Sunday, 19 June 2016

Kemenangan Iran Masih Jauh dari Kenyataan

Indonesian Free Press -- Sebuah bom meledak di sebuah kantor Bank Blom di Beirut minggu lalu. Tidak ada korban jiwa dalam serangan terhadap salah satu bank besar di Lebanon itu, namun para pengamat politik langsung mengait-kaitkannya dengan konflik antara perbankan Lebanon dengan kelompok Hizbollah setelah bank sentral Lebanon membekukan rekening-rekening milik Hizbollah dan menolak setiap transaksi keuangan dengan Hizbollah dan anggota maupun simpatisannya, karena tekanan Amerika.

Semua bank yang melanggar ketentuan itu akan kehilangan hak melakukan transaksi dengan mata uang dollar. Karena 65 persen deposito dalam bentuk dollar dan 70 persen transaksi keuangan di Lebanon juga menggunakan dollar, maka melanggar ketentuan itu berarti menutup bisnis perbankan Lebanon.

Otoritas keuangan Amerika telah menetapkan 99 rekening milik Hezbollah dan entitas-entitas terkaitnya, termasuk yayasan-yayasannya, sekolah-sekolah, perusahaan dan media massa. Bahkan anggota parlemen dan dua orang menteri asal Hezbollah yang meraih kedudukannya melalui pemilu yang demokratis, tidak bisa lagi memiliki rekening bank.
Sementara itu, pemerintah Iran baru saja mengajukan protes kerasnya setelah pemerintah Amerika menyita asset Iran senilai $2 miliar (sekitar Rp 25 triliun), yang sebelumnya telah dibekukan karena sanksi. Penyitaan ini karena tuduhan Iran terlibat dalam serangan bom Beirut tahun 1983 yang menewaskan 400 tentara Amerika.

Tidak heran jika wartawan senior Robert Fisk menulis artikel menarik di The INdependent, 15 Juni lalu berjudul "Why our nuclear deal with Iran is turning to dust", menyoroti implementasi perundingan nuklir Iran yang masih jauh dari kenyataan.

"Kawasan Timur Tengah dipenuhi dengan kesempatan-kesempatan yang hilang begitu saja, impian-impian yang berubah menjadi abu. Kesepakatan program nuklir Iran pun kini bergerak ke arah yang sama. Presiden Hassan Rohani, pahlawan perjanjian nuklir dan dianggap sebagai 'anak baik' oleh Amerika, bahkan mendapat dukungan pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, ketika menandatangani perjanjian nuklir dengan enam negara besar dunia tahun lalu, namun kini ia mulai tampak seperti seorang pecundang.

Maka terbuktilah sudah perkataan Ali Khamenei yang diaminkan oleh kalangan konservatif, bahkan Amerika tidak bisa dipercaya.

Saat Rouhani dan jajaran kebinetnya tengah berunding keras, Khamenei telah mengingatkan bahwa ia tidak percaya dengan Amerika, namun juga tidak bisa mencegah Rouhani untuk melakukan perundingan. Bahkan, sampai beberapa minggu lalu Khamenei dan kalangan konservatif lainnya masih terlibat 'perang pernyataan' dengan Rouhani dan mantan presiden Rafsanjani mentor Rouhani, tentang arah kebijakan luar negeri Iran. Sementara Rouhani dan Rafsanjani berkata 'masa depan ada di meja perundingan', Khamenei berkata 'masa depan ada di rudal dan senjata'.

Sanksi-sanksi ekonomi kepada Iran telah mulai dicabut, namun investasi belum juga masuk ke Iran, bahkan transaksi perbankan masih dilarang Amerika sebagaimana dirasakan Hizbollah sekutu Iran di Lebanon. Perbankan internasional, terutama Eropa dan Amerika, terlalu takut pada sanksi Amerika jika berani menjalin bisnis dengan Iran.

Pengalaman Iran dikadali Amerika juga pernah dirasakan Mohamed Khatami, yang terpilih sebagai presiden Iran tahun 1997. Ia menginginkan negara Iran yang dipenuhi semangat “civil society”, atau mendekati negara sekuler. Ini tentu saja disambut gembira oleh Amerika yang tetap memperlakukan Khatami kurang baik sehingga ia mundur dengan memalukan dan digantikan oleh Ahmadinejad yang lebih 'garang' dan anti-Amerika.

Nasib yang sama tampaknya akan dialami Rouhani dalam pemilihan presiden tahun depan, karena ia melupakan pesan Ali Khamenei untuk tidak terlalu percaya pada Amerika. Apalagi setelah Ahmadinejad dikabarkan mulai muncul ke depan publik mengisyaratkan akan kembali bersaing dalam pilpres tahun depan.(ca)

No comments: