah menjadi pengetahuan luas bahwa para penduduk asli Indian memiliki kemiripan nasib dengan rakyat Palestina. Jika India tertindas oleh orang-orang kulit putih Eropa, maka orang-orang Palestina tertindas oleh Israel yang menjajah mereka sejak tahun 1940-an.
Pada awal Juli lalu seorang pelajar Palestina bernama Muatazz Idreis Sharawnah tewas ditembak tentara Israel di Dura, selatan Hebron. Disebutkan Idreis tengah berusaha meraih beasiswa di Lebanon ketika tentara Israel menembakinya. Penduduk menyebutkan tentara Israel melarang petugas palang merah Palestina untuk memberikan pertolongan kepadanya.
Di banyak tempat di wilayah Palestina yang diduduki Israel, anak-anak sekolah dan pelajar Palestina harus mendapatkan perlindungan tentara hanya untuk dapat pergi ke sekolah, atau kalau tidak mereka harus menghadapi resiko lemparan batu hingga penembakan oleh para pemukim yahudi. Pada bulan Februari 2011 lalu dikabarkan para relawan dari Christian Peacemaker Team harus melindungi anak-anak Palestina yang hendak bersekolah di At-Tuwani, selatan Hebron, dari lemparan batu para pemukim Israel.
Dalam sebuah laporan yang dimuat di al Jazeera tgl 30 Mei 2011, Prof. Joseph Massad dari Columbia University, menulis:
"Jumlah anak-anak Palestina yang dibunuh tentara Israel dalam peristiwa Intifada I (1987-1993) adalah 213, diluar mereka yang luka-luka atau bayi-bayi yang lahir cacat akibat ibu-ibu mereka manghirup gas air mata yang ditembakkan Isreal. Kelompok "Save the Children" Swedia memperkirakan bahwa antara 23.600 hingga 29.900 anak-anak membutuhkan perawatan medis akibat luka-luka pukulan tentara Israel selama 2 tahun pertama gerakan Intifada I. Dari jumlah itu sepertiganya adalah anak-anak di bawah 10 tahun."
Menurut sebuah laporan UNICEF disebutkan, "Lebih dari 2.500 anak-anak di Tepi Barat Palestina harus melewati satu atau lebih pos penjagaan Israel setiap harinya untuk sampai di sekolahnya, memaksa sebagian anak-anak perempuan untuk berhenti sekolah karena harus bersekolah di luar komunitasnya."
REF:
"Native Americans join academic boycott of Israel"; Tim King; Press TV; 19 Desember 2013
No comments:
Post a Comment