Bayangkan ada seorang pemilik percetakan kecil yang sering mencetak uang mainan yang ia jual ke pedagang mainan seharga Rp 1 per-lembar.
Tiba-tiba ia mendapat orderan dari Bank Indonesia untuk mencetak uang sungguhan dengan nominal Rp 100.000 sebanyak 10 juta lembar, atau setara dengan Rp 1 triliun. Untuk setiap lembar uang yang dicetak, ia diberi upah sebesar 1% dari nilai nominalnya, atau senilai Rp 1.000. Dengan demikian maka ia mendapatkan upah sebesar Rp 10 miliar. Pengusaha kecil itupun jatuh pingsan melihat keuntungan yang diperolehnya.
Jika selama ini ia sudah mendapatkan untung dari uang mainan yang ia cetak, yang ongkos cetaknya tidak berbeda jauh dengan ongkos cetak uang sungguhan, maka dengan "proyek" baru ini keuntungannya naik berkali-kali lipat. Ia menjadi kaya raya hanya dengan satu kali proyek. Bisa dibayangkan jika ia mendapat kontrak seumur hidup dengan nilai "proyek" sebesar Rp 1.000 triliun per-tahun. Dengan nilai proyek sebesar itu ia akan mendapatkan "upah" sebesar Rp 10 triliun per-tahun.
Sekarang mari kita kaji mekanisme kerja Bank Indonesia yang secara prinsip tidak berbeda jauh dengan tukang cetak di atas. Bank Indonesia mendapatkan wewenang untuk mencetak uang dan menentukan nilainya. Uang itu kemudian didistribusikan kepada bank-bank dan juga pemerintah yang membutuhkannya untuk membiayai belanja negara. Untuk setiap uang yang "dipinjamkan" itu ( karena semua uang kartal merupakan dokumen negara yang dimiliki oleh Bank Indonesia) bank-bank dan pemerintah harus menanggung bunganya dengan prosentase tertentu.
Saya tidak tahu berapa besar uang kartal yang dicetak Bank Indonesia setiap tahun dan tingkat bunga yang dibebankan kepada bank-bank dan pemerintah. Namun saya percaya besarnya lebih dari Rp 1.000 triliun per-tahun dan tingkat bunganya lebih dari 1% per-tahun. Singkat kata, "upah" yang diterima Bank Indonesia dari jasa pencetakan uang itu saja lebih dari Rp 10 triliun per-tahun. Lebih besar dari perusahaan-perusahaan raksasa Indonesia. Itu belum termasuk pendapatan yang diperoleh Bank Indonesia dari jasa-jasa perbankan lainnya.
Lalu kemana uang-uang itu?
Itulah masalahnya, Bank Indonesia adalah lembaga independen yang tidak boleh mendapat campur tangan lembaga-lembaga lain, bahkan termasuk presiden dan DPR yang dipilih rakyat. Itulah sebabnya suku bunga perbankan di Indonesia relatif tinggi dan tidak ada satupun yang bisa menurunkannya, karena bank-bank yang dipimpin Bank Indonesia itu telah merasa nyaman dengan pendapatan tinggi bunga perbankan itu. Di sisi lain, Bank Indonesia pun tidak merasa berkewajiban melaporkan keuangannya kepada rakyat Indonesia. Tidak pernah ada laporan audit terhadap Bank Indonesia.
Maka dari itu UU Bank Indonesia harus direformasi dengan mencantumkan kewajiban dilakukan audit independen terhadap Bank Indonesia setiap tahunnya serta ketentuan pembagian keuntungan yang diperoleh kepada rakyat melalui pemerintah atau lembaga negara lain.
Setuju?
3 comments:
Setuju bang adhi.... Tp selama ini tak ada satupun televisi ataupun media nasional yang berani memberitakan tenntang hal itu. Tanya kenapa ?
Amat sangat setuju sekali!
apakah benar ada berita seperti itu...?? seharusnya BI melaksanakan tugasnya sesuai dengan UU BI yang konon sudah mengatur semua tugas dan pertanggung jawaban BI..
kalau benar berita ini bhw BI telah melakukan seperti diatas... Maka patutlah Pejabat BI tersebut dilaporkan ke KPK...karena sudah menyalahi uu yang mengaturnya...?
kalau ada sumber yg bisa dipercaya.. layaklah Mas Adhi melaporkan langsung kepada yang berwewenang...karena ini bisa jadi sudah merupakan pelanggaran kelas berat...??
Tugas pokok BI dan aturan pengawasannya sudah jelas..
jangan sampai ada permainan subversif dinegara ini untuk mengacaukan kondisi ekonomi dan keuangan negara NKRI ini...
Post a Comment