Tuesday 10 December 2013

SHINAWATRA, HUN SEN DAN AMERIKA

Sejauh ini regim Shinawatra di Thailand terkesan menjauhi tindak kekerasan. Tentu saja karena mereka khawatir tentara akan berbalik membela rakyat, dan seperti telah terjadi sebelumnya, mengkudeta PM Yinluck Shinawatra sebagaimana PM Thaksin Shinawatra. Namun tidak dengan "tentara bayaran berseragam hitam" yang terdiri dari mantan personil militer sebagaimana telah dituliskan di blog ini, atau pasukan rahasia dari Kamboja.

Jumat malam (6/12), setelah rakyat Thailand di seluruh negeri memperingati perayaan ulang tahun raja, gerombolan bersenjata menyerang para demonstran anti-pemerintah yang tengah menduduki kantor Kementrian Keuangan. Mereka mengendarai sepeda motor, menembakkan senjata dan melemparkan granat. Beberapa demonstran mengalami luka-luka, termasuk seorang di antaranya kehilangan tangannya.

Para demonstran menuntut pemerintah mengadakan penyidikan atas insiden itu. Namun seperti diduga, pemerintah tidak tertarik untuk melakukannya.

Pada malam yang sama, 5 orang warga Kamboja ditangkap massa setelah berusaha membakar tenda berkumpul para demonstran di Monumen Demokrasi, Bangkok. Ketika diinterogasi, mereka mengaku sebagai orang suruhan. Pengakuan tersebut membuka kembali "file lama" tentang hubungan keluarga Shinawatra dengan regim diktator Kamboja, Hun Sen, yang telah diketahui umum di Thailand, namun sengaja disembunyikan media massa dan para "pembela HAM" barat.

Hun Sen adalah diktator yang telah memerintah Kamboja sejak tahun 1985. Namun kekuasaannya baru benar-benar absolut setelah melancarkan kudeta berdarah tahun 1997 yang menewaskan musuh-musuh politiknya. Mereka yang selamat dari pembunuhan, nasibnya berakhir di meja penyiksaan di ruang tahanan.

Pernah menonton film "The Killing Field"? Itu, film peraih Oscar yang menceritakan kekejaman regim komunis Khmer Merah yang telah membunuh jutaan penduduk Kamboja di tahun 1970-an. Hun Sen adalah veteran Khmer Merah. Sejauh ini ia adalah pemimpin paling kejam yang masih bertahan di dunia modern ini. Namun karena dukungan barat, alih-alih menjalani hukuman karena kejahatannya di masa lalu, kekuasaannya seakan tidak tersentuh.

Pada tahun 2008 media Inggris The Guardian menulis artikel tentang Kamboja dengan judul “Country for sale.” Dalam salah satu bagiannya artikel itu menuliskan:

“Hampir separo kekayaan Kamboja telah dijual kepada para spekulator asing dalam waktu 18 bulan terakhir. Dan ratusan ribu rakyat yang selamat dari kekejaman regim Khmer Merah, sekali lagi menjadi orang-orang tuna wisma.”

“Hun Sen dan partainya yang berkuasa Cambodian People’s Party (CPP), telah membuat negaranya terjual. Secara krusial mereka mengijinkan para investor asing untuk memiliki 100% kepemilikan perusahaan-perusahaan di Kamboja yang bisa membeli tanah dan properti, atau kalau tidak menyewanya selama 198 tahun. Tidak ada negara di dunia yang seperti itu (kecuali mungkin Indonesia; blogger). Bankan di Thailand dan Vietnam, dimana spekulasi tanah dan dan praktik-praktik pencarian keuntungan dengan cara instan terus berlangsung, investor asing hanya bisa memiliki saham minoritas.”

"Saat ini, militer Kamboja secara literal telah dijual ke luar negeri yang kini memiliki sejumlah besar tanah sebagai tentara bayaran yang tugasnya menindas oposisi. Tentu saja mengusir jutaan orang dari tanah miliknya dan kemudian menjualnya adalah tindakan kriminal dan kejahatan kemanusiaan, namun anehnya, hal itu tidak pernah diberitakan media massa dan PBB pun terkesan tutup mulut. Sementara Amerika, sejak tahun 2010 telah memulai program pelatihan terhadap para tentara yang terlibat dalam pencurian tanah rakyat yang masih saja berlangsung hingga sekarang."

Amerika membela program latihan "Operation Angkor Sentinel" tersebut:

"Hubungan militer kami adalah tentang ... bekerja ke arah reformasi pertahanan yang efektif, ke arah mendorong hubungan baik antara sipil dan militer yang merupakan esensi dari setiap sitem politik yang sehat."

Meski kehadiran militer Amerika di Kamboja tidak berarti adanya keterlibatan langsung Amerika di Thailand, setiap saat mereka bisa digunakan untuk menjamin kepentingan politik Amerika di Thailand tetap terjaga.

Sebagaimana Hun Sen, Thaksin terlibat dalam pembunuhan massal dan eksploitasi sumber daya domestik bagi kepentingan asing. Namun berbeda dengan Hun Sen, lawan-lawan politik Thaksin lebih kuat, militan, terorganisir, dan masih memegang posisi strategis di lembaga-lembaga negara termasuk militer. Meski kapitalis asing seperti George Soros telah menggelontorkan banyak sumberdaya untuk membangun jaringan LSM pendukung Thaksin, mereka belum mampu menghancurkan tatanan sosial politik Thailand.

Antara tahun 2009 sampai 2010 dan setelah kudeta militer yang melengserkan kekuasaan Thaksin yang korup tahun 2006, banyak para pendukung Thaksin yang mengamankan diri mereka ke Kamboja. Thaksin sendiri juga mendapat perlindungan di Kamboja, bahkan Hun Sen mengangkatnya sebagai "penasihat ekonomi pemerintah".

Di antara pendukung Thaksin yang melarikan diri ke Kamboja adalah Jakrapob Penkair, pemimpin kelompok "kaos merah" yang merupakan pendukung setia Thaksin. Dalam satu artikel di Asia Times berjudul “Plots seen in Thaksin’s Cambodia gambit,” disebutkan:

“Sebelum melarikan diri, Jakrapob mengatakan kepada korespondennya bahwa ia telah menyelundupkan sejumlah besar senjata api untuk pendukung Thaksin di kawasan Timur Laut Thailand dimana popularitas Thaksin sangat kuat. Ia juga mengatakan kepada koresponden lainnya bahwa mereka merencanakan untuk melakukan pemberontakan bersenjata untuk meraih tujuan politiknya, yaitu melengserkan pemerintah dan mengembalikan kekuasaan Thaksin.”

Dengan pengalaman Hun Sen di belakangnya, Thaksin dan pendukung-pendukungnya tentu cukup optimis dengan harapan mereka.

Kekuatan pendukung Thaksin di Thailand sebenarnya diperkirakan hanya 10 ribu hingga 30 ribu orang. Di antara mereka hanya seribuan orang yang diperkirakan bisa direkrut sebagai tentara yang cukup profesional. Selain itu kekuatan Thaksin lainnya yang bisa dimobilisasi hanya sekitar 300 orang tentara penjaga perbatasan dan beberapa ribu personil kepolisian di wilayah pendukung Thaksi. Namun itu pun masih jauh di bawah kekuatan militer Thailand yang anti-Thaksin. Dalam aksi-aksi demonstrasi anti Thaksin tahun 2006 maupun anti Yingluck Shinawatra tahun ini, polisi Thailand menunjukkan ketidak-profesionalannya.

Namun ancaman serius Thailand justru berasal dari pasukan Kamboja yang menyamar. Sebagaimana model Syria, dimana ribuan militan asing yang diorganisir oleh kekuatan-kekuatan asing berusaha menjungkalkan pemerintahan yang syah.



REF:
"Thai regime and connections to Cambodia"; Tony Cartalucci; Veterans Today; 7 Desember 2013

No comments: