Beberapa tahun yang lalu ketika saya masih menjadi wartawan sebuah jaringan media massa mapan Indonesia, saya menyaksikan film sejarah Napoleon yang disiarkan stasiun televisi swasta. Saat itu juga saya mengetahui bahwa peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789 dan Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1918 digerakkan oleh satu kelompok yang sama meski tidak mengetahui kelompok tersebut.
Ada satu kesamaan di antara keduanya, yaitu keberadaan pejabat penguasa revolusioner yang disebut komisaris. Ini adalah pejabat regim yang ditempatkan di satuan-satuan birokrasi sipil dan militer dengan tugas mengawasi jalannya birokrasi agar sesuai dengan semangat revolusi. Pejabat ini memiliki pangkat yang lebih rendah dari pejabat birokrasi sipil dan militer dimana ia ditempatkan, namun ia memiliki kekuasaan yang lebih besar, termasuk menangkap dan mengeksekusi mati pejabat yang dianggap melanggar semangat revolusi.
Regim Nazi Jerman meniru model pemerintahan seperti ini dengan menempatkan perwira-perwira muda SS (satuan khusus yang sangat loyal kepada Hitler) di satuan-satuan birokrasi dan militer, dan terbukti efektif menjaga program-program dan kepentingan regim Hitler.
Sebagian peneliti sejarah menyebutkan bahwa Hitler, sebagaimana penggerak Revolusi Perancis dan Revolusi Bolshevik, bekerja untuk kelompok yang sama. Kelompok inilah yang membiayai kampanye Hitler dalam meraih kekuasaan hingga menjalankan roda pemerintahan, yang di antaranya adalah Prescott Bush, kakek Presiden Amerika George Bush yang menjadi bankir keluarga Rockefeller.
Kini, kelompok yang sama juga juga telah menguasai Amerika. Salah satu indikasinya adalah dengan adanya pejabat birokrasi militer semacam komisaris yang ditempatkan di dalam satuan-satuan birokrasi militer.
Sebagaimana diberitakan Fox News tgl 24 Desember lalu, para prajurit dan perwira satuan militer Brigade Infantri ke-158 yang berbasis di Camp Shelby Missisippi, dibuat marah oleh larangan yang diberikan oleh seorang "komisaris" militer atas penyebutan kata "Christmas" dalam kegiatan resmi militer, bahkan meski kegiatan tersebut diadakan untuk menyambut hari Natal.
"Sangat tidak bisa dipercaya, militer melarang kata "Christmas" seperti kata itu mengandung makna buruk," kata Michael Berry, pengacara dari Liberty Institute yang mewakili para prajurit yang tidak disebutkan namanya yang keberatan dengan larangan tersebut.
Sekitar 2 minggu yang lalu sebuah rapat rutin diadakan di pangkalan militer Camp Shelby yang dihadiri sebagian besar perwira Brigade Infantri ke-158. Dalam rapat tersebut dibahas rencana kegiatan turnamen sepakbola untuk menyambut hari Natal. Namun secara mengejutkan "komisaris" yang disebut "Perwira Kesamaan Hak" melarang penggunaan kata “Christmas” dalam kegiatan tersebut.
Menurut penuturan para prajurit, Perwira Kesamaan Hak tiba-tiba menghentikan rapat dan mengatakan kepada semua yang hadir untuk tidak menggunakan kata "Christmas" dalam turnamen tersebut.
“Hampir seluruh ruangan berteriak. Semua orang merasa kecewa. Perwira Kesamaan Hak mengatakan kepada komandan kami bahwa tidak semua orang merayakan Hari Natal dan kami tidak diperkenankan menggunakan kata "Selamat Natal", melainkan "Selamat Hari Libur"," kata Michael Berry menirukan penuturan seorang prajurit yang hadir dalam rapat tersebut.
Prajurit tersebut menambahkan telah terjadi diskusi yang singkat namun panas seputar "kebenaran politik" (political correctness), yaitu hal-hal tabu dalam kehidupan sosial politik Amerika yang sangat mengekang kebebasan warga Amerika. Pada satu titik, ketika tidak bisa lagi memberikan argumentasi yang jelas, sang "komisaris" berdalih bahwa larangan penggunaan kata "Christmas" adalah kebijakan resmi tentara Amerika, bukan pendapat pribadinya.
"Ia (komisaris) mengatakan bahwa sebagai individu seorang prajurit boleh mengucapkan "Christmas", namun sebagai organisasi tentara tidak bisa mengatakannya."
REF:
"Army: Don’t say Christmas"; Todd Starnes; Fox News; 24 Desember 2013 dalam thetruthseeker.co.uk; 25 DEsember 2013
No comments:
Post a Comment