Wednesday, 22 May 2013

CHATIB BASRI MEMBAWA PERUBAHAN?

Hari ini saya membaca berita di halaman pertama koran Tribun Medan (anak perusahaan Kompas Gramedia Group) berjudul "PDIP: Keluar dari Ekonomi Liberal". Dalam berita tersebut dituliskan pernyataan seorang politisi PDI-P Arif Budimanta tentang pengangkatan Chatib Basri sebagai menteri keuangan baru menggantikan menteri lama yang beralih tugas menjadi Gubernur BI. Dalam pernyataannya tersebut Arif menyampaikan harapannya bahwa Chatib Basri bisa membawa perubahan dengan keluar dari faham liberalisme yang selama ini dianut oleh regim-regim Indonesia paska reformasi.

"Saat ini ketimpangan semakin melebar dan pemerataan pembangunan terabaikan, ini tantangan utamanya," kata Arif dikutip Tribun Medan.

Arif menyatakan saat ini publik menantikan apakah sebagai menteri keuangan Chatib berani menghentikan kebijakan defisit anggaran (APBN), mengevaluasi hutang dan mereformasi struktur APBN.

Berita semacam itu, dan hal itu terjadi hampir di semua media massa mapan tanah air terkait pengangkatan seorang menteri keuangan baru, seolah-olah memberi harapan bahwa pada akhirnya Indonesia benar-benar akan dipimpin oleh birokrat-birokrat berintegritas dan cerdas. Yaitu birokrat-birokrat yang lebih memikirkan kepentingan rakyat daripada pribadinya sendiri.

Namun sayangnya, meski sudah berulangkali harapan disematkan terhadap presiden demi presiden dan menteri keuangan demi menteri keuangan, hal itu tidak pernah tercapai. Para presiden dan pembantu-pembantu ekonominya selalu saja terjerembab dalam kubangan kepentingan asing dengan faham liberalismenya. Saya tidak tahu apakah Arif Budimanta juga menyarankan hal yang sama terhadap Megawati saat beliau menjadi presiden. Namun yang pasti Megawati tidak menjalankan apa yang disarankan Arif terhadap Chatib Basri. Alih-alih Megawati justru menolak pelunasan hutang IMF serta menjual murah asset-asset strategis Indonesia kepada asing sebagai bentuk nyata praktik neo-liberalisme.

Lalu layakkah harapan keluarnya Indonesia dari jeratan neo-liberalisme disematkan kepada Chatib Basri?

Menurut saya hal itu kok terlalu na'if. Chatib Basri tidak pernah terdengar memiliki pemikiran-pemikiran yang anti neo-liberalisme. Alih-alih beliau adalah "anak emas" neo-liberalisme di Indonesia. Selain aktif di "kawan candradimuka"-nya paham neo-liberalisme Indonesia, yaitu LPEM-UI, beliau juga pernah menjadi "pelayan" PT Freeport, perusahaan Amerika yang baru saja melecehkan harkat martabat bangsa Indonesia dengan kekurang ajarannya mengusir aparat keamanan dan para pejabat tinggi Indonesia yang hendak melakukan penyelidikan kecelakaan pekerja.

Lalu apa maksud seorang politisi PDIP menyuarakan aspirasi anti-neo liberalisme di media pengusung neo-liberalisme semacam Kompas? Tidak lain hanya memberikan ilusi kepada sebagian rakyat Indonesia yang telah mulai kritis seolah-olah harapan adanya perbaikan kondisi ekonomi masih ada. Semua itu hanyalah "sandiwara" belaka, seperti sandiwaranya meneg BUMN Dahlan Iskan yang gembar-gembor akan membeli minyak dari Iran.

No comments: