Mengamati konflik Syria saat ini membuat pikiran saya terbang menembus dimensi waktu ke masa perjuangan Rosulullah Nabi Muhammad (S.A.W) dalam menegakkan Islam di tanah Arab 14 abad yang lalu, tepatnya pada saat terjadi Perang Khandak atau Perang Parit.
Setelah kalah dalam Perang Badar dan gagal menghancurkan kekuatan umat Islam dalam Perang Uhud, orang-orang musrik Quraisy Mekkah memutuskan untuk menghancurkan kekuatan umat Islam melalui pertempuran penghabisan. Untuk itu mereka mengajak semua sekutu mereka yaitu suku-suku Arab badui. Mereka juga mendapat dukungan dari orang-orang Yahudi yang banyak tinggal di sekitar Madinah, yang secara diam-diam selalu berusaha menghancurkan kekuatan umat Islam meskipun mereka terikat perjanjian damai dengan umat muslim.
Singkat kata, akhirnya kekuatan besar orang-orang musrik dari Mekkah pun bergerak mendekati Madinah yang dipertahankan oleh sekitar 3 ribu kaum muslim. Pasukan Mekkah sendiri berkekuatan sekitar 10 ribu pasukan, belum termasuk orang-orang badui dan orang-orang yahudi Madinah yang menunggu kesempatan untuk menikam punggung kaum muslim dari belakang.
Secara rasio kaum muslim tidak mungkin menang melawan kekuatan musuh yang jauh lebih besar. Untuk itu Rosulullah memilih strategi bertahan di belakang parit besar di sekeliling Madinah, yang dengan sangat berat digali oleh umat Islam. Namun, meski hal itu bisa menghambat serangan musuh, kaum muslim terpaksa harus tinggal dalam kepungan musuh dengan kondisi krisis pangan.
Beratnya kondisi tersebut diabadikan Allah dalam Al Qur'an:
"Ketika mereka (pasukan musrikin) datang, ketika itu mata manjadi kabur dan hati berdebar-debar sampai kerongkongan, dan kalian mempunyai berbagai sangkaan terhadap Allah! Di situlah kaum mukminin diuji dan digoncangkan dengan goncangan yang keras." (QS al-Ahzab: 10-11)
Dalam satu kesempatan sepasukan kaum musrikin yang dipimpin jagoan Quraisy, Amr bin Abdu-Wud, berhasil menerobos pertahanan kaum muslim. Ketika mereka sudah berhadap-hadapan dengan kaum muslim, Amr pun berteriak-teriak menantang kaum muslim untuk berperang tanding dengannya. Pada saat itu tidak ada satupun kaum muslim yang berani melawannya, kecuali Ali bin Abi Thalib. Maka akhirnya kedua jagoan tersebut berperang tanding dan disaksikan oleh kedua pasukan, dan Ali, sebagaimana dalam setiap pertempuran yang dilakukan umat Islam kala itu berhasil tampil sebagai pahlawan dengan membunuh Amr. Dan melihat jagoannya mati, kaum musrikin pun mundur meski tidak meninggalkan kepungannya.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu berada dalam kepungan musuh yang menyesakkan dada, Allah pun memberikan pertolongannya. Pertolongan pertama berupa badai gurun pasir yang menghancurkan kemah-kemah pasukan musrikin. Adapun pertolongan berikutnya adalah munculnya prasangka buruk di antara pasukan sekutu musrikin yang menimbulkan saling ketidak-percayaan. Dan akhirnya kedua faktor itu mendorong pasukan musrik menarik diri dari medan perang dan kembali ke asalnya masing-masing tanpa membawa hasil. Sebaliknya bagi kaum muslim, mundurnya musuh menambah keimanan mereka akan kebenaran Islam.
Hal yang hampir sama kini terjadi dalam konflik Syria. Setelah lebih dari 2 tahun "mengepung" Syria, pasukan "sekutu" pemberontak kini justru terlibat dalam pertikaian internal hingga mengancam misi mereka untuk menggulingkan pemerintahan Bashar al Assad.
