Thursday, 2 February 2017

Pelajaran dari Rusia (3)

Indonesian Free Press -- Jika saja rakyat Rusia kala itu tahu bahwa sosialisme Mensheviki dan komunisme Bolsheviki adalah satu komplotan antek zionis untuk menundukkan Rusia dan menjajahnya, mereka tentu sudah menolak kedua partai itu dan memilih mendukung rajanya sampai mati. Namun, bahkan di jaman modern seperti sekarang saja masih banyak orang-orang idiot yang menjadi pendukung penguasa jongos aseng asing. Apalagi kala itu ketika informasi sangat terbatas dan komunikasi berjalan lambat.

Tidak seperti komunisme Bolshevik yang terang-terangan anti-Tuhan dan agama, anti-nasionalisme (lebih suka internasionalisme), dan membenci tatanan sosial dan nilai-nilai tradisi dan menanamkan benih-benih perpecahan dengan isyu pertentangan kelas, sosialisme Mensheviki berpura-pura menghormati agama, menghormati persatuan dan kebhinnekaan. Maka ketika Tsar Nicholas II dipaksa mundur dari kekusaan bulan Maret 1917, rakyat bisa menerima regim Mensheviki.

Apalagi bila melihat 'statuta' Pemerintahan Transisi (Regim Mensheviki) yang menyebutkan bahwa tujuan pemerintahan ini adalah menyelenggarakan pemilu demi terbentuknya pemerintah, parlemen dan konstitusi yang demokratis, menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat dan berkumpul/berorganisasi.

Namun semuanya itu hanya kedok belaka karena pada dasarnya mereka adalah 'komunis'. Mereka berkuasa hanya untuk mempersiapkan komunisme matang dan siap untuk kembali merebut kekuasaan setelah gagal pada tahun 1905. Dan misi ini sukses ketika komunis sukses melancarkan Revolusi Bolshevik pada bulan Oktober 1917. Kemudian, setelah misinya selesai, pemimpin Mensheviki sekaligus Perdana Menteri Pemerintahan Transisi, Alexander Kerensky, melarikan diri ke Amerika.

Pemimpin sosialis yang anti-kapitalis itu justru meninggalkan negaranya untuk tinggal di Amerika hingga meninggalnya. Hal yang sama ditiru oleh Leon Trotsky, pemimpin komunis Bolsheviki ketika tersingkir dari kekuasaan oleh pesaingnya, Joseph Stalin. Trotsky, manusia yang berlumuran darah rakyat Rusia yang dituduhnya antek kapitalis itu bermaksud tinggal di negara biang kapitalisme. Namun, para kapitalis Amerika itu khawatir, keberadaan Trotsky akan membuka kedok komunisme sebagai alat kapitalis yahudi. Maka Trotsky ditolak masuk Amerika dan harus bertahan di Mexico. Kemudian, karena sudah tidak dibutuhkan lagi dan dikhawatirkan bisa menjadi 'whistle blower' kejahatan komunisme dan persengkongkolannya dengan kapitalis yahudi, Trotsky pun dibunuh.

Sampai di sini para liberal idiot, jokower-ahoker, termasuk sapi marif yang simpati pada komunisme mungkin bingung dengan maksud tulisan ini. Apa kaitannya dengan kondisi INdonesia saat ini? Mereka bingung karena pengetahuan mereka memang masih nanggung, meski sudah bergelar profesor doktor sekalipun.

Baiklah otong! Sori, maksudnya o'on. (Setiap nyebut jokower-ahoker kok selalu teringat pada mantan rekan kerja, seorang jokower-ahoker yang suka bohong dan ngemplang gaji karyawan). PKI dan komunisme mungkin sudah mati, khususnya di Indonesia sejak tahun 1960-an setelah ditumpas oleh TNI dan ummat Muslim serta dilarang oleh TAP MPR. Namun semangat mereka tidak akan pernah mati, sebagaimana setan dan iblis tidak mati sampai hari kiamat. Karena, seperti sudah disampaikan, komunisme hanyalah alat kapitalis yahudi penyembah setan. Pada dasarnya komunisme adalah semangat anti-Tuhan dan anti-agama serta perbudakan manusia. Kita lihat saja saat ini, semangat anti-ulama dan anti-Islam begitu gencar dilancarkan musuh-musuh agama.

Seperti INdonesia saat ini, terjadi polarisasi di tengah masyarakat Rusia antara dua kubu. Bila di Indonesia polarnya adalah kelompok Islam-Nasionalis melawan jokower-ahoker-liberal-komunis, di Rusia kala itu polarnya adalah antara kelompok Kristen-Nasionalis melawan kubu komunis-sosialis-liberal. Kubu pro-komunis ini diam-diam mendapat bantuan finansial dan material yang tidak terhingga dari para kapitalis yahudi dunia, sama seperti kubu jokower-ahoker yang mendapat dukungan finansial besar-besaran dari para kapitalis aseng-asing.

Situasinya sama seperti di Indonesia pra-G30S/PKI atau kondisi Indonesia saat ini, situasinya adalah 'point of no return', tidak ada jalan lain untuk menghindar karena sudah tidak ada lagi yang bisa dikompromikan. Pilihan kedua kubu adalah memukul atau dipukul. Didahului atau mendahului.(ca)


Bersambung.

1 comment:

Kasamago said...

Langkah Thailand mungkin perlu dicontoh, atas restu Raja Bhumibol, militer dan rakyat Thailand bergerak mengambil alih kekuasaan politik..