Sekitar 3 tahun lalu saya terlibat perdebatan sengit dengan 2 orang pendukung neoliberalisme di Indonesia di situs jejaring sosial Facebook. Yang pertama adalah seorang pilot senior yang karena kenaifannya menganggap pemikiran tentang keberadaan neoliberalisme hanyalah ilusi orang-orang yang kurang waras. Sementara yang kedua adalah seorang pemimpin redaksi majalah terkemuka Indonesia yang saya tahu benar tengah berpura-pura tidak tahu tentang neoliberalisme dengan menanyakan hal-hal standar seperti: apa definisinya, siapa tokoh-tokohnya, kapan sejarah terbentuknya. Padahal informasi-informasi itu begitu melimpah di internet.
Alhamdulillah orang yang pertama itu telah insyaf dan berubah menjadi seorang nasionalis, sedang yang kedua masih dalam "kesesatannya". Saya ada dengar desas-desus, orang kedua itu merupakan salah seorang agen utama CIA di Indonesia.
Namun harus diakui, sebagian besar kalangan menengah Indonesia masih menjadi orang-orang "liberal idiot" yang menganggap segalanya berjalan baik-baik saja sesuai dengan keberuntungan yang masih mereka nikmati selama ini. Tidak mengherankan jika mereka masih menjadi penyanjung setia tokoh-tokoh neo-liberalisme seperti Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Agus Martowardoyo, Sri Muliani dan sebagainya. Mereka tidak sadar bahwa karena kesetiaan pada neo-liberalisme, setiap saat keberuntungan itu bisa menjadi malapetaka, seperti krisis moneter 1997 yang tiba-tiba saja menghancurkan kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia termasuk kelas menengahnya.
Mereka diam saja ketika para pemimpin neo-liberalis itu mengkadali mereka, membiarkan APBN dikelola secara tidak efektif dan efisien, membiarkan perekonomian tidak diarahkan pada hal-hal yang produktif, dan membiarkan kekayaan alam dieksploitasi orang asing dan kita hanya mendapat limbahnya.
Apa jadinya jika Indonesia harus membayar cicilan bunga hutang hingga ribuan triliun rupiah setiap tahunnya sebagaimana Amerika? Sekali lagi "ribuan triliun rupiah". Tentu kita semua akan bangkrut dan jatuh miskin. Hanya tambahan hutang saja yang bisa membuat kita semua hidup, dan pada saat itu kita semua tidak lagi berbeda dengan budak-budak.
Dan tulisan berikut ini adalah salah satu indikasi ke arah itu.
Ternyata Skema Penyelesaian Utang Jangka Panjang BLBI Sedot ABPN Capai Rp 14 Ribu T
rakyatmerdekaonline.com, Selasa, 19 Februari 2013Indonesia for Global Justice
SUDAH 15 tahun BLBI dikucurkan atas nama krisis moneter. Namun kasus ini belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Megaskandal korupsi ini telah menjadi bencana ekonomi yang akan terus merongrong keuangan negara hingga tak terhingga.
Skema penyelesaian jangka panjang BLBI membutuhkan anggaran 14 ribu triliun. Oh..Tuhan!!
Setiap tahun pajak rakyat digunakan untuk membayar utang para obligor BLBI senilai 60-80 triliun. Tidak ada kepastian sampai kapan rakyat harus menanggung beban utang sedemikian besar. Beban utang yang menyandera APBN yang menyebabkan negara kehilangan kemampuan untuk membiayai sektor publik dan kesejahteraan rakyat.
Berapa yang harus dibayarkan untuk BLBI?
Tidak ada angka yang pasti. Namun tiga staf sekretariat BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Damayanti dipecat karena melakukan pengembangan analisa mereka termuat di majalah BPPN pada tahun 2002. Yaitu enam skenario obligasi yang harus dilunasi pemerintah dari skenario tepat waktu sebesar Rp1.030 triliun hingga skenario terlama pelunasan mencapai Rp14.000 triliun. (Penelitian IGJ, 2012).
Terindikasi tidak adanya niat baik pemerintah untuk menuntaskan BLBI dari akarnya, yaitu pelunasan hutang dan penuntasan hukum terkait penyalahgunaaan BLBI. Bahkan para konglomerat semakin sukses melebarkan sayap bisnis hasil perampokan BLBI. Mereka para konglomerat adalah orang orang terdekat SBY, ikut membiayai dan menopang rezim ini.
Boediono yang menjadi dalang dibalik semua utang negara yang super besar dan menjerat leher rakyat ini, justru menjadi Wakil Presiden pada Pemilu 2009, dan tidak tersentuh hukum sama sekali.
Boediono telah diputuskan dan dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) pada bulan Juni tahun 2005, namun yang bersangkutan masih santai di kursi Wapres.
Oleh: Lim Mei Ming
Peneliti Indonesia for Global Justice
No comments:
Post a Comment