Sebagaimana diberitakan berbagai media internasional, saat ini tengah terjadi pertikaian serius antara kelompok Free Syrian Army (FSA) dengan kelompok-kelompok pemberontak di bawah pengaruh Al Qaida. Pertikaian paling serius terjadi ketika pemberontak Al Qaida membunuh salah dua komandan perang FSA, Fadi al-Qash dan Kamal Hamami, minggu lalu, yang diikuti pertempuran antara kedua kelompok di berbagai wilayah.
Meski memiliki kepentingan yang sama untuk menggulingkan Bashar al Assad, kedua kelompok memiliki perbedaan tajam dalam idiologi perjuangannya. FSA adalah kelompok sekuler sementara Al Qaida adalah orang-orang fundamentalis yang berambisi menegakkan "negara Islam", yang tidak pernah sungkan untuk menumpahkan darah orang-orang yang tidak sepandangan dengan mereka, bahkan jika orang-orang tersebut adalah sesama penganut Islam seperti Fadi al-Qash dan Kamal Hamami.
Menurut laporan media Saudi "Asharq al-Awsat" baru-baru ini dengan mengutip informasi seorang pemimpin senior FSA, al-Qaeda akan mengumumkan berdirinya negara Islam di utara Syria setelah mengusir seluruh pasukan FSA di wilayah tersebut.
"Hari pertama Idul Fitri akan ditandai dengan deklarasi negara al Qaida," kata pejabat FSA tersebut.
Menurut keterangan pejabat tersebut, Wilayah Bab al-Hawa dan Harem akan menjadi sasaran utama al Qaida sebagai basis mereka. Yang pertama merupakan basis penyaluran dan penyimpanan amunisi sedangkan yang kedua adalah basis suplai keuangan melalui perdagangan gelap dan produksi minyak mentah.
"Implementasi dari rencana itu telah dimulai minggu lalu dengan membunuh para pemimpin FSA seperti Fadi al-Qash dan Kamal Hamami. Rencana itu akan dilanjutkan dengan membunuhi semua pemimpin FSA," tambah pejabat tersebut.
Menurut keterangannya FSA telah melakukan tindakan antisipasi dengan mengerahkan pasukannya ke wilayah yang dikuasainya dan mendirikan pos-pos penjagaan di berbagai tempat.
Pertikaian tersebut tentu saja memberikan ancaman serius bagi "perjuangan" para pemberontak. Justru ketika regim Bashar al Assad berada di atas angin setelah kemenangan Perang Al Qusayr serta bantuan riel dari sekutu dekatnya, Hizbollah dan Iran serta milisi-milisi Irak, pemberontak justru terpecah belah. Sementara Amerika dan sekutu-sekutunya kini dilanda kebingungan tentang rencana pengiriman senjata-senjata kepada para pemberontak karena dikhawatirkan senjata-senjata itu akan jatuh ke tangan para teroris al Qaida selain tidak akan berpengaruh terhadap keseimbangan kekuatan di medan perang yang kini dikuasai pasukan Bashar al Assad dan sekutunya.
Kebingungan itu tampak jelas dari keputusan Inggris yang akhirnya menolak untuk mengirimkan senjata kepada pemberontak Syria hingga membuat pemimpin tertinggi FSA Jendral Salim Isris menuduh Inggris telah berkhianat.
"Barat terus saja berjanji dan kini berubah menjadi lelucon. Saya tidak memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada David Cameron (PM Inggris) apakah ia sengaja meninggalkan kami sendirian untuk dibantai musuh? Atas nama seluruh rakyat Syria, saya ucapkan terima kasih,” kata Idris melalui wawancara dengan media terkemuka Inggris The Telegraph baru-baru ini.
REF:
"Al-Qaeda vs. FSA: Declaring "Islamic State" First Day of Eid al-Fitr"; almanar.com.lb; 16 Juli 2013
"Who is the US arming in Syria? President Assad rubs his hands at news of rebel split"; Robert Fisk; The Independent; 12 Juli 2013
"Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad"; Muhammad al Ghazali; Mitra Pustaka Yogyakarta; 2005
"David Cameron accused of betraying Syrian rebels"; Ruth Sherlock dan Colin Freeman"; Telegraph.co.uk; 15 Juli 2013
No comments:
Post a Comment