Wednesday 20 December 2017

Pakar: Militer Saudi Kuat, Tapi Lemah Dibandingkan Iran

Indonesian Free Press -- Militer Saudi Arabia termasuk yang paling maju di dunia, namun para pakar menyebut negara itu bukan tandingan Iran.

"Faktanya adalah, Iran lebih baik dalam urusan militer dan tidak seorangpun jendral Iran yang mengkhawatirkan militer Saudi," kata Michael Knights, analis militer dari The Washington Institute yang banyak mengkaji masalah-masalah militer dan keamanan di Iraq, Iran, dan negara-negara Teluk, seperti ditulis Business Insider, 16 Desember.

Selama beberapa tahun terakhir Saudi Arabia sangat aktif melibatkan diri dalam berbagai petualangan di kawasan, mulai dari invasi Irak oleh koalisi Amerika tahun 2003, konflik Suriah, menginvasi Yaman, mengisolir Qatar, hingga memaksa Perdana Menteri Lebanon mundur dari jabatan. Semuanya dengan satu tujuan: menekan Iran ke pojokan. Namun, bahkan pengamat politik amatiran pun mengetahui bahwa Saudi Arabia bukan tandingan Iran dalam urusan militer dan perang.


Meski Saudi Arabia memiliki persenjataan paling maju di dunia dan menjadi negara pengimpor senjata terbesar di dunia, militer Saudi dianggap paling tidak efektif di dunia.

"Petualangan Saudi Arabia di Yaman, dimana pertempurannya melawan para pejuang Houthi yang telah berlangsung bertahun-tahun, tidak menampakkan hasil apapun, membuka kelemahan Saudi di hadapan lawannya seperti Iran," tulis Business INsider.

Menurut analisis tersebut, militer Saudi Arabia memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama adalah terlalu besar, dan yang kedua persenjataannya tidak didisain untuk perang proksi yang melibatkan Saudi Arabia di berbagai medan konflik.

Selama beberapa tahun terakhir, Saudi adalah salah satu negara terbesar dalam urusan pertahanan dan militer. Tahun lalu (2016) Saudi Arabia adalah negara urutan ke-empat dalam anggaran belanja pertahanannya, hanya di belakang Amerika, Cina dan Rusia. Menurut IHS Jane’s, majalah militer terkemuka asal Inggris, pada tahun 2014 Saudi Arabia adalah negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Sedangkan data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa Saudi Arabia adalah negara pengimpor senjata terbesar kedua pada tahun 2015 dan 2016. IMpor senjata negara ini meningkat lebih dari 200% sejak tahun 2012, menurut SIPRI.

Di sisi lain, senjata-senjata yang diimpor Saudi bukanlah senjata kacangan. 13% ekspor senjata Amerika sepenuhnya masuk ke Saudi. Sementara Inggris dan Spanyol menjadi negara pengekspor senjata kedua dan ketiga terbesar setelahnya.

Angkatan Udara Saudi dilengkapi dengan armada pesawat-pesawat paling canggih di dunia seperti Eurofighter Typhoons dan F-15 Eagles, yang merupakan pesawat tempur paling tangguh selama beberapa dekade. Saudis bahkan memiliki versi khusus yang lebih canggih untuk F-15-nya, yaitu F-15SA (Saudi Advanced), yang baru dikirim dari Amerika tahun ini.

Sementara kekuatan daratnya, Saudi memiliki senjata-senjata berat paling canggih yang dimiliki Amerika seperti tank M1A2 Abrams, kendaraan pengangkut lapis baja M2 Bradley Fighting Vehicles, helikopter serbu AH-64D Apache Longbow dan UH-60 Black Hawk. Adapun angkatan lautnya juga dilengkapi dengan kapal-kapal tercanggih. Kapal-kapal frigat terbaru Saudi, kelas Al Riyadh, adalah versi modifikasi dari kapal frigat Perancis kelas La Fayette.

Namun, meski dilengkapi dengan persenjataan paling hebat di dunia, Saudi terseok-seok di Yaman. Saudi bahkan tidak berani mengirim pasukan daratnya ke jantung kekuatan kelompok Houthi di Sanaa dan Saada. Meski tiga tahun lebih Saudi dan koalisi yang dipimpinnya menggempur Yaman, negara paling miskin di Timur Tengah, para pejuang Yaman tetap bertahan, dan bahkan menyerang balik.

Para pejuang Yaman bahkan senggup melancarkan serangan-serangan lintas perbatasan, menduduki pos-pos perbatasan Saudi, menembak jatuh pesawat-pesawat tempur Saudi, menenggelamkan kapal-kapal perang dan meluncurkan rudal-rudal jarak jauh hingga ke jantung Saudi, Riyadh.

Mengapa Saudi tidak mengirimkan pasukan daratnya ke Sanaa dan Saada untuk menghancurkan perlawanan para pejuang Yaman dan mengakhiri krisis, setelah bombardir besar-besaran yang dilakukan pesawat-pesawat pembom Saudi di Yaman? Ini menjadi pertanyaan menarik.

Selain harus menghadapi rakyat Yaman yang memiliki mental pejuang tinggi dan mengenal dengan baik medan pertempuran, Saudi menghadapi kendala-kendala teknis yang serius, di luar mental berperang tentara Saudi yang lemah dibandingkan rakyat dan para pejuang Yaman.

Menurut analisis Business Insider, Saudi 'hanya' membutuhkan sekitar 20.000 pasukan untuk menyerang dan menduduki Sanaa dan Saada dan Saudi memiliki jumlah pasukan yang cukup untuk melakukan itu. Namun hal itu tidak dilakukan karena para jendral Saudi menyadari, mereka memiliki kelemahan-kelemahan yang signifikan.

"Kelemahan-kelamahan itu mencakup kurangnya perlengkapan logistik serta pengalaman untuk melancarkan operasi militer besar-besaran. Mereka (Saudi) tidak memiliki pengalaman dalam operasi ekspedisi (berperang di negara lain yang jauh)," tulis Business Insider.

Karena tidak adanya pengalaman dan lemahnya mental tempur di hadapan pejuang-pejuang tangguh yang mengenal medan membuat para jendral Saudi menyadari, mengerahkan pasukan ke Yaman sama dengan bunuh diri.

Mengutip keterangan Bilal Saab, analis senior dari Defense and Security Program at the Middle East Institute, Business Insider menulis: "Saudi Arabia tidak akan mengirimkan pasukan besar ke Yaman karena jumlah korban mereka akan sangat besar dan yang paling serius hal itu akan menimbulkan kerusakan kolateral yang sangat hebat di Yaman," tulis Business Insider.

Menurut analisis tersebut, yang harus dilakukan Saudi adalah mengirim unit-unit kecil pasukan khusus untuk melatih dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok milisi pro-Saudi di Yaman, seperti halnya Iran melatih kelompok Hizbollah di Lebanon maupun milisi Shiah di Irak dan Suriah.

"Perang proksi di Yaman hanyalah satu contoh keberhasilan Iran memperkuat pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Hezbollah, sebagai contoh, lebih kuat dibandingkan tentara Lebanon. Hamas, yang terlibat konflik dengan Israel, secara terbuka juga didukung Iran, dan sejumlah besar milisi di Iraq mendapat pelatihan, pendanaan dan peralatan perang dari Iran.(ca)

No comments: