Indonesia sudah sedemikian rusak mental aparat pemerintahannya sehingga lembaga pemasyarakatan besar seperti LP Cipinang saja bisa menjadi pabrik ekstasi. Namun saya (blogger) tidak akan menulis tentang masalah itu, melainkan terorisme.
Ada banyak kejanggalan terkait dengan fenomena terorisme di Indonesia yang marak terjadi paska serangan WTC tahun 2001. Fenomena kejanggalan tersebut identik dengan yang terjadi di negara-negara lain di dunia yang juga ramai-ramai dihebohkan dengan isu terorisme.
Dalam konteks global kita melihat bahwa serangan-serangan teroris yang "katanya" ditujukan untuk menghancurkan kepentingan Amerika dan sekutu-sekutu "kafir"-nya itu justru terjadi di negara-negara Islam sendiri, termasuk Indonesia, dan tidak pernah terjadi di Amerika. Isu terorisme juga telah berhasil mengalihkan isu Palestina dari perhatian dunia, khususnya di negara-negara Islam yang secara moral menanggung tanggungjawab moral untuk menuntut penarikan Israel dari wilayah Palestina dan Arab yang diduduki, mengembalikan para pengungsi Palestina ke tempat asalnya, dan mengembalikan Jerussalem ke tangan Palestina.
Dari dua hal itu saja kita sebenarnya bisa menarik kesimpulan bahwa isu terorisme sengaja diciptakan demi mengalihkan isu Palestina sekaligus menghancurkan negara-negara Islam. Dan tidak ada satu pihak pun yang paling diuntungkan dengan hal itu melainkan Israel.
Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan keterkaitan Israel dan zionisme internasional dengan kelompok-kelompok teroris dan kelompok-kelompok agen-agen provokatornya (media massa, LSM dll). Contoh paling telak adalah jubir Al Qaida asal Amerika yang ternyata bernama asli Adam Pearlman yang tidak lain adalah cucu dari seorang pendiri organisasi zionis paling berpengaruh di dunia, Anti Defamation Leaque.
Saya tidak ingin mengulang fakta-fakta "perselingkuhan" antara zionisme internasional dengan terorisme, namun saya ingin memberikan sedikit analisa tentang isu terorisme ini di Indonesia.
Ketika pemerintah Amerika dan media massa Indonesia secara tiba-tiba membuat "koor" tentang keberadaan kelompok teroris di Indonesia, paska serangan WTC 2001, wakil presiden kita, Hamzah Haz, langsung membantahnya. Beliau selaku pejabat tinggi yang memiliki akses ke institusi inteligen, tidak salah, karena memang saat itu jaringan terorisme tersebut belum ada di Indonesia. Namun beliau tidak mengetahui bahwa saat itu jaringan tersebut mulai dibentuk. Dan tidak lama, serangan demi serangan teroris pun terjadi di Indonesia.
Pertanyaannya adalah: mengapa sebelum tahun 2001 di Indonesia tidak ada jaringan terorisme, namun setelah itu begitu banyak terdapat jaringan teroris yang eksis hingga saat ini. Pertanyaan lainnya adalah: mengapa meski pemerintah telah menggelontorkan triliunan rupiah uang rakyat hasil pinjaman asing untuk memberantas terorisme, termasuk mendirikan lembaga baru setingkat kementrian yang khusus ditugaskan untuk memberantas terorisme?
Bagi saya pertanyaan-pertanyaan tersebut sama bobotnya dengan pertanyaan: mengapa serangan-serangan terorisme anti-Amerika justru terjadi di negara-negara Islam.
Isu terorisme di Indonesia tidak hanya telah mengalihkan perhatian umat Islam Indonesia terhadap isu Palestina, namun juga telah menyandera bangsa Indonesia untuk tidak bisa bergerak maju. Perhatian dan sumber dana menjadi teralihkan ke masalah ini, sementara hal-hal yang lebih krusial seperti pengelolaan keuangan negara yang tidak efektif dan efisien, penguasaan asset-asset negara yang strategis oleh kepentingan asing dan kroni-kroni lokalnya, serta korupsi penyelenggaraan negara yang massif dan sistemasis, tidak tersentuh.
Setelah terjadi serangan teroris di sebuah vihara Budha baru-baru ini, Presiden SBY langsung memberikan komentarnya atas serangan tersebut. Namun seperti biasa, tidak ada tinda lanjut dan langkah nyata untuk memberantas terorisme dan mengungkap dalangnya. Dan sudah bisa diduga, serangan-serangan teroris tidak akan berhenti, dan negara harus terus-menerus mengeluarkan dana untuk "proyek terorisme".
Tidak hanya itu, menteri agama Suryadharma Ali begitu mudah "dikadali" para teroris, atau ia pura-pura tidak tahu modus dan motif sebenarnya dari serangan tersebut dengan langsung menuduh bahwa serangan tersebut ada kaitannya dengan konflik sektarian di Burma sementara polisi sendiri belum selesai melakukan penyidikan. Kalau motifnya adalah seperti dituduhkan menteri agama, mengapa para teroris tidak menyerang kantor perwakilan Myanmar, dan mengapa baru sekarang dilakukan ketika konflik di Myanmar sudah mereda dan kini tengah diupayakan penyelesaian politik?
Tepat sekali apa yang dikatakan Ketua Muhammadiyah Dien Syamsudin yang mengatakan serangan-serangan teroris akan terus terjadi, karena "dalang"nya tidak pernah diungkap.
No comments:
Post a Comment