Neo-conservatifis Robert Kagan, dalam satu laporan yang dibuat tahun 1997 menyatakan bahwa untuk membuat Cina kalah dalam persaingan perebutan pengaruh di Asia Timur, "Amerika harus menjadikan beberapa liliput sebagai pengganggu Gulliver Cina dengan menyediakan tali dan pasak". Liliput-liliput itu kini telah menjelma sebagai PM Thailand Yingluck Shinawatra serta bakal PM Burma Aung San Suu Kyi (selanjutnya mungkin adalah Nurul Izzah, putri pemimpin tokoh liberal Malaysia Anwar Ibrahim). Sedangkan tali dan pasak yang disediakan Amerika adalah aksi-aksi demonstrasi jalanan dan LSM-LSM bentukan Amerika.
Itu adalah kesimpulan yang diberikan oleh Tony Cartalucci, kolumnis Press TV dalam artikel terakhirnya berjudul "Suu Kyi, Western proxy in Myanmar" tgl 23 Maret lalu.
"Tidak hanya bekerjasama dengan media massa barat yang menyediakan tempat khusus bagi Aung San Suu Kyi untuk meraih dukungan politik, keuangan dan retorika, Amerika juga memberikan dukungan operasional dengan mendorong gerakan oposisi yang dipimpin Suu Kyi meraih tujuan yang diinginkan barat atas Myanmar,” demikian kesimpulan lain yang dibuat Cartalucci.
Dalam kerusuhan terakhir yang terjadi di Myanmar dimana terjadi korban tewas sebanyak 20 orang, CNN menyebut gerakan “Para Biksu Saffron” dalam artikelnya berjudul "Armed Buddhists, including monks, clash with Muslims in Myanmar", melaporkan:
"Para pendeta Buddha dan demonstran lainnya dengan bersenjatakan pedang dan pisau panjang, pada hari Jum'at memenuhi jalanan di satu kota di tengah Myanmar, dimana kerusuhan sektarian yang mengakibatkan tewasnya 20 orang mulai meluas ke beberapa area lainnya, demikian keterangan para pejabat setempat."
Sebagaimana kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, korban terbesar adalah orang-orang muslim Rohingya.
Dalam laporan-laporannya atas tragedi yang terjadi di Myanmar, CNN dan media-media barat selalu menjadikan International Crisis Group (ICG) sebagai narasumber utamanya. ICG yang salah seorang eksekutifnya, lesbian zionis bernama Sidney Jones yang sering menjadi narasumber dalam isu-isu terorisme di Indonesia, adalah LSM bentukan George Soros dengan misi utamanya mendorong terjadinya gerakan-gerakan "reformasi" di seluruh dunia demi terwujudnya satu "tatanan dunia baru" yang "demokratis dan liberal" dengan kepentingan kapitalis global sebagai pucuk pimpinannya.
Namun media massa barat maupun ICG tidak pernah sedikitpun menyinggung aksi bungkamnya Suu Kyi atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Padahal Suu Kyi selalu digambarkan sebagai seorang pejuang kemanusiaan.
Provinsi Rakhine yang menjadi tempat paling parah dalam aksi-aksi kerusuhan sosial yang melanda Myanmar, merupakan wilayah dimana pengaruh Cina mulai terasa mengganggu kepentingan Amerika. Di sinilah dibangun sebuah pelabuhan dan terminal bagi jalur pipa energi yang menghubungkan Cina dengan Myanmar, sebagaimana juga jalur logistik yang menghubungkan Myanmar dengan Provinsi Yunnan di Cina Selatan.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Rakhine dalam beberapa bulan waktu terakhir ini tampak sebagai perwujudan strategi “String of Pearls”, satu strategi Amerika yang terdokumentasikan dengan baik yang ditujuan untuk menghambat kemajuan Cina di Asia Timur. Kerusuhan-kerusuhan tersebut sejalan dengan strategi yang sama yang diterapkan di Pakistan.
“Saffron Monks”
Kerusuhan yang sama bulan September tahun 2012 membuka kedok "biksu provokator". Kantor berita Perancis AFP dalam laporannya bulan September 2012 berjudul "Monks stage anti-Rohingya march in Myanmar" menyebut pimpinan biksu yang memimpin aksi-aksi kerusuhan adalah bernama "Wirathu”, yang oleh media-media massa barat sering disebut dengan sebutan "biksu antifis".
Pada bulan Maret 2012 Wirathu memimpin aksi demo menuntut pembebasan para tahanan yang oleh LSM-LSM bentukan Amerika dan media massa barat disebut sebagai "tahanan politik". Saat itu "Wirathu" sendiri sebenarnya tengah menjalani tahanan akibat aksinya memicu kerusuhan terhadap orang-orang muslim Rohingnya. Menyusul aksi-aksi demonstrasi seperti itu, ditambah tekanan politik Amerika, para "tahanan politik" termasuk Wirathu pun mendapatkan amnesti.
Human Rights Watch menyebutkan bahwa Wirathu ditangkap tahun 2003 akibat aksinya memprovokasi kerusuhan anti Rohingnya dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun bersama para "tahanan politik" lainnya. Fakta ini menunjukkan bahwa Wirathu sama sekali bukan seorang tahanan politik, melainkan seorang penjahat kriminal.
Sementara media massa mencoba mengalihkan perhatian publik atas keterlibatan Suu Kyi dalam kerusuhan-kerusuhan berdarah yang dilakuan pendukung-pendukungnya para "biksu aktifis" seperti Wirathu, dalam kenyataannya watak, sifat, dan kharakter para pendukung Suu Kyi itu sudah terbentuk bertahun-tahun yang lalu.
Selama aksi-aksi demonstrasi “Saffron Revolution” tahun 2007, para biksu yang sama melakukan aksi-aksi menentang pemerintah sekaligus mendukung sikap politik Aung San Suu Kyi. Para pendukung Suu Kyi ini tergabung dalam kelompok Young Monks Union, yang kini aktif menyerukan pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingnya di seluruh Myanmar. Koran Inggris "The Independent" dalam artikelnya yang berjudul "Burma’s monks call for Muslim community to be shunned" menyebut kelompok ini sebagai pihak yang paling aktif memicu kerusuhan dengan menyebarkan selebaran-selebaran anti-Rohingnya, serta upaya-upaya mereka menolak bantuan kemanusiaan terhadap orang-orang Rohingnya.
"The Independent" juga menyebut peran kelompok "88 Generation Students" yang juga aktif selama kerusuhan tahun 2007. Pemimpin kelompok ini, Ashin Htawara yang juga dikenal sebagai biksu aktifis, dengan lantang menyebut Suu Kyi sebagai "pemimpin spesial" dan menyambut Suu Kyi dengan bunga setelah menerima hadiah Nobel Perdamaian. Dalam satu pernyataan di London ia menyerukan orang-orang Rohingnya untuk "dikirim ke tempat asalnya".
Jika ada aktifis kulit putih seperti David Duke menyerukan orang-orang kulit hitam Amerika untuk dikirim kembali ke Afrika, tentu media massa di seluruh dunia akan berteriak-teriak histeris menyebutnya sebagai rasis dan menuntutnya dipenjara. Namun dalam kasus Rohingnya, seorang rasis bernama Aung San Suu Kyi justru mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.
Meski media-media massa barat berupaya menyembunyikan peran keji para biksu aktifis dalam aksi-aksi kerusuhan anti Rohingnya, satu demi satu peran busuk itu terbongkar juga. "The International Business Times" baru-baru ini misalnya, menuliskan laporan berjudul "Burmese Bin Laden: Is Buddhist Monk Wirathu Behind Violence in Myanmar?", dengan tegas menuliskan:
"Bayangan kontroversial dari biksu Wirathu yang telah memimpin aksi-aksi menentang orang-orang muslim Burma, secara samar tampak berperan besar dalam kerusuhan sektarian di Meikhtila.
Wirathu memainkan peran aktif memicu ketegangan di kawasan pinggiran Rangoon pada bulan Februari, dengan menyebarkan isu-isu tak berdasar bahwa sekolah-sekolah lokal telah berubah menjadi masjid melalui Democratic Voice of Burma (LSM bentukan Amerika lainnya). Akibatnya satu gerombolan ekstremis Budha yang marah berjumlah sekitar 300 orang menyerang sekolah tersebut dan juga beberapa tempat bisnis di Rangoon.
Pendeta tersebut (Wirathu) yang menyebut dirinya sebagai "Osama bin Laden-nya Burma", mengatakan bahwa aksi-aksi yang dilakukannya "penting untuk melawan ekspansi agresif orang-orang Islam.” Ia ditangkap tahun 2003 karena menyebarkan selebaran-selebaran anti Muslim termasuk menyerukan agar orang-orang Rohingnya dan "kalar" (sebutan untuk orang-orang Islam Myanmar di luar Rohingnya) agar diusir dari Myanmar. Ia juga terlibat dalam aksi kerusuhan sektarian di Mandalay yang mengakibatkan 12 orang meninggal."
Artikel tersebut juga menyebut peran "Burma Campaign UK", LSM dengan peran mengarahkan pandangan media massa atas krisis Myanmar sehingga membebaskan Suu Kyi dari keterlibatannya dalam kerusuhan.
Sebagaimana di Syria dimana kelompok-kelompok pemberontak menyatakan diri sebagai ekstremis sektarian yang memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris seperti al-Qaeda, gerakan "pro-demokrasi" Myanmar yang dipimpin Aung San Suu Kyi telah mengalami kebangkrutan kredibilitas meski barat terus menerus menggontorkan penghargaan kepadanya, termasuk penghargaan Nobel dan “Chatham House Prize”. Dan seperti di Syria, Amerika dan barat akan terus memberikan dukungannya pada para teroris di satu sisi dan di sisi lainnya mencoba melakukan bantahan-bantahan.
No comments:
Post a Comment