Cukup lama saya tidak lagi menulis tentang krisis politik di Mesir, menyangka krisis tersebut akan berakhir seperti prediksi saya yang ternyata salah: militer melakukan penindasan terhadap massa pendukung Presiden Moersi dan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Setelah beberapa aksi "pembantaian kecil-kecilan" terhadap para pendukung Moersi, ternyata militer Mesir masih menahan diri untuk tidak melakukan "pembantaian besar-besaran". Para jendral Mesir rupanya masih berhitung dengan resiko yang bakal mereka hadapi jika jadi melakukan aksi penindasan besar-besaran, yaitu cap sebagai "pembunuh massal" dan "penjahat kemanusiaan" yang bisa membawa konsekuensi pahit. Hal ini lah yang justru telah menjadi pertimbangan para pemimpin Ikhwanul Muslimin untuk tetap bertahan dengan tuntutannya meski ada ancaman militer, yaitu pengembalian kekuasaan Moersi.
Para jendral Mesir dan saya (blogger) ternyata "kecele", para pemimpin dan pengikut Ikhwanul Muslimin Mesir ternyata cukup "gila" untuk bertahan dengan tuntutan mereka. Maksud saya yang gila adalah para pengikut, karena para pemimpin Ikhwanul Muslimin sendiri enak-enak bersembunyi di rumah ketika para pengikutnya itu meregang nyawa ditembaki tentara setelah dengan "gila" dengan bersenjatakan pisau dan senapan angin berusaha menduduki markas pasukan khusus Pengawal Republik yang dijaga dengan senapan mesin, meriam dan tank. Se-"gila" kesetiaan mereka kepada Moersi yang jelas-jelas telah mengkhianati janjinya selama kampanye untuk membatalkan perjanjian damai dengan Israel dan membebaskan Palestina serta membawa kedamaian dan kestabilan politik di Mesir sementara yang dilakukannya justru melakukan provokasi perang sektarian.
Saya sejujurnya sempat bersimpati dengan apa yang dialami para pengikut Presiden Moersi yang tengah "menderita" oleh penindasan militer. Di jaman modern ini mana ada lagi tempat bagi regim militer, apalagi militer Mesir yang dikenal korup. Ditambah dengan adanya sikap resmi pemerintah Iran, negara yang saya hormati setelah Indonesia di luar para pemimpinnya yang korup, yang tetap mendukung pemerintahan Moersi plus satu analisis menarik dalam satu artikel di media Iran Press TV yang menyebutkan adanya "konspirasi" penghancuran gerakan Islam yang tengah terjadi di Timur Tengah dengan beberapa sasarannya adalah gerakan Ikwanul Muslimin dan Hizbollah (Hizbolah, organisasi politik yang menjadi anggota koalisi pemerintahan Lebanon, baru saja dimasukkan dalam kelompok teroris oleh Uni Eropa). Namun nurani saya tidak bisa dibohongi untuk menolak Moersi dan Ikhwanul Musliminnya.
Ikhwanul Muslimin telah "dibajak" oleh para oportunis yang menggunakan slogan Islam sebagai alat politik mereka, dan ketika kekuasaan telah diraih, Islam mereka buang ke tong sampah. Wartawan independen terkenal dari Voltaire Net Thierre Mayssen berhasil mengungkap bagaimana para zionis Amerika berhasil mengendalikan kelompok ini, salah satunya melalui tokoh wanita Ikhwanul Muslimin yang menjadi istri seorang anggota Congress Amerika aktifis zionisme. Moersi sendiri juga memiliki jejak agak kelam dalam hidupnya: selama bertahun-tahun belajar dan bekerja di Amerika, memungkinkan indoktrinasi zionis menghancurkan idealisme Islamnya.
Dan semua itu dikonfirmasi oleh sikap politik Moersi yang sangat pro-zionis dan kepentingan modal asing: mempertahankan perdamaian dengan Israel (inilah yang membuat Presiden Sadat dan Hoesni Mubarak dibenci oleh seluruh orang Arab hingga akhirnya Sadat dibunuh oleh tentaranya sendiri. Moersi tentu berhak mendapat perlakukan yang sama). Ia juga melakukan konspirasi dengan IMF untuk menjerumuskan Mesir dalam jebakan hutang berbunga yang dilarang Islam, meski Qatar telah menggelontorkan miliaran dolar kepadanya. Dan terakhir ia mencoba menyeret Mesir ke dalam konflik sentarian dengan pernyataan-pernyataannya yang anti-Shiah dan anti-Kristen Koptik.
Sekarang saya ingin memberikan prediksi saya tentang Mesir. Setelah terjadinya jalan buntu (militer Mesir telah cukup bersabar dengan berusaha mengadakan rekonsiliasi yang melibatkan diplomat-diplomat barat), militer pada akhirnya tetap akan melakukan tindakan tegas dengan membubarkan aksi-aksi demonstrasi pendukung Moersi dan Ikhwanul Muslimin demi memberi jalan bagi pemerintahan sementara untuk menjalankan tugasnya. Ini jika Ikhwanul Muslimin tidak mau bersikap realistis dengan menerima kompromi yang ditawarkan pemerintah sementara dengan bergabung dalam pemerintahan sementara sebagai "pengikut". (Tuntutan mengembalikan Moersi ke kursi kepresidenan sangat tidak realistis, kecuali para jendral Mesir mau menjatuhkan harga dirinya serendah-rendahnya). Setelah tindakan keras yang menelan puluhan nyawa itu para pemimpin IKhawnul Musliminpun harus mendekam dalam penjara dan IKhwanul Muslimin dibekukan. Mesir pun kembali menjadi negara totaliter selama waktu yang tidak diketahui.
Alternatifnya adalah Moersi dan pendukungnya bersikap realistis dan menerima kompromi. Pemilu digelar dan para pengikut Ikhwanul Muslimin hidup dalam realitas yang tidak sesuai dengan pandangan mereka selama ini, bahwa Mesir adalah negara plural yang melindungi semua rakyatnya.
No comments:
Post a Comment