Tuesday 5 December 2017

INI MASIH TENTANG APBD DKI YG DIKUNCI AHOK DG TRIPLE PASSWORD

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diketahui telah mengunci Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2017-2018, bahkan ada yang mengatakan sampai 2019. Ada rahasia apa dibalik penguncian APBD yang sudah bukan wewenangnya?

Sampai saat ini memang belum ada tanggapan jelas dan terbuka dari Gubernur dan Wagub Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno terkait penguncian APBD lewat triple password. Anies-Sandi hanya memberi pesan kepada publik bahwa program kerjanya sudah terakomodasi dalam RAPBD 2018 sebesar Rp 41 triliun.

Masalahnya triple password yang dipasang Ahok pada APBD 2018 sudah melampaui kewenangannya, bahkan melampaui moralnya. Itu sebabnya pengungkapan secara terbuka apa motif Ahok membuat triple password yang melampaui batas kewenangannya.


Termasuk yang perlu dibuat terang benderang adalah siapa vendor yang mengerjakan proyek e-budgeting DKI Jakarta. Anak bangsa kah? China kah? Rusia kah? atau negeri Paman Sam?

Beberapa realitas

Seperti diketahui, Ahok menerapkan sistem e-budgeting untuk 2017-2018, itu sebabnya dia memberlakukan triple password yang unik. Tapi ada keanehan di sini, mengapa password diberlakukan pada APBD 2018 di mana dirinya sudah tak punya wewenang lagi. Isu terbaru bahkan sampai 2019.

Berikut ini beberapa realitas seputar triple password yang misterius tersebut. Pertama, sistem e-budgeting dengan triple password itu dikatakan untuk pengamanan APBD agar jangan terlalu gambang diutak-atik untuk tujuan jahat atau korupsi.

Anehnya, mengapa yang menentukan untuk tujuan jahat atau korupsi itu Ahok yang jelas-jelas bermasalah dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Perkaranya menurut Badan Pemeriksa Keuangan telah berpotensi merugikan negara hingga Rp191 miliar.

Keanehan lainnya, dengan latar belakang masalah RS Sumber Waras tersebut, Ahok seolah-olah begitu yakin Gubernur-Wagub setelahnya akan mengutak-atik anggaran dengan tujuan jahat atau korupsi. Sesuatu yang menurut akal sehat sama sekali tidak wajar.

Bahkan Ahok juga punya persoalan transparansi pengelolaan dana tanggung jawab sosial korporat (corporates social responsibility–CSR) selama ia menjadi gubernur. Karena ada dana yang masuk melalui Ahok Center, apakah itu bagian dari magnitude dia sebagai gubernur atau sebagai pribadi.

Kalau dia merasa dana CSR itu masuk karena magnitude pribadi, maka hingga detik ini harusnya dana CSR itu masih masuk. Buktinya?

Itu sebabnya BPK harus melakukan audit investigasi khusus pengelolaan dana CSR dimasa Ahok memimpin. Fokus audit investigasi pada membuka kegelapan dana CSR itu selama ini, seperti berapa besar dana CSR itu diperoleh? Kemana saja dana itu digunakan? Berapa sisa dana CSR yang ada? Dan apa take and give dana CSR itu terhadap korporat?

Dari masalah di atas saja terlihat jelas, bahwa kepemimpinan Ahok tidak transparan dan tidak akuntabel. Bahkan para psikolog sering menggambarkan orang jahat yang seolah-olah menutupi kejahatannya dengan cara menuding selain dirinya sebagai penjahat.

Pernyataan Anies terkait ini sungguh sangat tidak diduga oleh Ahok, dirinya justru akan menerapkan standar yang lebih tinggi ketimbang utak-atik anggaran untuk tujuan jahat dan korupsi. Anies menyatakan akan menerapkan standar transparansi plus standar good corporate governance (CGC) yang tinggi.

Seperti diketahui saat Anies menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berhasil mengangkat peringkat GCG kementeriannya berdasarkan penilaian Ombudsman dari peringkat 22 melejit ke peringkat 9. Lompatan sangat tinggi dari zona merah ke zona hijau, sehingga sungguh tidak masuk akal Ahok yang hanya berada di peringkat 16 mengunci Anies dengan triple password di APBD 2018.

Kedua, sistem triple password itu sudah ada Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding—MoU) Pemprov DKI Jakarta, BPK dan KPK. Sesuatu yang tidak menakutkan buat Anies-Sandi yang terbiasa bekerja dengan standar gocernance tinggi.

Ketiga, semua sistem APBD sudah dikunci, sehingga jika ingin direvisi seperti menambah atau mengurangi harus menggunakan triple password dan saat menyusun anggaran harus seizin Pemprov, membuka APBD bareng dengan Bappeda. Ini juga bukan sesuatu yang sulit bagi Anies-Sandi.

Anehnya Ahok telah mengamankan para pejabat di bawahnya agar tidak bisa diganti 6 hingga 8 bulan mendatang. Sehingga justru sistem yang dibangun mengundang kecurigaan, mengapa Ahok bersikap terlalu jauh melampaui kewenangannya. Mulai dari menciptakan triple password hingga memastikan Anies-Sandi tak bisa mengganti stafnya 6-8 bulan ke depan.

Keempat, dengan adanya sistem e-budgeting yang terkunci, Ahok memastikan tidak semua pihak dapat mengutak-atik APBD DKI. Bisa saja Anies-Sandi punya ide menyelipkan anggaran yang lebih tajam dan lebih mulia dari Ahok. Buktinya Kemendikbud jauh lebih bersinar ditangani Anies, sementara serapan DKI Jakarta di tangan Ahok terburuk ketiga secara nasional.

Kelima, mereka yang diberikan password adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Sekretaris Daerah, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, asisten-asisten dan beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kendati begitu, akses mereka tetap terbatas pada bidang masing-masing.

Para pejabat itu saat membuat password adalah anak buah Ahok dan telah diamankan jabatannya 6 hingga 8 bulan ke depan, sekarang mau tidak mau harus tunduk atas perintas Anies-Sandi. Sehingga mission impossibel sesungguhnya menurut teori Ahok apa yang sebenarnya terjadi baru bisa dibuka 6 hingga 8 bulan mendatang.

Inilah perilaku baru seorang kepala daerah yang kekuasaannya sudah selesai sejak ia dipenjara, tapi wewenangnya masih akan diperpanjang hingga beberapa tahun ke depan.

Dari semua realitas di atas, terlihat jelas seolah-olah Ahok paling bersih, paling berwenang dan paling menentukan APBD DKI. Realitasnya dia sudah selesai, dengan segala kelemahan dan kelalaiannya.

Apa motif sebenarnya?

Prosedur APBD DKI lewat sistem e-budgeting tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 145/2013 tentang Penyusunan RAPBD/APBDP Melalui Electronic Budgeting. Pergub ditandatangani oleh Gubernur Joko Widodo pada saat menjabat.

Apa yang dilakukan Ahok sebenarnya hanya membuat penyusunan dan eksekusi APBD nantinya langsung online dengan BPK dan KPK. Sesuatu yang bagi Anies-Sandi tidak ada kekhawatiran apapun.

Bahkan Sandi berpendapat dirinya akan membuat standar yang lebih tinggi dari standar yang dibayangkan Ahok. “Prinsip kami begini, transparansi, good governance akan kami diteruskan, bahkan akan kami tingkatkan dari sekadar open data menjadi open governance.”

Clear sudah, bahwa e-budgeting memang sudah menjadi tuntutan zaman. Persoalannya menjadi abu-abu ketika Ahok yang sudah tak berkuasa masih ingin berkuasa mengontrol dan menentukan APBD 2018, bahkan sampai 2019. Tentu ada sesuatu yang ditutup-tutupi lewat deklarasi yang seolah-olah penggantinya dikhawatirkan tidak jujur dan punya bakat korupsi.

Itu sebabnya, misteri penerapan triple password yang sejatinya adalah baik, menjadi seolah-olah ada misteri yang disembunyikan. Karena itu misteri triple password itu harus dibuka dan kewenangannya diserahkan sepenuhnya kepada Anies-Sandi.

Termasuk kewenangan keduanya untuk mengubah triple password sehingga para stakeholder yang berwenang saja yang bisa mengeksekusinya. Anies-Sandi juga bukan orang bodoh, kurang pergaulan dan yes man, keduanya pasti punya akses untuk mengubah triple password yang dikendalikan Ahok tersebut.

Mari kita buka motif sesungguhnya penerapan triple password pada APBD DKI Jakarta di luar kewenangan sang mantan gubernur.***



Dicopas dari status Facebook Arinta P Lenggono

No comments: