Monday, 9 October 2017

KOMPARASI ORDE BARU

by Zeng Wei Jian

Dahulu, mudah bagi kita mengecam Pa Harto, TNI dan Orde Baru. Sebabnya, komparasi yang di-inserted ke dalam otak kita adalah angan-angan. Pelakunya, ya liberal, komunis, pluralis, CIA, komprador Beijing dan sebagainya.
Orde Baru dibandingkan dengan surga dan utopia komunis, di mana masyarakat adil dan beradab, tanpa perang, gemah ripah loh jinawi, ngga ada orang miskin sekaligus ngga ada yang kaya. Pa Harto dibandingkan dengan "benevolent monarch", seorang penguasa bijak yang dikirim oleh Dewata. Ya pasti kalah Pa Harto dan Orde Baru. Sayangnya, itu semua utopia, angan-angan, hayali, isapan jempol. Mestinya, saat itu, Orde Baru dikomparasi dengan Orde Lama. Pa Harto dan Bung Karno. Baru, objektif dan based on fact.

Sekarang, banyak ex mahasiswa 98 mengalami "understanding shifting". Dulu mereka terlibat gerakan reformasi. Anti Orde Baru. Jadi pion CIA, New Left, Progresif dan tokoh-tokoh nasional haus kekuasaan.
Dulu itu, bahan bacaan kita kurang. Usia muda. Darah masih panas. Buktinya, jerawatan. Pengalaman terbatas. Jarang mikir. Cuma tau seruan Wiji Tukul, "Hanya ada satu kata: Lawan...!!" Gampang dihasut, ditipu, dibohongin. Plus, diimposed slogan: "Anti Orba itu keren". Makin menjadi-jadi keblingernya kita. To be progressive is cool. Makanya di antara kita ada yang demen pake T-Shirt Che Guevara. Ngga taunya, Che Guevara pernah membunuh anak usia 14 tahun di Penjara La Cabana.
In total, di penjara itu, Che Guevara diperkirakan mengeksekusi sekitar 500 orang tahanan tanpa pengadilan.
Orang tua mana yang ngga elus dada bila anaknya mengidolakan Che Guevara. Alih-alih seorang freedom fighter, ternyata Che Guevara adalah penyeru kebencian. Dia pernah bilang, "Hatred as an element of struggle; unbending hatred for the enemy, which pushes a human being beyond his natural limitations, making him into an effective, violent, selective, and cold-blooded killing machine. This is what our soldiers must become…”
Nah, seperti itu tuh dulunya aktifis 98. Sekarang, sebagian dari kita mulai dewasa. Ada yang jadi anggota DPR, Gubernur, Walikota, Dirjen, Komisaris, buzzer atau dosen. Ada yang tetap jadi aktifis NGO. Sebagian lagi, balik arah. Jadi Pro Orde Baru. Mereka nyekar dan minta maaf ke makam Pa Harto.
Sekarang, bacaan kita nyaris komplit. Hampir matang. Pengetahuan sudah luas. Tambah bijak. Sekarang, komparasi nyata bisa dilakukan. Komunis, Progresif, Sosialist, ngga bisa lagi memakai utopi. Masa Orde Baru bisa diperbandingkan dengan rezim-rezim sesudahnya.
Era Habibie, Timor Timur lepas. Perang rasial pecah di Ambon. Zaman Gus Dur, ada jargon "Gitu aza repot". Seakan negara ngga mau puyenk. BUMN dijual dan swastanisasi terjadi saat Bu Mega berkuasa. Pas Pa SBY jadi presiden, taktik make-over, polesan, pencitraan mulai dilakukan. Zaman sekarang: No Comment deh. Takut dianggap makar.
Bagi saya, ada satu hal yang paling membedakan antara Era Pa Harto dan Masa Reformasi.
Dulu saat Pa Harto berkuasa, tidak ada satu pun taipan yang berani sama Pa Harto. Wibawa presiden dan seni bernegara (statecraft) masih ada. Pasca Pa Harto tumbang, negeri ini dikuasai konglomerat. Negara dikoptasi swasta. Dan itu, bagi saya, IRONIC.
Tidak ada yang sempurna. Orde Baru dan Pa Harto juga begitu. Tapi bila dibandingkan dengan rezim-rezim sebelum dan sesudahnya, overall Pa Harto dan Orde Baru masih lebih baik.
THE END

No comments: