Indonesian Free Press -- Baru beberapa waktu yang lalu Swedia dinyatakan sebagai negara paling nyaman untuk ditinggali di dunia oleh PBB. Namun, kini situasinya sudah berkebalikan dan sulit untuk dikatakan. Faktanya adalah, sejumlah wilayah di pinggiran Stockholm seperti Hallunda-Norsborg, Tensta, Rinkeby dan Husby telah dikenal sebagai wilayah larangan untuk dikunjungi. Hal yang sama terjadi di beberapa kota besar lainnya. Dan, alih-alih memulihkan keamanan, polisi hanya bisa menyarankan warga untuk tidak keluar rumah dan berjalan sendirian.
Dan situasi semakin memburuk, karena penegakan hukum sepertinya tumpul ketika berkaitan dengan kasus-kasus kejahatan yang dilakukan para imigran gelap.
Seperti dilaporkan wartawan senior Paul Joseph Watson di Propagandamatrix, 19 Desember, lima orang imigran yang diketahui terlibat dalam pemerkosaan massal terhadap seorang wanita Swedia, bebas dari hukuman. Kelimanya dibebaskan Pengadilan Distrik Södertörn, Selasa (19 Desember), setelah hakim menyebut perkosaan itu adalah tindakan 'suka sama suka'.
Kondisi ini sangat bertolak belakang dari fakta yang terjadi dan membuat pengacara korban, Elisabeth Massi Fritz, marah dan menyebutnya sebagai 'memalukan sistem hukum Swedia'.
"Tidak boleh ada pelaku yang bebas dari hukuman atas kasus perkosaan massal seperti ini. Ini adalah kasus perkosaan paling keji yang pernah saya ketahui sebagai pengacara yang bekerja selama 26 tahun," kata Fritz seraya menyatakan tekadnya untuk tidak menyerah dan mengajukan banding.
Tragedi pemerkosaan itu terjadi di wilayah Fittja di pinggiran kota Stockholm, pertengahan tahun ini. Pelaku berjumlah 20 orang, namun hanya lima orang yang teridentifikasi dan diajukan ke pengadilan.
Menurut korban yang berumur 30 tahun, para imigran itu 'saling berdiskusi untuk menentukan siapa yang terlebih dahulu memperkosa', sebelum melakukan aksi kejinya di atas tangga.
“Yang lain berdiri menunggu giliran," kata wanita itu.
Para imigran itu membenturkan kepalanya ke tangga besi hingga terluka dan mengancamnya dengan pisau. Seluruh adegan terekam oleh kamera CCTV, namun hanya lima orang yang teridentifikasi.
Sementara itu Daily Mail melaporkan, 20 Desember, ratusan warga melakukan aksi protes di kota Malmo setelah terjadinya kasus-kasus perkosaan massal terhadap wanita-wanita lokal oleh para imigran di kota tersebut. Sementara pemerintah dan polisi dianggap tidak melakukan tindakan yang cukup.
"Tiga kasus perkosaan massal terjadi dalam sebulan di Malmo, Swedia dan polisi hanya menyarankan warga untuk tidak berjalan sendirian atau tinggal di rumah saja," tulis laporan itu.
Kasus terakhir di Malmo dialami oleh remaja 17 tahun, ketika ia diperkosa oleh sejumlah orang di taman bermain, Sabtu (16 Desember). Sehari kemudian polisi mengeluarkan peringatan kepada para wanita lokal untuk tidak keluar rumah sendirian.
Warga marah dengan respon polisi yang dianggap tidak patut dengan kasus tersebut, karena tugas polisilah menjaga keamanan warga.
Sebelumnya, pada 4 November seorang wanita muda di Sevegang, Malmo, juga mengalami nasib serupa, diperkosa oleh sekelompok imigran gelap. Seminggu kemudian, seorang wanita lainnya juga diperkosa beramai-ramai di kawasan, di pusat kota Malmo.
"Sebagai dampak langsung dari krisis pengungsi (imigran gelap) di Eropa, kerusakan-kerusakan sosial baru yang tidak menyenangkan kini mulai muncul. Secara khusus, masalah serius yang tampak adalah bahwa para pejabat cenderung menyalahkan korban dalam berbagai kasus perkosaan yang terjadi di Eropa akibat membanjirnya pengungsi. Sebagai contoh, walikota Cologne (Jerman) baru saja mengundang kecaman setelah menyarankan para wanita Jerman untuk menghindari serangan dengan menjaga jarak sedepa. Kemudian kasus lain yang terkenal ketika polisi menahan gadis Denmark berumur 17 tahun karena telah menyemprotkan merica ke muka penyerangnya," tulis Tyler Durden di situs Zero Hedge, lebih dari setahun lalu, tepatnya 13 Maret 2016.
Berbeda dengan negara-negara Eropa Timur yang mayoritas warganya beragama Katholik atau Kristen Orthodoks yang relatif masih menghormati para tokoh agama dan menjaga nilai-nilai agama, negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia yang mayoritas warganya beragama Kristen Protestan, jauh lebih liberal dan permisif terhadap arus imigrasi ilegal dari Afrika dan Timur Tengah. Dampaknya adalah kerusakan sosial dengan cepat terjadi di negara-negara yang sebelumnya dikenal aman dan damai itu. Dan ketika hal itu terjadi, tidak ada perlawanan dari warga untuk mengembalikan nilai-nilai sosial. Dalam banyak kasus, warga bahkan justru mengalami persekusi oleh para aktifis, media massa dan aparat hukum dengan berbagai tuduhan seperti intoleran.
Di negara-negara Eropa timur, arus imigrasi dianggap sebagai ancaman integritas bangsa. Banyak bahkan yang melihatnya sebagai konspirasi global untuk menghancurkan identitas negara-negara Eropa. Perdana Menteri Hongaria, Victor Orban dalam banyak kesempatan bahkan menyebutnya sebagai konspirasi jahat George Soros bersama para pejabat Uni Eropa.
Gereja Swedia Larang Penggunaan Kata 'Lord' dan 'He'
Dan inilah bentuk liberalisme yang kebablasan di Swedia yang harus dibayar mahal rakyat Swedia. Seperti dilaporkan The Telegraph, 24 November lalu, Gereja Swedia kini melarang penggunaan kata-kata yang dianggap 'bias jender' seperti 'Lord', 'Father' dan 'He'. Gereja menyarankan para pendeta untuk hanya menggunakan kata 'God' atau 'Tuhan' yang tidak menunjukkan gender tertentu yaitu pria.
Keputusan itu diambil setelah melalui pembahasan selama seminggu lebih oleh Gereja Swedia, demikian lapor The Telegraph.
Sebelumnya, secara tradisi para pendeta menyebut 'Father, Son and Holy Ghost' untuk menyebut Tuhan Trinitas.
"Kita berbicara tentang Jesus Christ, namun di beberapa tempat kita telah mengubah kata ‘God’ daripada ‘He’,” kata Jubir Gereja Swedia Sofija Pedersen Videke kepada The Telegraph.
“Kita memiliki beberapa pilihan doa yang lebih netral-gender daripada yang lainnya,” tambahnya.
Gereja Swedia saat ini dipimpin oleh pendeta wanita Archbishop Antje Jackelen, yang terpilih sebagai wanita pertama pemimpin gereja tertinggi Swedia pada tahun 2013.
Archbishop Jackelen membela keputusan tersebut dengan mengatakan kepada media setempat TT News: “Secara theologi, sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Tuhan berada di atas ketentuan gender, Tuhan bukanlah manusia.”
Namun hal itu tetap menjadi bahan kritikan sejumlah pendeta dan ahli agama. Christer Pahlmblad, profesor theologi di Lund University, mengatakan kepada koran Denmark Kristeligt Dagblad bahwa keputusan itu telah 'melecehkan doktrin trinitas dan 'community' dengan gereja-gereja Kristen lainnya.(ca)
No comments:
Post a Comment