Thursday, 6 April 2017

Valid, Senjata Kimia di Suriah Milik Teroris Pemberontak

Indonesian Free Press -- Suriah sudah tidak memiliki senjata kimia setelah menyerahkan semua senjata kimianya kepada PBB empat tahun lalu. Maka, tuduhan bahwa Suriah menjadi pelaku serangan senjata kimia pada saat regim negara itu tengah berada di atas angin, sangat jauh dari realitas.

Seperti dilaporkan situs Friends of Syria, Rabu (5 April), Jubir Kemenhan Rusia Mayjend Igor Konashenkov mengkonfirmasi bahwa insiden serangan senjata kimia di Idlib, Selasa (4 April), sama sekali bukan sebuah serangan senjata kimia. Yang terjadi adalah gudang senjata milik para pemberontak teroris yang berisi senjata kimia di Khan Sheikhoun, meledak akibat serangan udara Suriah.

Menurut Konashenkov, para teroris bahkan sering mengiriman senjata-senjata kimia mereka ke Irak. Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh otoritas Irak. Demikian Friends of Syria menyebutkan.


"Ini tentu saja sejalan dengan pernyataan pemerintah Suriah, yang menegaskan bahwa Suriah tidak lagi memiliki senjata kimia, fakta yang sudah dikonfirmasi oleh Rusia dan Amerika pada tahun 2013," tulis Friends of Syria.

Sebagaimana diketahui, atas inisiatif Rusia demi mencegah intervensi Amerika paska serangan senjata kimia di Ghouta tahun 2013, pemerintah Suriah menyerahkan semua senjata kimia miliknya kepada PBB. Di sisi lain, kepemilikan senjata kimia oleh para pemberontak-teroris sudah menjadi pengetahuan umum. Namun tidak pernah ada tindakan apapun dari masyarakat internasional, terutama negara-negara pendukung pemberontakan Suriah.

Pernyataan Rusia dan fakta-fakta tersebut tentu saja menohok Menlu Amerika Rex Tillerson, yang telah menuduh Rusia dan  Iran bertanggungjawab secara moral atas insiden di Idlib tersebut.

"Rusia dan Iran tidak melakukan kesalahan apapun atas insiden ini, dan Suriah juga tidak bisa disalahkan berdasarkan fakta bahwa para teroris telah menimbun senjata kimia secara illegal," tulis Friends of Syria.

Media-media internasional, mengutip keterangan lembaga pengamat konflik Suriah yang berbasis di Inggris, Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), menyebut jumlah korban tewas akibat insiden itu mencapai 58 orang. Sebagian di antara korban adalah anak-anak. Tanpa penyelidikan terlebih dahulu, SOHR juga menuduh Suriah dan Rusia bertanggungjawab atas 'serangan kimia' tersebut.

SHOR dijalankan sendirian oleh Rami Abdurrahman, warga kelahiran Suriah yang kini menetap di Inggris. Meski demikian, secara ajaib SOHR bisa mendapatkan atau memproduksi informasi-informasi luas dan mendetil tentang konflik Suriah.

"Tidak pernah kembali ke negara asalnya selama lebih daria 15 tahun, hanya menambah kecurigaan bahwa Abdulrahman sebenarnya bekerja untuk ingeligen Inggris dan Amerika sebagai agen disinformasi," tulis situs The Truthseeker.

"Hal itu tidak bisa menghentikannya untuk menyebarkan cerita-cerita tentang bagaimana Suriah membom upacara pemakaman anak kecil yang menjadi korban serangan udara. Atau tentang bagaimana serangan udara Rusia di Kashan di timur Suriah menewaskan lebih dari 60 warga sipil," tambah The Truthseeker.

"Laporan-laporan umum dari Abdulrahman adalah bagaimana mereka secara konsisten menggambarkan Suriah atau Rusia membunuhi warga sipil, khususnya anak-anak, tanpa menyinggung kekejaman militan dukungan barat," tambah laporang The Truthseeker.(ca)

No comments: