Sampai tahun 2011 para pengungsi Palestina yang berada di Syria adalah orang-orang yang beruntung dibanding saudara-saudara mereka yang tinggal tersebar di berbagai kamp pengungsi di negara-negara lainnya. Presiden Hafez al Assad dan penggantinya yang juga putra kandungnya, Bashar al Assad memperlakukan mereka sebagaimana adat orang Arab memperlakukan tamunya. Mereka diperlakukan sama seperti warga negara Syria sendiri yang mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan penuh, fasilitas tempat tinggal yang layak di apartemen susun, dan lebih dari itu mereka mendapatkan hak untuk memiliki pekerjaan tetap dan hal untuk memiliki properti sendiri.
Dan di Syria, tidak hanya ada pengungsi Palestina, tapi juga ratusan ribu pengungsi Irak yang juga menjadi tamu rakyat Syria setelah terusir akibat serangan Amerika dan kroni-kroninya atas negeri 1001 malam itu.
Saya pernah mendengar cerita tentang orang-orang Sampang Madura yang iri dengan fasilitas yang didapatkan para pengungsi Madura korban konflik Sampit. Padahal para pengungsi itu hanya mendapatkan makan minum seadanya dan tinggal di kemah-kemah sederhana. Tanpa bermaksud mengabaikan hak mereka untuk kembali ke tanah airnya sendiri, para pengungsi Palestina di Syria itu bahkan lebih beruntung dibandingkan puluhan juta rakyat Indonesia yang harus tinggal di gubuk-gubuk reyot dan di bawah jembatan.
Sebelum konflik terjadi, di Syria terdapat 10 kamp pengungsi resmi di bawah pengawasan PBB (UNWRA) ditambah 3 kamp lainnya yang tidak berada di bawah pengawasan PBB. Total pengungsi yang tinggal di kamp-kamp tersebut mencapai 230.000 jiwa. 8 dari kamp-kamp tersebut dihuni para pengungsi Palestina (dan keturunannya) korban pengusiran Israel tahun 1948 (Nakba atau hari bencana), dan 2 lainnya dihuni para pengungsi korban pengusiran Israel tahun 1967 (Naksa atau hari kemunduran)
Namun bagi sebagian pengungsi Palestina itu keberuntungan itu kini hanya tinggal kenangan. Saat ini 7 dari kamp-kamp di mana mereka tinggal itu kini dikuasai oleh para "mujahidin" yang menindas dan mengusir mereka seperti orang-orang Israel telah mengusir mereka.
Para "mujahidin" menjadikan kamp-kamp itu sebagai sasaran pendudukan karena berbagai pertimbangan, yang terutama adalah karena kamp-kamp itu merupakan zona aman dari campur tangan pasukan pemerintah. Selain itu para "mujahidin" bisa mendapatkan rekrutmen di antara pemuda Palestina yang terilusi dengan perjuangan jihad, yang ingin mendapatkan imbalan gaji menggiurkan atau terilusi oleh kemenangan pemberontak yang sudah di depan mata. Selain itu, dengan menduduki kamp-kamp itu mereka bisa membangun basis "perjuangan" secara gratis dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang dibangun pemerintah Syria dan PBB.
Kisah tentang pendudukan kamp-kamp pengungsi Palestina itu sama seperti yang terjadi pada kamp pengungsi Palestina di Nahr al Bared di dekat Tripoli, Lebanon. Yang terjadi di sana adalah setelah para "mujahidin" menduduki kamp, mereka memaksa 30.000 pengungsi Palestina untuk meninggalkan kamp dan menjadikan kamp tersebut sebagai basis "perjuangan" para teroris "mujahidin". Pemerintah Lebanon yang menyadari bahaya pun segera melakuan tindakan tegas. Kamp tersebut dikepung oleh tentara selama 75 hari. Dan setelah mengalami pemboman intensif, kamp Nahr al Bared pun hancur.
Apa yang dilakukan sheikh wahabi al Assir dan pengikut-pengikutnya dengan menduduki Masjid Bilal di Sidon, Lebanon, dan menjadikannya sebagai basis "perjuangan" adalah meniru kasus di Nahr al Bared. Dan seperti di Al Bared, semuanya berakhir setelah pemerintah melakukan tindakan tegas dengan merebut kembali tempat itu. Demikian pula dengan kamp-kamp pengungsi Palestina di Syria. Bedanya adalah pemerintah Syria kini terlalu sibuk memikirkan medan perang yang terlalu besar sehingga belum berfikir untuk membebaskan kamp-kamp tersebut.
"Awalnya jumlah mereka hanya beberapa orang. Kami mengetahui keberadaan mereka dari logat mereka yang asing dan dari pakaian mereka yang konservatif, hampir semuanya memelihara jenggot. Mereka tampak sopan dan akrab. Kemudian jumlah mereka lebih banyak lagi, diikuti oleh wanita dan anak-anak. Mereka awalnya tinggal mengelompok dan kemudian mulai menempati masjid-masjid yang awalnya disambut hangat oleh para pengurus masjid. Kemudian mereka mulai melakukan ibadah yang hanya dilakukan oleh kelompok mereka, dan pada beberapa kesempatan ajaran mereka yang sopan berubah menjadi keras. Selanjutnya mereka mulai mengomentari cara kami berpakaian dan kemudian mengajari kami cara berpakaian, melarang rokok, dan melarang wanita menghadiri rapat-rapat umum jika tidak ditemani," kata seorang wanita Palestina kepada Franklin Lamb dalam tulisannya yang dimuat di situs Counterpunch baru-baru ini.
"Kemudian senjata-senjata muncul dan sebagian besar dari mereka tampak ahli menggunakannya saat mereka melakukan latihan menembak, seperti di halaman sekolah dan taman kanak-kanak. Mereka tampak serius. Tidak ada kesempatan untuk berbicara apalagi berdebat dengan mereka. Apa yang tampaknya mereka inginkan adalah "mati syahid". Sebagian dari mereka bahkan menyangka mereka tengah berada di Palestina dan hendak membebaskan Al Quds (Jerussalem)!" tambah wanita tersebut.
(BERSAMBUNG)
REF:
"Vows of ‘Occupation Until Martyrdom’"; Franklin Lamb; Counter Punch; 11 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment