Tuesday, 13 August 2013

Indonesia Juara Dunia? Apa Iya?

Oleh: Ramadhan Nuharto Witjaksono


Dunia bulutangkis Indonesia sudah layaknya bersuka. Sesudah memperlihatkan grafik membaik sesudah pergantian ketua umum dan bergabungnya pasangan emas Ricky Subagja dan Rexy Mainaxy ke PBSI, kini dua–iya… DUA–gelar juara dunia diboyong kembali ke bumi pertiwi.

Penampilan juara All England Lilyana Natsir/Ahmad Tontowi dan M. Ahsan/Hendra Setiawan begitu luar biasa di final yang berlangsung barusan. Keduanya mengakhiri game pertama dengan 21-13, tapi menjadi mengkhawatirkan di game kedua. Butet/Owi kalah 21-16, sedangkan Ahsan/Hendra sempat tertinggal sebelum akhirnya sampai di 20-20. Dalam posisi unggul itu, bola Ahsan sempat keluar dan kedudukan jadi 21-21. Untung kemudian sebuah pengembalian menyentuh net dan gelar untuk Indonesia, hanya lewat 2 game.

Ini seperti perulangan prestasi di 2007, tahun terakhir Indonesia jadi juara dunia. Ketika itu, Hendra berpasangan dengan Markis Kido–yang dikalahkannya di babak sebelumnya dalam kejuaraan kali ini. Butet bertandem dengan Nova Widhianto yang sekarang badannya tampak gede, plus duduk di samping Richard Mainaxy sebagai asisten pelatih. Hendra dan Butet membawa Ahsan dan Owi merasakan aroma juara. Kelihatan–apalagi Hendra–begitu dewasa menyikapi hasil ini. Beda dengan Ahsan yang begitu terharu.

Seperti saya ceritakan sebelumnya, saya menonton final kejuaraan dunia ini awalnya via timeline Twitter. Ngenes. Hanya lihat twit demi twit berlalu. Lalu sesudah pertandingan ketiga, saya masuk ke Youtube, steaming di channel BWF untuk bisa menyaksikan perjuangan empat pahlawan Indonesia itu.

Teman saya nonton mengupdate status BBM-nya, dan justru yang ada malah pertanyaan:

“Indonesia juara apa?”

“Yang main siapa?”

“Itu pertandingan apa?”

“Pacarmu siapa?”

Oke. Yang terakhir ngawur.

Beberapa pengguna TV berbayar justru heran kok saya bisa nonton tentu saja karena mereka tahu kalau di kos saya tidak ada TV kabel, adanya TV sama kabel.

Saya langsung terbayang ke masa silam, waktu kejuaraan badminton bisa menghentikan denyut kegiatan bangsa ini. Saya ingat ketika di warung-warung orang berhenti dari aktivitasnya dan menyaksikan Hariyanto Arbi dengan smes 100 Watt-nya. Juga saat Ricky/Rexy meraih medali emas Olimpiade Altanta. Semua orang tahu ada kejuaraan bulutangkis, semua orang mengikuti. Televisi yang tidak butuh berbayar menayangkan pertandingan itu langsung.

Sekarang?

Bahkan nggak banyak yang tahu kalau ada kejuaraan dunia bulutangkis. Nggak banyak yang tahu kalau Si Denmark yang dikalahkan Ahsan/Hendra itu mengalahkan Angga/Ryan, wonderkid bulutangkis Indonesia. Nggak ada juga yang tahu kalau Lee Chong Wei–yang sekarang sedang El Classico sama Lin Dan–harus melalui 3 game ketat melawan Dionysius Hayom Rumbaka.

Indonesia juara, tapi nggak banyak orang yang bersorak di depan tivi, seperti era 10-20 tahun silam.

Bagi saya, begitu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, malah nanya sendiri: masihkah kita bangga pada orang yang membela nama merah putih?

Wahai stasiun televisi yang bisa diakses oleh rakyat kecil, tidak adakah sedikit perhatian untuk bisa memberi kesenangan pada rakyat kecil seperti dulu. Ketika semuanya akan bersorak begitu pengembalian Xu Chen tadi melebar? Yang akan gemes ketika Ahsan membuat match point?

Saya masih diberi sedikit kemampuan untuk akses Youtube untuk streaming dan yang lain untuk nonton di TV berbayar. Tapi rakyat lain? Mereka pasti akan bersuka jika nonton langsung, nggak lewat highlights!

Televisi kita menayangkan Arsenal vs Manchester City di Helsinki, televisi kita menyiarkan Dortmund vs Augsburg di Jerman sana, bahkan televisi kita menayangkan tetangga yang kita benci, Malaysia vs Barcelona, tapi TIDAK menayangkan merah putih yang dikerek naik di atas bendera CINA dan DENMARK?

Sebuah pertanyaan sederhana saja sih. Masihkah kita menyebut diri Indonesia?

Jawabannya dalam hidup kita masing-masing. Selamat untuk Butet, Owi, Ahsan, dan Hendra. Selamat datang kebangkitan bulutangkis Indonesia

No comments: