Chavez
adalah pemimpin yang fenomenal dan spirit perjuangannya melintasi batas agama
dan bangsa. Saat dunia beramai-ramai melakukan pembunuhan karakter terhadap
Ahmadinejad dan pemerintahan Islam Iran, yang tampil sebagai pembela terdepan
justru seorang Nasrani dari Amerika Latin: Hugo Chavez. Saat pemimpin
negara-negara Arab berbaik-baik dengan Israel, justru Chavez menolak dubes Israel.
Menyusul operasi ‘Menuang Timah’ yang dilancarkan Israel di Gaza 2009, Chavez
mengecam keras Israel dan menyebut bahwa holocaust tengah terjadi di Gaza. Dia
pun mengusir Dubes Israel keluar dari Venezuela. Saat negara-negara Arab
bergandengan tangan dengan AS, Prancis, dan Inggris untuk menyuplai dana dan
senjata kepada Al Qaida (atau kelompok yang ‘sejenis’ Al Qaida) di Syria,
Chavez justru mengirimkan minyak untuk membantu bangsa Syria yang sedang
diblokade ekonominya. Dengan blak-blakan Chavez menyindir Barat, “Mereka
berkata, ‘kami akan beri sanksi pemerintah.. kami akan membekukan aset mereka..
kami akan memblokade mereka, mengebom mereka, demi membela rakyat.’ Wow, betapa
sinisnya. Tapi itulah imperium, itulah kegilaan imperium.”
Sebagaimana
juga pemimpin negara-negara yang berani melawan ‘imperium’, Chavez pun tak
luput dari ancaman kudeta dan pembunuhan, serta pembunuhan karakter.
Kejadian tahun 2002 adalah salah satu upaya terbesar yang dilakukan imperium
untuk menggulingkan Chavez, meski gagal. Saat itu, Chavez mengalami pembunuhan
karakter yang dilakukan oleh media-media mainstream AS. Saat itu, sebagaimana
juga sekarang, standar objektivitas jurnalistik telah dibuang lewat jendela.
Chavez difitnah. Sementara lawannya, yang sebagian besar terdiri dari kaum
oligarki Venezuela dan kalangan menengah ke atas, dicitrakan sebagai pejuang
demokrasi. Pernyataan dari pihak oposisi dilaporkan sebagai fakta dan
diperlakukan dengan penuh respek, sementara pernyataan dari pihak pemerintah
dicemooh.
Mari kita
lihat beberapa kutipan dari New York Times antara Maret-April 2002. Pada 26
Maret, New York Times menulis, “Para pegawai (pemerintahan) pemberontak telah
memberi energi bagi gerakan oposisi yang terpecah-pecah namun terus tumbuh,
yang menggunakan protes regular di jalanan untuk melemahkan Mr Chavez yang
memiliki gaya aristokrat dan memiliki kebijakan sayap kiri yang telah menindas
orang-orang yang jumlahnya terus bertambah. …”
New York
Times juga mengutip pernyataan kelompok oposan, “Masalah ini hanya bisa
dilakukan dengan pengunduran diri presiden..Ini adalah pilihan antara demokrasi
dan kediktatoran.” Persis seperti citra yang dibangun media Barat tentang Iran:
demokrasi melawan kediktatoran. Media barat juga mengabaikan fakta bahwa
kemenangan Chavez dalam pemilu –sama seperti kemenangan Ahmadinejad– dia
mendapatkan suara di atas 60% yang sebagian besar datang dari kawasan pinggiran
dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Di Venezuela
saat itu juga terjadi kekerasan. Ketika penembak gelap menembaki massa oposisi
yang sedang demo di depan istana kepresidenan Miraflores, 19 orang yang tewas.
Namun kesalahan dilemparkan kepada aparat keamanan pemerintah atau pendukung
Chavez yang bersenjata.
Padahal
kemudian terungkap data bahwa sejumlah yang tewas justru berasal dari kerumunan
massa yang hadir untuk mendukung Chávez dan asal tembakan-tembakan saat itu
berasal dari angkatan kepolisian Caracas, yang loyal pada Alfredo Peña, oposisi
keras pada presiden Chavez; Pena mendapat dukungan dari AS. Dalam meliput kerusuhan
ini, NY Times mewawancarai Peña, yang tentu saja, melemparkan semua kesalahan
pada Chávez.
Tujuan dari
semua aksi ini menjadi jelas, ketika akhirnya sekelompok militer, bersama
dengan bisnismen besar Venezuela dan birokrat yang disponsori AS, bergabung
dalam sebuah kudeta yang sesaat sempat menggulingkan Chávez.
NY Times
segera melaporkan kejadian ini dengan menulis, ”Demokrasi Venezuela tidak lagi
terancam oleh diktator.” Koran itu juga berkeras menyatakan bahwa Washington
tidak memiliki peran dalam kudeta ini. ”Penggulingan Chavez murni urusan dalam
negeri Venezuela,” tulis NY Times.
Klaim bahwa
kudeta itu “murni dilakukan org Venezuela” adalah untuk menutupi operasi
destabilisasi di negara itu yg dilakukan oleh AS, dimana New York Times
memainkan peran yang sangat jelas. Kudeta “demokratis” berlangsung hanya dua
hari. Chávez kembali ke kursi kekuasaan setelah kaum miskin turun ke jalanan
memrotes rezim baru.
Skenario
imperim untuk membungkam para pemimpin yang benar-benar ingin mengabdi pada
bangsa, bukannya mengabdi pada kepentingan imperium, terjadi berulang-ulang
sepanjang sejarah. Cerita lengkap soal ini bisa dibaca di buku-buku John
Perkins. Dari sejarah kita akan mendapati fakta bahwa di mata imperium, sebuah
rezim akan disebut demokratis bila rezim itu tunduk pada kepada kemauan
imperium. Bahkan rezim yang jelas-jelas monarkhi, otoriter, dan membungkam kaum
minoritas, seperti Arab Saudi dan Bahrain, akan dilindungi oleh imperium.
Sebaliknya, rezim yang demokratis karena dipilih melalui pemilu perlu
ditumbangkan jika tak mau menyerah di hadapan imperium.
Dan kini,
skenario serupa tengah berlangsung di Syria. Setelah gagal menumbangkan Assad
melalui upaya ‘demokratis’ dan pembunuhan karakter melalui media internasional,
setelah gagal melakukan ‘humanitarian intervention’ (pengiriman pasukan NATO
dengan dalih ‘menyelamatkan’ rakyat Suriah), dilakukanlah opsi terakhir:
mempersenjatai kelompok-kelompok fanatik yang sangat membenci Assad atas nama
Tuhan dan mazhab. Orang-orang yang di Afghanistan dan Mali dituduh teroris oleh
Barat, di Syria (dan Libya) justru didukung dan dipersenjatai.
Chavez, kini
telah tiada. Konon akibat kanker. Meski, bila Anda membaca sejarah betapa
banyak pemimpin negara yang dibunuh diam-diam oleh imperium, Anda tidak akan
semudah itu percaya.
***
Note: imperium adalah istilah untuk
sebuah kerajaan tak beristana, tak mengenal batas negara, yang dikuasai oleh
orang-orang paling kaya sedunia. Imperium memanfaatkan perusahaan-perusahaan
swasta yang memperkerjakan orang-orang yang disebut sebagai ‘economic
hitman’ (bandit ekonomi). Para bandit ini akan melakukan berbagai cara agar
para pemimpin negara mau tunduk pada kemauan imperium. Bila ada yang berani
melawan, si pemimpin negara itu akan digulingkan atau bahkan dibunuh. Imperium
memperalat pemimpin negara-negara besar untuk bertindak demi keuntungan
imperium, bukan untuk rakyatnya. Misalnya, AS melakukan berbagai aksi perang
dan menggelontorkan uang sangat banyak demi mendukung perang di berbagai negara
(termasuk dana hibah untuk Israel dan untuk pemberontak Syria) bukan demi
kesejahteraan AS [bahkan banyak warga AS yang hidup miskin]. Yang
diuntungkan adalah imperium yang menguasai perusahaan senjata, rekonstruksi,
minyak, dll.
* Magister
Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate of Global
Future Institute. Tulisan.tulisannya bisa dilihat disini
No comments:
Post a Comment