Saturday, 31 August 2013

ARSITEK PERANG RAGUKAN HASIL SERANGAN MILITER ATAS SYRIA

Tampaknya sudah tidak relavan lagi membahas kebenaran isu penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Syria atau jadi tidaknya serangan militer Amerika atas Syria. Meski sebagian besar rakyat Amerika telah bersikap realistis dengan menolak serangan militer atas Syria (berbagai survei menunjukkan angka dukungan atas serangan militer kurang dari 10%, terburuk di antara semua peperangan yang dilakukan Amerika), dan beberapa negara sekutu telah menyatakan penolakannya (Italia, Perancis, Mesir), genderang perang sudah ditabuh Amerika dan Inggris.

Berbagai "pilihan" perang tersedia bagi Amerika, mulai dari serangan "hit and run" dengan mengandalkan rudal-rudal jelajah yang ditembakkan ratusan kilometer dari wilayah Syria, hingga penerjunan besar-besaran pasukan darat. Semuanya dengan konsekuensi sendiri-sendiri. Jika yang pertama hanya menimbulkan kerusakan terbatas dan mengurangi kekuatan militer Syria yang akan segera pulih kembali setelah bantuan dari sekutu-sekutu Syria tiba, pilihan terakhir memberi peluang kemenangan militer yang lebih besar namun sekaligus juga ancaman kekalahan yang sangat menyakitkan Amerika daripada  kekalahan Perang Irak.

Di Irak Amerika sudah kehilangan segalanya, ribuan tentara yang tewas dan cacat permanen dan triliunan dolar uang yang dihabiskan. Namun hasilnya Irak kini justru muncul sebagai negara sekutu Iran, musuh utama Amerika dan Israel. Padahal ketika dipimpin Saddam Hussein Irak adalah penghalang utama pengaruh Iran di kawasan. Belajar dari kekalahan menyakitkan itulah hampir dipastikan Amerika akan memilih pilihan pertama, yaitu serangan terbatas mengandalkan rudal-rudal jelajah.

Lalu bagaimana efektifitas pilihan tersebut?

Para ahli strategi perang Amerika mempertanyakan efektitifas pilihan tersebut diterapkan terhadap Syria saat ini.

"Saya tidak pernah bermaksud analisis saya tentang serangan rudal jelajah dikampanyekan meski beberapa orang melakukannya," kata Chris Harmer, seorang analis militer senior yang terlibat dalam pembahasan rencana serangan tersebut kepada media "Foreign Policy’s The Cable".

Stategi "biaya murah" rancangan Harmer dkk. tersebut pertama kali muncul dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh lembaga kajian "Institute for the Study of War" bulan Juli lalu. Kajian ini tampak mendapat dukungan para politisi Amerika pendukung serangan terhadap Syria.

"Untuk analisis serius dari pilihan operasi militer terbatas yang realistis di Syria, saya sangat merekomendasikan sebuah studi baru yang dikeluarkan oleh Institute for the Study of War," kata Senator John McCain pada hari yang sama dipublikasikannya studi tersebut.

"Studi tersebut mengkonfirmasikan apa yang telah saya dan banyak kalangan lainnya usulkan sejak lama, yaitu serangan militer dari Amerika dan para sekutu untuk mengurangi secara signifikan kekuatan udara Syria dengan biaya yang relatif rendah, resiko kehilangan personil militer yang rendah, dan dalam waktu yang singkat," tambah McCain.

Menurut Harmer, para pejabat Amerika saat ini terlalu percaya diri dengan pilihan yang ditawarkannya itu dengan mengabaikan faktor lainnya yang sangat terkait dan membawa konsekuensi serius terhadap pilihan tersebut, yaitu faktor tujuan strategis.

"Tindakan taktis tanpa didukung tujuan strategis biasanya akan memberikan hasil yang sia-sia dan tidak produktif," katanya.

"Saya dengan jelas mengatakan inilah pilihan yang murah, namun masalah yang lebih besar adalah pilihan murah tidak menghasilkan apa-apa kecuali dikaitkan dengan pilihan dan tujuan strategis tertentu. Setiap perwira AL bisa meluncurkan 30 atau 40 rudal tomahawk. Bukan hal yang sulit. Kesulitannya adalah menjelaskan kepada para perencana strategis tentang bagaimana pilihan itu akan memberikan keuntungan bagi kepentingan Amerika," tambah Harmer.

Keskeptisan juga ditunjukkan oleh sejumlah perwira militer Amerika. Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan  Washington Post yang memuat wawancara dengan sejumlah perwira menengah hingga tinggi, para perwira yang sebagian besar disembunyikan identitasnya itu menyatakan kekhawatirannya atas prospek serangan militer Amerika terhadap Syria.

Letjend (Purn) Gregory S. Newbold, mantan Direktur Operasi Angkatan Perang Amerika sebelum Perang Irak menyebutkan adanya "penyederhanaan atas dampak mengkhawatirkan" dari aksi serangan militer atas Syria.

"Saya tidak yakin bahwa Presiden benar-benar telah mempertimbangkannya," kata seoarang perwira muda yang tahun lalu bertugas di Afghanistan.

Sembari menyebut serangan terhadap Syria sebagai "sangat berbahaya", seorang perwira lainnya mengatakan, "kita telah berperang selama 10 tahun di Afghanistan. Syria memiliki senjata yang lebih modern. Kita harus belajar kembali tentang perang konvensional.”

Meski belum menjadi keputusan yang bulat, pemerintah Amerika telah membuat persiapan serius atas pilihan serangan militer terbatas terhadap Syria. Dikabarkan Amerika telah menempatkan kapal perang kelima di sekitar perairan Syria. Namun sebaliknya, Rusia yang sejak awal telah memperingatkan Amerika untuk tidak melibatkan diri atas konflik di Syria, menjawab dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya ke kawasan yang sama. Beberapa bulan yang lalu, untuk mengantisipasi perkembangan di Syria, Rusia bahkan telah mengaktifkan kembali Armada Laut Mediterania sekaligus memperkuat pangkalan lautnya di Latakia, Syria.


REF:
"Architect’ of US ‘surgical strikes’ on Syria doubts his strategy will work"; Press TV; 28 Agustus 2013
"US military officers concerned over Syria attack"; Press TV; 30 Agustus 2013

No comments: