Monday 29 July 2013

"PEMBANTAIAN" MESIR PUN DIMULAI

Persis seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, tindakan keras militer terhadap para pendukung Ikhwanul Muslimin telah dimulai dengan korban mencapai puluhan orang. Berbagai sumber menyebutkan pada hari Sabtu saja (27/7) jumlah korban tewas telah mencapai angka 150 orang. Wartawan The Guardian, Patrick Kingsley & Peter Beaumont dalam laporannya tgl 28 Juli dengan mengutip pernyataan Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahwa korban tewas mencapai 66 tewas dan 61 orang lainnya mengalami luka serius, semuanya anggota Ikhwanul Muslimin.

Dalam peristiwa paling berdarah semenjak tergulingnya Presiden Husni Mubarak awal tahun 2011 lalu, jubir Ikhwnul Muslimin menyebutkan bahwa aparat keamanan Mesir pada hari Sabtu (27/7) telah "membantai" para anggota Ikhwanul Muslimin yang tengah melakukan unjuk rasa damai. Namun itu baru permulaan, karena diyakini militer telah bertekad untuk menghentikan seluruh aksi demonstrasi yang digelar Ikhwanul Muslimin, apapun akibatnya, setelah dukungan yang diberikan rakyat Mesir dianggap sudah cukup. Sebagaimana diketahui, pada hari Jum'at (26/7) ratusan ribu pendukung militer melakukan aksi unjuk rasa dukungan kepada militer untuk menghentikan "aksi-aksi kekerasan dan terorisme", kalimat tidak langsung untuk "aksi-aksi demonstrasi Ikhwanul Muslimin".

Angka kematian yang terjadi lebih besar daripada "pembantaian markas Pengawal Republik" tgl 8 Juli lalu ketika tentara menembaki para demonstran Ikhwanul Muslimin yang berusaha menyerbu markas pasukan Pengawal Republik yang diduga menjadi tempat penahanan mantan Presiden Mohammad Moersi yang dikudeta tgl 3 Juli lalu. Saat itu sebanyak 51 orang tewas.

Kematian-kematian tersebut diduga kuat diakibatkan oleh aksi aparat militer dan polisi, baik yang berseragam maupun tidak berseragam, yang menembakkan peluru tajam terhadap para anggota Ikhwanul Muslimin yang tengah melakukan aksi duduk di dekat masjid Rabaa al-Adawiya di kawasan Nasr City, dan di beberapa tampat lainnya di Kairo. Korban tewas juga terjadi di Alexandria dan beberapa kota lainnya di Mesir.

"Mereka tidak menembak untuk sekedar melukai, mereka menembak untuk membunuh. Kebanyakan luka tembakan ada di kepala dan dada," kata jubir Ikhwanul Muslimin Gehad el-Haddad. Korban tewas dan luka-luka dibawa ke rumahsakit darurat yang didirikan di dekat Masjid Rabaa, yang lantainya basah oleh darah para korban kekerasan.

Aksi kekerasan ini mengundang kecaman internasional, meski tidak satupun pemimpin dunia yang secara langsung menuduh militer maupun pemerintahan sementara Mesir sebagai penanggungjawabnya, termasuk sekutu Ikhwanul Muslimin yang juga Perdana Menteri Turki Tayyep Erdogan.

“Sekretaris Jenderal mengutuk keras munculnya kekerasan di Mesir yang telah menyebabkan sejumlah orang tewas dan ratusan luka-luka, menyusul protes pada Jumat dan Sabtu,” kata kantor pers sekjen PBB Ban Ki Moon, Sabtu (27/7).

“Saat ini adalah sebuah saat-saat menentukan untuk Mesir. Dua tahun lalu, sebuah revolusi dimulai. Keputusan akhirnya belum diperoleh, namun hasil revolusi itu akan sangat dipengaruhi apa yang terjadi hari ini,” kata Menlu Amerika John Kerry.

“Di Mesir, demokrasi dibantai, aspirasi nasional dibantai, dan sekarang bangsa sedang dibantai,” kata Tayyip Erdogan.

“Kini saatnya berdialog, bukan konfrontasi. Adalah tanggungjawab dari pimpinan kedua pihak untuk mengurangi ketegangan," kata menlu Inggris William Hague.

"Penyesalan", meski tidak mengakui bersalah, juga diungkapkan oleh Presiden sementara Mansour dan wakilnya Elbaradei.

Sebelum terjadinya penembakan-penembakan tersebut sebagian besar wartawan asing di Kairo diundang oleh pemerintah untuk melakukan tour udara dengan helikopter mengelilingi Lapangan Tahrir, tempat demonstran pro-militer berpusat. Setelah penembakan massal itu mendagri Mesir membantah aparat keamanan telah menggunakan peluru tajam, meski sejumlah besar saksi memastikan sebaliknya, termasuk beberapa wartawan asing yang ada di lokasi penembakan.

Aksi penembakan massal tersebut berlangsung bersamaan dengan pernyataan pers yang dilakukan mendagri Mohamed Ibrahim, yang mengumumkan mantan presiden Mohammad Moersi telah dipindahkan ke penjara Torah, tempat dimana mantan diktator Husni Mubarak ditahan. Ia juga membuat pernyataan "mengejutkan" tentang aksi demonstrasi yang dilakukan pendukung Ikhwanul Muslimin yang telah digelar sejak tgl 25 Juni lalu dan telah menghambat kinerja pemerintahan sementara.

"Insya Allah, kami akan menghentikan aksi-aksi itu. Dalam hal saat untuk menghentikan unjuk rasa, ada koordinasi penuh antara kami dengan militer," katanya.

Pada hari Jumat, yaitu saat aksi unjuk rasa pendukung militer digelar besar-besaran, Kejaksaan Mesir mengumumkan bahwa mereka tengah mengadakan penyidikan terhadap Moersi yang dituduh bertanggungjawab atas aksi pembunuhan dan konspirasi. Ia dituduh bekerjasama dengan gerilyawan Hamas Palestina (sama-sama berasal dari kelompok rahasia Ikhwanul Muslimin) melakukan serangan terhadap penjara tempat Moersi ditahan saat terjadi revolusi tahun 2011 terhadap Husni Mubarak. Dalam aksi pembebasan Moersi itu sebanyak 14 orang telah tewas.

Selama penahan yang dilakukan secara rahasia dan telah berlangsung selama 3 minggu itu, Moersi telah diinterogasi secara intensif oleh aparat inteligen militer untuk membongkar jaringan Ikhwanul Muslimin. Aparat keamanan berusaha membuktikan bahwa Moersi terlibat dalam berbagai tindakan kriminal, termasuk pengkhianatan dengan membocorkan rahasia negara kepada kelompok-kelompok ekstremis Islam. Menurut laporan kantor berita Amerika Associated Press berdasarkan informasi pejabat militer Mesir yang tidak disebutkan namanya, Moersi telah 3 kali dipindahkan tempat penahanannya dan kini berada pada satu fasilitas negara di luar Kairo.



REF:
"Egypt: scores killed as army launches offensive against Muslim Brotherhood"; Patrick Kingsley & Peter Beaumont; The Guardian.co.uk; 28 Juli 2013

"Pembantaian Demonstran Pro Mursy Dikutuk Dunia"; rakyatmerdekaonline.com; 29 Juli 2013

No comments: