Tentu saja para pengungsi pada akhirnya menolak kehadiran mereka, namun tidak memiliki kekuatan untuk mengusir mereka. Sebagian pengungsi Palestina bahkan bergabung dengan mereka karena alasan keuangan, atau karena mereka menyangka bergabung dengan pemenang dan tidak ingin ketinggalan dengan hasil kemenangan. Sebagian pengungsi lainnya menolak untuk melakukan perlawanan terhadap para "mujahidin" demi menjaga netralitas kamp pengungsi.
Tahun lalu para pengungsi Palestina di kamp Yarmouk, di bawah kepemimpinan pahlawan pejuang Palestina Ahmad Jibril, berusaha mengusir para "mujahidin" asing yang menduduki kamp mereka. Namun meski telah mendapat bantuan senjata dari militer Syria, upaya itu mengalami kegagalan dan bahkan memaksa pemimpin Palestina Ahmad Jibril melarikan diri. Jibril adalah sekutu lama pemerintah Syria.
Sebagian besar penghuni kamp yang tidak tahan dengan kondisi di kamp mereka, akhirnya memilih untuk kembali menjadi pengungsi yang berpindah ke Lebanon, Jordania dan Turki. Namun mereka terkejut karena kondisi mereka di kamp pengungsian yang baru jauh lebih buruk dibandingkan saat mereka tinggal di Syria.
Ada kekhawatiran bagi pengungsi Palestina yang masih tinggal, bahwa tentara Syria akhirnya menyerang kamp mereka untuk mengusir para pemberontak, meski hal itu bertentangan dengan perjanjian dengan PBB yang melarang pasukan pemerintah melakukan campur tangan di dalam kamp. Pada situasi ini para pengungsi akan menghadapi masalah serius yang sangat sulit. Berada di tengah pertempuran tentu mengandung resiko besar, namun meninggalkan kamp juga bukan hal mudah ketika penembak jitu dari kedua pihak mengincar mereka. Namun bagi para pendukung Ahmad Jibril di kamp Yarmouk, kedatangan pasukan Syria menjadi harapan besar mereka. Mereka pun sudah mulai mengorganisir diri kembali untuk memulai pertempuran melawan pemberontak. Mereka juga sudah mempersenjatai diri dengan senjata-senjata yang lebih berat dari RPG.
Namun sejauh ini peluang pembebasan kamp pengungsi oleh pasukan pemerintah, atau oleh Hizbollah, masih belum begitu jelas. Tentara Syria masih sibuk dengan perangnya sendiri, sementara Hizbollah tengah menghadapi situasi politik yang kurang menguntungkan setelah Uni Eropa memasukkan mereka dalam daftar teroris, akan berhitung ulang sebelum menerjunkan diri di medan perang yang tidak begitu mendesak dan tidak pasti.
Apa yang dialami para pengungsi itu di Syria mengembalikan mereka pada kondisi buruk lainnya yang tidak pernah mereka harapkan setelah tercabutnya mereka dari tanah airnya. Meski demikian harapan para pengungsi itu untuk kembali ke negeri nenek moyangnya tidak pernah mati.
REF:
"Vows of ‘Occupation Until Martyrdom’"; Franklin Lamb; CounterPunch; 11 Agustus 2013
1 comment:
Andai israel gak ad ditanah arab pasti gak ad cerita kejadian seperti ana..
Post a Comment