Tuesday, 12 March 2013

Chavez, In Memoriam

Dina Y. Sulaeman*

Chavez adalah pemimpin yang fenomenal dan spirit perjuangannya melintasi batas agama dan bangsa. Saat dunia beramai-ramai melakukan pembunuhan karakter terhadap Ahmadinejad dan pemerintahan Islam Iran, yang tampil sebagai pembela terdepan justru seorang Nasrani dari Amerika Latin: Hugo Chavez. Saat pemimpin negara-negara Arab berbaik-baik dengan Israel, justru Chavez menolak dubes Israel. Menyusul operasi ‘Menuang Timah’ yang dilancarkan Israel di Gaza 2009, Chavez mengecam keras Israel dan menyebut bahwa holocaust tengah terjadi di Gaza. Dia pun mengusir Dubes Israel keluar dari Venezuela. Saat negara-negara Arab bergandengan tangan dengan AS, Prancis, dan Inggris untuk menyuplai dana dan senjata kepada Al Qaida (atau kelompok yang ‘sejenis’ Al Qaida) di Syria, Chavez justru mengirimkan minyak untuk membantu bangsa Syria yang sedang diblokade ekonominya.  Dengan blak-blakan Chavez menyindir Barat, “Mereka berkata, ‘kami akan beri sanksi pemerintah.. kami akan membekukan aset mereka.. kami akan memblokade mereka, mengebom mereka, demi membela rakyat.’ Wow, betapa sinisnya. Tapi itulah imperium, itulah kegilaan imperium.”

Sebagaimana juga pemimpin negara-negara yang berani melawan ‘imperium’, Chavez pun tak luput dari ancaman kudeta dan pembunuhan, serta pembunuhan karakter.  Kejadian tahun 2002 adalah salah satu upaya terbesar yang dilakukan imperium untuk menggulingkan Chavez, meski gagal. Saat itu, Chavez mengalami pembunuhan karakter yang dilakukan oleh media-media mainstream AS. Saat itu, sebagaimana juga sekarang, standar objektivitas jurnalistik telah dibuang lewat jendela. Chavez difitnah. Sementara lawannya, yang sebagian besar terdiri dari kaum oligarki Venezuela dan kalangan menengah ke atas, dicitrakan sebagai pejuang demokrasi. Pernyataan dari pihak oposisi dilaporkan sebagai fakta dan diperlakukan dengan penuh respek, sementara pernyataan dari pihak pemerintah dicemooh.

Mari kita lihat beberapa kutipan dari New York Times antara Maret-April 2002. Pada 26 Maret, New York Times menulis, “Para pegawai (pemerintahan) pemberontak telah memberi energi bagi gerakan oposisi yang terpecah-pecah namun terus tumbuh, yang menggunakan protes regular di jalanan untuk melemahkan Mr Chavez yang memiliki gaya aristokrat dan memiliki kebijakan sayap kiri yang telah menindas orang-orang yang jumlahnya terus bertambah. …”

New York Times juga mengutip pernyataan kelompok oposan, “Masalah ini hanya bisa dilakukan dengan pengunduran diri presiden..Ini adalah pilihan antara demokrasi dan kediktatoran.” Persis seperti citra yang dibangun media Barat tentang Iran: demokrasi melawan kediktatoran. Media barat juga mengabaikan fakta bahwa kemenangan Chavez dalam pemilu –sama seperti kemenangan Ahmadinejad– dia mendapatkan suara di atas 60% yang sebagian besar datang dari kawasan pinggiran dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.


Di Venezuela saat itu juga terjadi kekerasan. Ketika penembak gelap menembaki massa oposisi yang sedang demo di depan istana kepresidenan Miraflores, 19 orang yang tewas. Namun kesalahan dilemparkan kepada aparat keamanan pemerintah atau pendukung Chavez yang bersenjata.
Padahal kemudian terungkap data bahwa sejumlah yang tewas justru berasal dari kerumunan massa yang hadir untuk mendukung Chávez dan asal tembakan-tembakan saat itu berasal dari angkatan kepolisian Caracas, yang loyal pada Alfredo Peña, oposisi keras pada presiden Chavez; Pena mendapat dukungan dari AS. Dalam meliput kerusuhan ini, NY Times mewawancarai Peña, yang tentu saja, melemparkan semua kesalahan pada Chávez.

Tujuan dari semua aksi ini menjadi jelas, ketika akhirnya sekelompok militer, bersama dengan bisnismen besar Venezuela dan birokrat yang disponsori AS, bergabung dalam sebuah kudeta yang sesaat sempat menggulingkan Chávez.

NY Times segera melaporkan kejadian ini dengan menulis, ”Demokrasi Venezuela tidak lagi terancam oleh diktator.” Koran itu juga berkeras menyatakan bahwa Washington tidak memiliki peran dalam kudeta ini. ”Penggulingan Chavez murni urusan dalam negeri Venezuela,” tulis NY Times.

Klaim bahwa kudeta itu “murni dilakukan org Venezuela” adalah untuk menutupi operasi destabilisasi di negara itu yg dilakukan oleh AS, dimana New York Times memainkan peran yang sangat jelas. Kudeta “demokratis” berlangsung hanya dua hari. Chávez kembali ke kursi kekuasaan setelah kaum miskin turun ke jalanan memrotes rezim baru.

Skenario imperim untuk membungkam para pemimpin yang benar-benar ingin mengabdi pada bangsa, bukannya mengabdi pada kepentingan imperium, terjadi berulang-ulang sepanjang sejarah. Cerita lengkap soal ini bisa dibaca di buku-buku John Perkins. Dari sejarah kita akan mendapati fakta bahwa di mata imperium, sebuah rezim akan disebut demokratis bila rezim itu tunduk pada kepada kemauan imperium. Bahkan rezim yang jelas-jelas monarkhi, otoriter, dan membungkam kaum minoritas, seperti Arab Saudi dan Bahrain, akan dilindungi oleh imperium. Sebaliknya, rezim yang demokratis karena dipilih melalui pemilu perlu ditumbangkan jika tak mau menyerah di hadapan imperium.

Dan kini, skenario serupa tengah berlangsung di Syria. Setelah gagal menumbangkan Assad melalui upaya ‘demokratis’ dan pembunuhan karakter melalui media internasional, setelah gagal melakukan ‘humanitarian intervention’ (pengiriman pasukan NATO dengan dalih ‘menyelamatkan’ rakyat Suriah), dilakukanlah opsi terakhir: mempersenjatai kelompok-kelompok fanatik yang sangat membenci Assad atas nama Tuhan dan mazhab. Orang-orang yang di Afghanistan dan Mali dituduh teroris oleh Barat, di Syria (dan Libya) justru didukung dan dipersenjatai.

Chavez, kini telah tiada. Konon akibat kanker. Meski, bila Anda membaca sejarah betapa banyak pemimpin negara yang dibunuh diam-diam oleh imperium, Anda tidak akan semudah itu percaya.

***

Note: imperium adalah istilah untuk sebuah kerajaan tak beristana, tak mengenal batas negara, yang dikuasai oleh orang-orang paling kaya sedunia. Imperium memanfaatkan perusahaan-perusahaan  swasta yang memperkerjakan orang-orang yang disebut sebagai ‘economic hitman’ (bandit ekonomi). Para bandit ini akan melakukan berbagai cara agar para pemimpin negara mau tunduk pada kemauan imperium. Bila ada yang berani melawan, si pemimpin negara itu akan digulingkan atau bahkan dibunuh. Imperium memperalat pemimpin negara-negara besar untuk bertindak demi keuntungan imperium, bukan untuk rakyatnya. Misalnya, AS melakukan berbagai aksi perang dan menggelontorkan uang sangat banyak demi mendukung perang di berbagai negara (termasuk dana hibah untuk Israel dan untuk pemberontak Syria) bukan demi kesejahteraan AS [bahkan banyak warga AS yang hidup  miskin]. Yang diuntungkan adalah imperium yang menguasai perusahaan senjata, rekonstruksi, minyak, dll.

* Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate of Global Future Institute. Tulisan.tulisannya bisa dilihat disini

No comments: